Jakarta Timur, Pukul 11.00 siang.
Mobil yang di kemudikan oleh supir pribadi Aifa kini sudah berjalan dengan kecepatan sedang. Disamping Aifa, ada Misha yang sejak tadi banyak diam.
Bagi Aifa, Misha itu wanita yang baik dan sopan. Selain cantik, ntah kenapa sejak pertama kali melihatnya, Aifa sudah senang dengan Misha seolah-olah ia sepertinya punya adik perempuan yang ia impikan sejak dulu.
"Dek Misha, kamu baik-baik saja kan?"
Misha menoleh kesamping. Ia pun tersenyum tipis. "Em, iya Kak. Saya baik."
"Jangan gugup ya. Daddy dan Mommy Aifa, ah salah, maksud Aifa calon mertua Misha itu, baik kok. Nggak jutek. Pokoknya sampai disana Misha santai ya, jangan grogi. Aifa yakin, Mommy akan senang melihat Misha. Dan Aifa menjadi orang pertama yang akan merestui Misha sebagai calon adek ipar hehehe."
Misha hanya tersenyum canggung dan malu. Sejak tadi, Aifa benar-benar berusaha membuatnya tenang meskipun dalam hati sebenarnya ia cukup takut menghadapi sebuah keluarga yang tanpa siapapun sadari, ia menyimpan rahasia terbesar tentang mereka. Jika rahasia itu terbongkar, ia yakin, Aifa yang saat ini baik dengannya akan membencinya.
Ponsel Misha bergetar kecil. Sebuah pesan chat notifikasi WhatsApp pun masuk yang berasal dari Vita.
Tata : "Serius kamu lagi di Jakarta?"
Misha pun membalasnya.
Misha : "Hm, iya lah. Masa aku bohong?"
Tata : "Yuks ketemuan. Sekalian jalan-jalan. Sejak Sabtu sore kemarin, aku ke Jakarta juga. Ini aku lagi dirumah Kak Ava. Cuti kamu masih sisa beberapa hari lagi, kan?"
Seketika Misha terdiam. Ia teringat dengan semua pemikirannya sejak semalam. Ia sudah memutuskan akan pindah tempat ke sebuah hunian kost putri. Tinggal bersama Hamdan malah akan membahayakan bagi dirinya. Apalagi sudah dua kali Kakaknya itu menjebaknya. Secara tidak langsung, ia juga berniat pindah kerja dari kedai kopi Van Java milik Anita.
Misha : "Insya Allah, ya Ta. Nggak janji."
Tata : "Aish, kapan lagi kita mengenang masalalu jalan-jalanย bareng? Sekalipun aku bekerja di Surakarta, tetap saja kamu sibuk banget buat di ajak jalan."
Misha menghela napasnya. Vita benar. Baiklah, ia akan menyempatkan waktu untuk jalan-jalan bersama sahabatnya.
Misha : "Oke, nanti aku kabarin jam nya ya, saat ini aku sedang ada urusan. Nanti aku kabarin lagi."
Tata : "Aku tunggu ya. Jangan wacana doang."
Misha tak membalasnya. Ia hanya tersenyum tipis kemudian mengabaikan ponselnya. Suara ocehan si kembar Rafa dan Rafi pun terdengar, membuat Misha rasanya gemes ingin menggendong mereka lagi.
Tata : "Oh iya, semalam Hamdan hubungin aku. Ih, bikin kesel pakai banget Kakakmu itu! Dia tanya-tanya aku, kamu dimana? Tahu posisi kamu atau nggak. Terus dia marah-marah nggak jelas. Sudah gitu, dia pulang ke Surakarta pagi ini juga."
Tata : "Btw, kopermu di guest house sudah dibawa sama Hamdan. Jadi gimana nih? Aku harus bilang apa sama dia? Sampai sekarang aku masih tutup mulut soal keberadaanmu."
Tata : "Btw, sekarang kamu dimana sih? Kasih tahu aku, please, aku juga kepikiran sama kondisi kamu, Mi."
Misha kembali terdiam. Ia hendak membalasnya lagi namun menghentikan niatnya ketika ia sadar kalau mobil yang di kemudikan supir pribadi Aifa tiba di kediaman Hamilton.
Detik berikutnya, hanya ketegangan dan rasa was-was menggelayut di diri Misha ketika sebentar lagi ia akan bertemu dengan keluarga Franklin.
๐๐๐๐
Kediaman Hamilton, Pukul 13.00 siang.
Sholat Zuhur baru saja berakhir, Franklin segera bersiap-siap diri ketika saat ini ia berada di ruangan walk in closet di kamarnya. Didepan pantulan cermin berukuran close up, ia menatap dirinya yang sekarang sudah mengenakan gamis putih.
Meskipun acara pengajian di hadiri oleh ibu-ibu, tentu saja ia harus hadir saling membantu meskipun nantinya ia dan para pria lainnya yang berstatus keluarga menunggu diluar rumah sambil duduk di deretan kursi.
Dibelakang Franklin, ada sebuah meja yang kali ini di atasnya terdapat ponsel miliknya. Hanya menatap ponsel tersebut dari pantulan cermin, seketika ia teringat kejadian semalam.
