Tepat saat Ozi berada di dekat Ren, ember yang diperebutkan warga terjatuh dengan posisi terbalik. Sehingga, air yang tertumpah membasahi tubuh serta sayap Ren. Parahnya, ember tersebut mendarat tepat di kepala Ren. Suasana hening untuk sesaat sebelum akhirnya para warga membubarkan diri tanpa peduli dengan keadaan Ren. Ozi mematung sejenak sebelum akhirnya mendarat perlahan.
"Ren, apakah kau baik-baik saja?" Ozi tahu bahwa itu pertanyaan yang tidak berguna. Tapi, setidaknya Ren harus menyadari bahwa ada yang sedang memperhatikannya.
Ren membuka ember tersebut secara perlahan. Setelah lepas dari kepalanya, ember tersebut dijatuhkan begitu saja ke tanah. "Ya, tidak apa-apa," ucapnya dengan sangat pelan.
***
Ren pulang dengan basah kuyup. Dia duduk di kursi dan meletakkan satu ember air yang tadi diberikan oleh Ozi ke atas meja. Wajahnya yang muram berhasil menarik simpati dari Nobi. "Paman, berhentilah menatapku seperti itu," ungkap Ren dengan nada malas. Dia sedang tidak dalam suasana hati yang bagus.
Nobi tersenyum kecut sembari menelan ludah. "Haruskah kuambilkan ... handuk?" tanyanya dengan nada ragu.
Dengan wajah sendu, Ren menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Tidak, Paman. Nasibku memang ditakdirkan sial seperti ini. Yeah! Aku akan menikmatinya sampai akhir," pasrah Ren dibarengi dengan tawa hambar.
Mendengar gadis di hadapannya mengucapkan kalimat itu, Nobi jadi terdorong untuk memberikan wejangan. "Jangan berbicara seperti itu. Bisa-bisa keberuntungan enggan datang kepadamu."
"Ah! Biarkan saja!" rengek Ren sambil menenggelamkan kepalanya di lipatan tangan di atas meja.
"Saat kau sedang sial seperti ini, setidaknya ingatlah satu keberuntungan yang pernah kau alami. Agar kau lebih bersyukur," ucap Nobi memberi nasihat sementara Ren menanggapinya hanya dengan deheman.
Ren bangkit secara tiba-tiba sampai membuat pamannya yang sedang minum pun tersedak. "Keberuntungan?!"
"Astaga!"
Ren langsung pergi ke kamarnya tanpa permisi. Dia menelusuri seluruh kamar untuk menemukan barang yang dia pikir penting. Sampai akhirnya, dia mendapatkannya di sebuah tumpukan baju kotor. Sehelai bulu sayap hitam yang tak sengaja didapatkannya dari seseorang yang tak dikenalnya. Ketika benda tersebut ada ditangannya, dia tersenyum senang.
Srek!
Tiba-tiba, suara mengganggu muncul berbarengan dengan bayangan hitam yang menembus jendela kamarnya. Karena penasaran, dia membuka tirai jendela tersebut dan melihat ke luar. Disanalah dia melihat sekelebat sayap berwarna hilang yang menghilang di balik tembok. Secepat mungkin, dia berlari keluar.
Ren melewati pamannya begitu saja. Tentu saja Nobi terus meneriakkan namanya. Namun, itu tak penting baginya untuk saat ini. Dia berlari ke tempat tembok yang dilihatnya tadi. Saat tiba di sana, ternyata tak ada siapapun.
Ren menoleh kesana kemari untuk mencari keberadaan pemuda itu. Setelah melihat ke segala arah, dia tak juga menemukan orang yang dicari. Lantas, dia menghela napas lelah dan merasa kecewa karena ini tak seperti yang diharapkan. Kemudian, dia membalik badan dan betapa terkejutnya dia karena melihat punggung seorang pemuda, semakin tampak lebar jika tanpa sayap.
"Huah!" kaget pemuda tersebut. Ren pun tersentak karenanya. Karena panik, pemuda itu hendak beranjak dari sana, tapi langsung dicegah oleh Ren.
"Jangan pergi!" tegas Ren seraya memegang lengan pemuda itu.
Alen menepis tangan orang yang tak dikenalnya itu. Namun, dia masih ingat bahwa gadis itu adalah orang yang kemarin ditabrak olehnya. "Apa kau mengenalku? Apakah orang-orang di sini sudah tahu siapa aku?" tanya Alen dengan nada cemas.
Ren menggeleng cepat setelah diam beberapa saat. "Ajari aku cara untuk terbang!"
