Chereads / HIT ME UP : DI SANA HARAPAN BERMULA / Chapter 5 - 5. Tiada Harga Diri

Chapter 5 - 5. Tiada Harga Diri

"Kenapa buku ini ada di kamarmu?" tanya Mauren dengan nada dingin.

"Aku ... hanya ingin membacanya karena penasaran." Ozi sedikit lambat untuk mencari alasan. Sehingga, itu membuatnya segera meletakkan ember ke lantai.

Mauren semakin menunjukkan kesan dinginnya. "Kenapa kau tidak minta ijin kepada Ayah?"

Ozi menggaruk tengkuk. "Aku takut ayah marah ... karena buku itu sangat mahal." Dia melihat ayahnya tertawa hambar sambil melihat buku besar yang dipegangnya. Itu membuat Ozi semakin bungkam. Suaranya seakan tertahan oleh tenggorokan yang mengering dengan sendirinya.

"Ini pasti karena gadis itu, kan?" tanya Mauren dengan tatapan tajam. "Apa yang telah dia katakan sampai-sampai kau berani mencuri seperti ini?"

"Ayah, aku yang melakukannya. Aku yang mencuri buku itu! Hukum saja aku dan tolong jangan libatkan dia!" ucap Ozi sembari berlutut dan memegang kaki ayahnya.

"Dia yang salah. Kenapa malah kau yang berlutut?! Aku akan memberi peringatan kepadanya," tegas Mauren dengan memundurkan kakinya hingga tangan Ozi terlepas. Setelah itu, Ayahnya keluar dari rumah membawa amarah dengan buku yang masih digenggam.

***

Awalnya, Alen sangat yakin bahwa Ren akan membantunya untuk pergi dari sini. Namun, dia malah berakhir di bawah kolong tempat tidur. Beberapa saat yang lalu, Ren membawanya masuk melalui jendela kamar.

Alen mengeluarkan kepalanya dari kolong dan melihat ke arah Ren yang sedang berada di dekat jendela untuk memantau keadaan. "Permisi, tapi kenapa kau malah menyuruhku bersembunyi di sini?" tanya Alen sedikit ragu.

"Masih begitu banyak orang di luar. Aku tak bisa menyembunyikanmu meski tak ada sayap di punggungmu." Ren menjelaskan dengan suara pelan. Alen pun hanya bisa pasrah dan kembali masuk ke kolong tempat tidur.

"Nobi!" Suara dari luar terdengar sampai kamar. Ren langsung keluar membanting pintu saking buru-burunya. Beberapa detik kemudian, dia mendengar suara keributan. Karena penasaran, Alen memutuskan untuk keluar dari kolong. Dia pun mengintip dengan pintu yang dibuka sedikit.

"Tenanglah, Kak Mauren. Duduklah dan jelaskan pelan-pelan," ucap Nobi mencoba menarik tangan Mauren untuk duduk. Itu jelas mendapat respon tak mengenakkan.

"Tidak! Aku tak mau berbasa-basi lagi. Gadis itu sudah keterlaluan! Dia menyuruh anakku untuk mencuri buku mahal yang telah kubeli dengan uangku!" ungkap Mauren dengan berteriak. Ren yang berdiri di belakang Nobi pun hanya bisa menundukkan kepala.

Ozi tak mengerti alasan ayahnya yang terus berapi-api ketika terdapat masalah dengan Ren dan Paman Nobi. Padahal, masalah tersebut bukanlah sebuah masalah yang harus diselesaikan dengan amarah yang meledak-ledak. "Ayah, kenapa kau terus menyalahkan Ren?" ucap Ozi dengan frustrasi.

"Diamlah! Ini urusanku dan mereka!" tegas Mauren.

"Maaf, Kak Mauren. Saya akan mengajarkan Ren supaya menjadi orang yang lebih baik," ucap Nobi sesopan mungkin.

"Omong kosong apa itu? Yang kau lakukan selama ini hanyalah membuang waktu berhargamu karena mengurus anak itu!" cecar Mauren, lalu berhenti untuk mengambil napas sejenak. "Lihatlah kau yang sekarang! Kau menjadi miskin karena membiayai pengobatan anak cacat itu!"

Ren tersentak. Setiap kalimat yang diucapkan oleh Ayah Ozi berhasil menusuk ke hatinya. Tak hanya itu, telinganya juga terasa sakit sampai ingin disumpalnya dengan sesuatu. Sehingga, tak perlu mendengar kata-kata lain yang mungkin akan lebih menyakitkan. Namun, itu tidak mungkin dilakukannya karena sekarang yang dihadapinya adalah seorang pemimpin wilayah.

