Bruk!
Pria yang telah menabrak Ren di atas tebing itu mendarat setengah jongkok. Setelah itu, dia menatap tajam ke arah Ren. Ozi dengan sigap berdiri di depan Ren.
Pria itu pun menghela napas kesal. "Hey! Harusnya kau menghindar tadi! Kalau kau terluka, aku yang akan mati!" omelnya. Ren mengerutkan kening, sementara Ozi tercengang.
"Hey, bocah! Kenapa malah kau yang mengomel? Jelas-jelas, kau yang bersalah di sini!" ucap Ozi dengan kesal. "Memangnya kau siapa? Berani sekali memasuki wilayah kami!"
"Ahh! Menyebalkan!" umpat orang bersayap hitam itu. Dia langsung melesat ke udara tanpa permisi.
Debu beterbangan di sekitar Ren dan Ozi yang membuat mereka berdua terbatuk. Ozi terus mengumpat sambil mengibas-ngibaskan tangannya untuk menghalau debu yang masih beterbangan di sekitar wajahnya. Sedangkan, Ren yang hanya menutupi hidungnya dengan sayap melihat sehelai bulu burung berwarna hitam tergeletak di tanah. Ren memungut benda itu dan melihat ke arah langit, orang bersayap hitam itu sudah tak terlihat.
***
Ren memasuki rumah dengan memberi salam kepada pamannya yang sedang menyemproti tanaman dengan air. Setelah mendapat jawaban dari pamannya, dia langsung berlari menuju kamarnya. "Ren, jangan lupa malam ini kau harus ke dokter!"
"Iya, Paman! Aku tidak lupa soal itu!" teriak Ren dari dalam kamar. Dia berjingkrakan kesenangan lalu berdiri di depan cermin sebesar ukuran tubuhnya. Dia melihat sayapnya dari samping dan sesekali tersenyum.
Ren memperhatikan setiap detail yang ada di sayapnya yang berwarna putih itu, berkilauan seperti berlian ketika mengenai cahaya lampu di kamarnya. Hingga tanpa sadar, Ren bergumam, "Sangat indah."
Ketukan pintu menyadarkannya dari rasa terpukaunya terhadap diri sendiri. "Ren, keluarlah! Ayo makan bersama sebelum pergi ke dokter," ucap Nobi sembari menyembulkan kepalanya setelah membuka pintu sedikit.
Ren berjalan cepat ke arah pintu dan memengang pintu itu dengan erat agar pamannya tak membukanya dengan lebar. "Iya, Paman. Aku akan menyusul setelah berganti pakaian," ucap Ren sambil tersenyum malu.
Nobi pun mengangguk dan langsung menuju ruang makan. Pintu ditutup kembali dan Ren menghela napas lega. Dia tak mau pamannya tahu bahwa dirinya sedang mengagumi diri sendiri. Karena dia memang tak pernah menunjukkan sisi narsisnya di depan pamannya.
Ren ke luar kamar menuju ruang makan dan langsung duduk di hadapan pamannya. Dia mencicipi sesuap makanan tanpa basa-basi. "Woah! Paman, kau selalu hebat dalam memasak!"
Nobi tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Ren pun ikut tertawa bersama Nobi. Namun, Nobi tiba-tiba langsung merubah ekspresinya dari tertawa lebar menjadi ekspresi datar. "Berhentilah membual! Aku membelinya di pasar karena kau tak mau memasaknya untukku."
Ren langsung meringis, menunjukkan deretan giginya. "Bukannya tak mau, Paman. Aku memang tak bisa memasaknya untukmu," ucap Ren, lalu memasukkan sesendok nasi ke mulutnya.
"Terserahlah, entah apa yang bisa kau lakukan?" ucap Nobi sambil mengunyah makanan. Seketika, Ren berhenti mengunyah makanan dan berhenti menyendok makanan di piringnya. Lantas, Nobi melihat hal itu dan jadi merasa bersalah. "Ren, bukan itu yang kumaksud."
Ren meneguk segelas air. Kemudian, bangkit dari tempat duduknya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Nobi menghela napas pasrah.
***
Ozi duduk di meja makan dan menggigit sebuah apel yang tersedia di meja. Dari sana, dia bisa mendengar ayahnya yang sedang marah-marah terhadap bawahannya di ruang kerja. "Lagi-lagi, kerjaanmu tak beres. Kau memang tak becus! Menangkap seorang bocah saja tak mampu!"
Ozi menghela napas lelah. Dia sudah muak terhadap ayahnya saking seringnya mendengar ayahnya memarahi bawahannya. Namun, kali ini dia mengurungkan niatnya untuk beranjak dari sana karena ingin mengetahui lebih jauh tentang sesuatu yang sedang dibicarakan oleh ayahnya.