***
Entah mengapa, akhirnya Alen memutuskan untuk datang ke Desa Aves lagi. Alhasil, dia malah terjebak di balik tembok karena tidak mau tertangkap oleh orang-orang yang sedang melakukan aktivitas di sekitarnya. Bahkan, sekarang dia malah berhadapan dengan seorang gadis yang tiba-tiba mengajukan permintaan kepadanya.
"Tolong, ajari aku terbang," ucap seorang gadis yang dia lihat kemarin.
Mendengar itu, Alen tertawa cukup keras sekejap sebelum dia menyadari bahwa tawanya bisa mengundang perhatian warga. Lantas, dia melihat sekeliling untuk memastikan tak ada warga yang mendengar tawanya.
"Apakah kau bercanda? Burung macam apa yang tak bisa terbang?" tanya Alen setengah berbisik.
"Aku memang tak bisa terbang," ucap Ren tanpa ragu.
Alen menatap wajah gadis di depannya dan tak merasakan kebohongan apapun. Dia langsung merasa tidak enak. "Eum, maaf. Tapi, kenapa kau meminta kepadaku? Kau harusnya meminta orang tuamu mengajarkan hal itu," ungkapnya.
"Karena hanya kau yang bisa membuatku terbang," ucap Ren penuh keyakinan. "Aku melihatnya. Kekuatan yang keluar dari tanganmu berhasil menyentuh sayapku. Kau masih mau mengelak?"
Alen menghela napas. "Begini, aku—" ucapannya tiba-tiba terpotong ketika Ren menariknya untuk berjongkok diantara pohon dan tembok. Setelah itu, Ren berdiri menutupi tubuhnya ketika seorang warga pria lewat.
"Selamat sore, Pak!" sapa Ren sambil menunjukkan senyum lebar.
Pria itu langsung memalingkan wajah. "Sedang apa kau di sana, Ren? Tak biasanya juga kau menyapaku," gumam pria tersebut, berlalu begitu saja. Tapi, Ren tak peduli dengan ucapan pria tersebut.
"Siapa orang itu? Tega sekali berbicara seperti itu terhadap orang yang menyapanya?" gumam Alen sambil menatap pria yang punggungnya sudah hampir tidak terlihat. Seketika, dia terlonjak ketika Ren sudah duduk di hadapannya. "Mengagetkan saja."
Ren menatap kedua bola mata Alen dengan tatapan memohon. "Siapa namamu?"
"A—Alen!" Alen yang tiba-tiba gugup ketika Ren menatapnya begitu intens.
"Ayolah, Alen! Kau pasti bisa membuatku terbang, kan?" Ren menyatukan kedua tangan di depan dada sebagai bentuk permohonan.
"Kau asal bicara. Aku tak bisa membantumu," ucap Alen dengan tegas sembari menggelengkan kepala dengan keras.
"Baiklah, aku akan memberitahu warga bahwa kau ada di sini!" ancam Ren sembari berdiri.
Alen menarik tangannya dan memberi tatapan memohon. "Tolong, jangan beritahu mereka. Aku tak mau mati sia-sia di sini."
Ren yang tak tega dengan pemuda yang terlihat tak berdaya itu pun akhirnya melunak. Dia mengurungkan niatnya untuk memberitahu warga. "Kalau begitu, tolong berjanjilah untuk mengajariku terbang!"
Alen mengangguk cepat seraya berdiri. Namun, dia gelisah ketika masih ada banyak warga yang masih ada di sekitar, meskipun matahari hampir tenggelam. "Tapi, bisakah kau membantuku untuk keluar dari desa ini? Aku harus kembali ke kota," pintanya.
"Baiklah, ayo ikuti aku!" ucap Ren setelah berpikir sejenak.
***
Ozi berjalan santai ke dalam rumah seraya membawa seember air. Ketika dia melihat ayahnya keluar dari kamarnya, dia seketika mematung dan berubah menjadi tegang. Ayahnya menatapnya dengan tajam. Kacamata dan wajah yang tegas itu membuat ayahnya semakin terlihat menakutkan.
"Kenapa buku ini ada di kamarmu?" tanya Mauren dengan nada dingin.
"Aku ... hanya ingin membacanya karena penasaran." Ozi sedikit lambat untuk mencari alasan. Sehingga, itu membuatnya segera meletakkan ember ke lantai.
Mauren semakin menunjukkan kesan dinginnya. "Kenapa kau tidak minta ijin kepada Ayah?"
To be continued....