"Itu ... menyesakkan," gumam Alen yang sedari tadi menyaksikan semuanya. Dia juga melihat bagaimana sayap Ren yang tadinya masih bersinar, kini meredup secara perlahan.

"Cukup!" teriak Nobi bersamaan dengan tinjuan yang mendarat di wajah Mauren. Mauren menatapnya dengan raut terkejut. "Sudah cukup kau menghinaku, Kak! Ketika kau mulai menghina Ren, aku tak akan tinggal diam. Keluar dari rumahku sekarang!" lanjutnya dengan suara lebih keras.

Ozi mulai khawatir dengan pertengkaran itu. "Ayah, jangan membuat keributan seperti ini," pintanya sembari menarik tangan ayahnya.

"Kau mengusir saudaramu sendiri?" gerutu Mauren yang tak mau menyerah.

"Saudara macam apa yang menghina saudaranya sendiri?" lontar Nobi kepada saudara sepupunya itu.

Mauren meludah di sembarang tempat. Setelah itu, dia akhirnya menuruti permintaan Ozi untuk pulang. Ozi segera membawanya keluar dari rumah. Nobi pun bisa menghela napas lega sekarang. Lelah jika harus menghadapi orang seperti Mauren.

Nobi mengacak rambut frustrasi. Baru kali ini dia marah-marah seperti itu. Itu sangat menguras tenaganya sebagai orang yang mengambil energi ketika suasana tenang dan hening sendirian. Sementara itu, dia melihat Ren yang tak bergeming di tempatnya berdiri. Tatapannya kosong menatap ke depan.

"Ren, maaf. Kau harus mendengar itu dari mulutnya. Jangan kau masukkan ke dalam hati, ya?" ujar Nobi dengan sangat hati-hati.

"Paman, bukankah yang dia katakan adalah sebuah kebenaran?" tanyanya dengan nada pelan tanpa menatap pamannya.

Nobi menatap dengan bingung. "A—apa?"

"Aku tak perlu menyangkal ucapannya hanya karena tak ingin terluka," tutur Ren. Dia langsung berbalik dan menuju kamarnya dengan langkah cepat. Secepatnya, dia menutup pintu sebelum Nobi berhasil masuk juga.

"Ren! Tidakkah kau harus mendengar dari sudut pandangku? Ayo keluarlah! Kita bicarakan tentang itu, agar kau tidak salah paham!"

"Salah paham apanya?" ujar Ren dengan nada pasrah.

Alen berdiri di sampingnya merasa bingung harus bersikap seperti apa. Tangannya sudah terulur hendak menepuk pundak Ren, tetapi niat tersebut diurungkan ketika Ren tiba-tiba menatapnya. "Eummm, kau baik-baik saja?" tanyanya spontan sembari menurunkan tangannya. Di dalam hati, dia merutuki diri sendiri karena mengajukan pertanyaan yang tak masuk akal.

"Tak ada yang baik-baik saja ketika harga dirinya dihancurkan," jawab Ren sembari tersenyum miring. Kemudian, dia teringat dengan tujuannya membawa Alen kemari. "Bukankah kau akan pergi?"

Alen terdiam sejenak untuk berpikir. Setelah itu, dia melihat ke luar jendela dan langit sudah gelap. "Aku harus pergi," ucap Alen sambil menatap Ren. Ren tersenyum hangat sembari mengangguk. Setelah itu, dia segera melompat dari jendela setelah mendengar pintu yang digedor dengan keras.

***

"Paman, di mana Ren?" tanya Ozi dengan khawatir. Dia melihat Nobi yang rambutnya berantakan di depan kamar Ren. Nobi duduk di lantai sambil bersandar di pintu. Nampan berisi makanan dan minuman pun masih tampak utuh di sampingnya.

"Ozi! Syukurlah kau datang! Suruhlah Ren untuk keluar!" ucap Nobi dengan begitu gelisah.

"Paman, apa yang terjadi? Beberapa hari ini, aku tak melihatnya di akademi," cemas Ozi.

Nobi langsung mengangkat nampan dari nampan itu, lalu menyodorkan kepada Ozi. "Dia tak keluar kamar sekalipun. Bahkan, dia tak mau makan ataupun minum. Aku khawatir dia sakit jika terus seperti ini," ujarnya.

Ozi menerima nampan itu, lalu dia mengetuk kamar Ren. "Ren! Ini aku ... Ozi! Keluarlah! Sampai kapan kau akan mengurung diri di kamar?" panggil Ozi setengah berteriak. Namun, tak mendapat jawaban apapun.

"Ren, apakah kau masih marah? Jika kau memang marah terhadapku, setidaknya berteriaklah di depanku!" teriak Ozi sekali lagi. Nobi pun menghela napas hampir menyerah.

To be continued....