"Iblis itu akan menimbulkan bencana jika kita terus membiarkannya memasuki wilayah kita. Kau tahu itu, kan?"
"Maaf, Tuan. Kalau boleh memberi saran, lebih baik kita memberitahukan kepada para warga agar menangkapnya jika melihat."
Ozi langsung beranjak dari sana ketika mendengar suara knop pintu diputar. Dia bergegas keluar dari rumah dan pergi kemanapun sayapnya akan membawanya pergi. Dia pernah mendengar tentang perbedaan yang tercipta berdasarkan warna sayap ketika seseorang dilahirkan ke dunia. Seseorang bersayap hitam, dianggap keturunan iblis. Sebaliknya, seseorang bersayap putih, dianggap keturunan malaikat. Itulah yang dipercayai oleh masyarakat sampai sekarang. Tepat saat dia mengingat kejadian tadi siang, dia melihat Ren sedang berjalan menuju rumah dokter yang tinggal beberapa meter lagi.
"Ren!"
"Ozi? Kau mengikutiku?" tanya Ren dengan curiga ketika melihat Ozi turun perlahan sampai menginjak tanah.
Ozi tertawa kecil. "Tidak. Aku kebetulan lewat." Ren pun tak bertanya lagi dan hanya berbalik untuk memasuki rumah dokter. "Kau tidak ingat kejadian tadi siang?"
"Oh, Ren! Aku kira kau tidak datang!" seru Dokter Bima sembari berjalan menghampiri Ren dan memeluknya. Ren pun membalas pelukan Dokter Bima dengan ramah.
"Belakangan ini, pamanku sangat bawel. Mana mungkin aku tidak menemuimu," ucap Ren sambil tersenyum lebar. Ozi melihat perbedaan ekspresi Ren sebelum bertemu dokter dan saat bertatapan dengan Dokter Bima.
***
Ren duduk saat diperiksa oleh Dokter Bima. Dia hanya menunduk sembari melihat jari-jari kakinya. Beberapa saat kemudian, Dokter Bima membuatnya tersentak.
"Ini mustahil!" ucap Dokter Bima dengan ekspresi tak menyangka. Ozi yang sedang bersandar di tembok pun kini bergegas mendekat.
Ren melebarkan mata kebingungan. "Kenapa, Dok? Apakah kondisi sayapku memiliki perkembangan?" tanyanya dengan penuh harap.
Dokter duduk di hadapan Ren dan menatap Ren. "Benar! Ini benar-benar langka. Selama dua puluh tahun aku menjadi dokter, baru kali ini aku melihat kasus yang seperti ini," ucapnya menggebu-gebu. Perasaannya campur aduk antara tidak percaya sekaligus senang.
"Sungguh? Apakah itu artinya Ren akan bisa terbang seperti kita?" tanya Ozi yang berharap banyak atas pernyataan dokter barusan.
Namun, Dokter Bima langsung mengubah ekspresinya menjadi sedikit muram. "Kalau itu, aku tidak bisa memastikan. Hanya sedikit pergerakan pada sayapnya, itu sudah sebuah keajaiban," ujarnya sambil melihat sayap Ren. "Ren, kau sangat beruntung!"
Ozi mengerutkan kening. "Tapi, Ren bisa terbang, Dok. Tadi siang, aku melihatnya sendiri," ucap Ozi dengan tatapan meyakinkan.
Dokter Bima tersenyum tipis sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Itu tidak mungkin. Tadi kau pasti bermimpi di siang bolong," tanggap Dokter Bima tanpa ragu. Kemudian, dia berkata, "Ozi, kau boleh setia menjadi teman Ren. Tapi, tolong jangan memberikannya harapan palsu."
"Ha-- Harapan?"
Ozi tak mengerti kenapa Dokter Bima tak percaya dengan ucapannya. Padahal, dia mengatakan berdasarkan apa yang telah dilihatnya. Bahkan tak ada sedikitpun keraguan ketika dia memberi pernyataan kepada Dokter Bima.
"Terima kasih untuk hari ini, Dok. Saya akan pulang," pamit Ren sembari berdiri dan menggenggam lengan Ozi. Setelah Dokter Bima mengangguk dan mereka berdua langsung keluar dari rumah Dokter Bima.
Ozi lebih tak memahami sikap Ren yang tak mau menjelaskan secara langsung. "Ren, Dokter Bima harus tahu bahwa kau memang masih bisa terbang," ucapnya
Ren tiba-tiba berhenti berjalan, lalu tersenyum tipis. "Apakah kau yakin bahwa itu bukan sebuah kebetulan?" tanyanya sembari menatap Ozi.
To be continued....