Semalam, tiba-tiba Misha pingsan sambil terduduk di belakang mobil begitu ia tiba di halaman rumah Aifa. Tidak ada cara yang ia lakukan selain menggendong tubuh wanita itu bertepatan saat pria paruh baya yang menjadi penjaga rumah Aifa tanpa sengaja melihatnya.
Dalam hati Franklin menerka-nerka. Sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan Misha? Kenapa semalam Misha di kejar-kejar sama tiga orang pria? Ingin rasanya Franklin menanyakan hal itu pada Misha, tapi ia memilih enggan.
Tak hanya itu, dari hati yang paling terdalam Franklin juga ingin menanyakan keadaan Misha pada Aifa. Tapi lagi-lagi ia mengurungkan niatnya. Sudah bisa dipastikan bukannya mendapatkan jawaban, yang ada Aifa malah menggodanya dengan ocehan tentang ia dan Misha.
Franklin menghela napasnya. Memikirkan Misha saat ini bukanlah hal yang tepat. Yang penting wanita itu sudah aman ditempat Kakaknya. Itu saja. Ya, iya yakin itu.
๐๐๐๐
Jakarta Timur, Pukul 13.30 siang.
Ternyata mencoba meredam rasa gugup bukanlah hal yang mudah bagi Misha ketika saat ini ia sedang berada di kediaman mewah milik Hamilton. Tepatnya berada di dapur sambil mengupas buah melon.
Memang, secara intens ia belum berkenalan dengan keluarga Franklin mengingat saat ini semua pada sibuk di tengah persiapan acara pengajian 30 menit lagi. Tiba-tiba Feby datang menghampiri Misha.
"Loh, Misha sendiri? Pembantu yang lainnya mana?"
Misha menoleh. Ia sudah kenal kalau Feby adalah Kakak Ipar Franklin. "Nggak apa-apa, Kak. Lagian saya lagi nggak ada kerjaan."
"Tapi-"
"Mama, Mama di cari Nenek didepan."
Suara Fariz menghampiri keduanya. Fariz sudah terlihat sehat akibat insiden kecelakaan di Surakarta beberapa waktu lalu. Feby beralih menatap Misha, rasa tidak enak terlihat diwajahnya. Misha tersenyum.
"Beneran saya nggak apa-apa Kak."
"Yaudah, saya tinggal ya. Nanti saya suruh pembantu yang lain menghampiri kamu. Ya ampun, calon adek ipar jangan ikut bantuin. Kan sudah ada yang ngerjain urusan dapur.."
Feby tertawa geli dan Misha hanya tersenyum canggung. Dari Jarak beberapa meter, Franklin menatap interaksi keduanya. Ternyata Misha di terima baik di keluarganya.
Franklin menatap Misha dari belakang. Pakaian yang ia beri semalam sudah bisa ia tebak akan pas di tubuh wanita itu.
"Argh!"
Franklin tersentak. Dengan cepat ia mendekati Misha bahkan syok melihat jari Misha berdarah.
"Ada ap- Ya Allah... Apa yang kamu lakukan?!"
Misha terkejut. Tiba-tiba Franklin datang begitu saja ketika semalam ia tidak melihat pria itu setelah ia pingsan.
"Mbak! Mbak! Kemana kalian! Kenapa dia yang kerja bukan kalian!"
Dua wanita paruh baya sebagai asisten rumah tangga Hamilton datang tergopoh-gopoh dan menghampiri keduanya. Dengan rasa bersalah dua asisten tersebut segera menolong Misha.
"Ini tugas kalian! Kenapa dia-"
"Kak, aku, tidak apa-apa."
"Apanya yang tidak apa-apa?! Kamu terluka.."
"Tapi, aku-"
"Kamu bikin aku khawatir! Dan aku nggak suka liat kamu terluka."
DEG!
Seketika Misha terdiam. Tak hanya itu, Franklin sendiri tertegun. Ia tidak menyangka bisa berucap secara spontan seperti itu. Detik berikutnya, ia pun mengalihkan pandangannya ke lain. Ntah kenapa semakin hari Misha tambah cantik saja. Franklin pun menghela napas dan membalikkan badannya.
"Maaf, hanya refleks khawatir sebagai rasa manusiawi. Itu saja."
Dan Franklin pun pergi berlalu. Sepertinya ia butuh air. Tapi tidak dengan Misha, wajahnya sudah memanas dan pipinya merona merah.
๐๐๐๐
Terlalu jujur tapi secepat itu Franklin pergi. Mungkin malu kali ya ๐
Hm, kalau karakter Franklin macam Arvino yg playboy di Mencintaimu Dalam Diam, mungkin bakal gercep ngejar Misha.
Tapi sayangnya, dia santuy. Jadi kudu sabar kita para readersss. Kata Franklin, perlahan tapi pasti ๐
Kita slow aja dulu gpp kan..
Ku gak tega bikin kalian nyesek di part ini. Gak tau kenapa ๐คฃ
Jadi tisunya simpan dulu buat next Chapter ๐
Jazzakallah Khairan ukhti sudah baca. Sehat selalu buat kalian..
With Love ๐ LiaRezaVahlefi
Instagram : lia_rezaa_vahlefii
Akun Wattpad khusus fiksi remaja Lia_Reza_Vahlefi