Desa Grogol, Pukul 17.00 sore. Kecamatan Sukoharjo.
Franklin menatap sekitaran ruang tamu Misha yang terbilang cukup luas, bersih, dan barang-barang perabotannya yang tertata rapi. Misha baru saja berlalu menuju dapur dengan raut wajahnya yang pucat untuk membuatkannya minum.
"Permisi, Pak?"
"Ya?"
"Maaf, saya izin menerima panggilan dari istri saya sebentar diluar."
"Oke, silahkan."
Pria paruh baya bernama Mahmud itu segera berlalu menuju teras rumah Misha. Mahmud adalah seseorang yang Franklin suruh untuk membantu menjalankan rencananya. Sebenarnya ia bisa saja menyuruh Aldi. Tapi ia memilih enggan karena Aldi sudah cukup banyak dalam membantu urusan pekerjaan di perusahaan. Tidak untuk urusan pribadi.
Sambil menunggu Misha datang, Franklin melihat-lihat beberapa bingkai foto yang terpajang di dinding. Bingkai foto yang berisi anggota keluarga Misha. Disana ada pria dan wanita paruh baya yang bisa Franklin tebak kemungkinan adalah orang tua kandung Misha.
Franklin menyipitkan matanya ketika ia juga melihat bingkai foto berukuran 10R terpajang di sebelah foto keluarga tersebut. Foto Misha sewaktu memakai seragam sekolah Madrasah Aliyah.
Franklin pun menoleh ke samping. Terdapat meja kecil yang diatasnya ada vas bunga. Disamping vas bunga tersebut ada bingkai foto berukuran 4R. Sebuah foto anak kecil kisaran usia 5 tahun yang lucu dengan kedua pipinya yang chubby. Foto tersebut terlihat usang. Franklin yakin, foto tersebut adalah foto Misha waktu kecil.
Tanpa sadar Franklin tertegun menatap foto itu tanpa berkedip. Secercah pikiran bahwa suatu saat Misha melahirkan anak perempuan kemungkinan besar akan terlihat mirip dengan foto ini. Seketika Franklin sedikit tersenyum walaupun tidak terlalu nampak.
"Kalau suatu saat aku punya anak perempuan, apakah anak itu akan mirip denganku? Ah atau mirip dengan Mommynya" ucap Franklin dalam hati.
Tiba-tiba hati Franklin tersentil hanya karena memikirkan anak perempuan yang lucu. Buru-buru ia segera menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Astaghfirullah, kenapa pikiranku terlalu jauh sampai kesana? Jodoh saja belum ada." Franklin menghela napasnya. "Positif thinking saja, mungkin karena selama ini aku terlalu banyak memiliki keponakan laki-laki."
"Hikzz, iya Kak, tolong beri aku waktu sedikit lagi.."
Samar-samar Franklin mendengar suara Misha yang terdengar lirih. Ntah dorongan dari mana Franklin malah memperhatikan sekitarnya lalu diam-diam dengan langkah pelan mengendap-endap menuju dinding ruang tengah.
"Please, tolong jangan sakiti dia. Iya, aku janji, sebentar lagi aku akan kesana membawa uangnya."
"Baiklah. Tolong, hikzz, jangan pukuli Kakakku lagi. Sudah cukup dia terluka."
Franklin syok. Ia menatap punggung Misha yang bergetar sambil menangis terisak. Sepertinya sudah cukup ia menguping. Dengan cepat Franklin kembali ketempat duduknya.
Sambil mengusap air mata dan memastikan bahwa dirinya baik-baik saja, Misha pun segera membawa nampan yang berisi dua cangkir teh hangat untuk menjamu Franklin dan rekannya.
Misha terkejut. Belum saja ia sampai di meja sofa, ia menghentikan langkahnya ketika melihat Franklin dengan santainya membaca majalah bisnis terbitan tahun 2011 dengan cover wajah Franklin Hamilton.
Seketika Misha merasa malu. Sadar bahwa dirinya ketahuan mengoleksi beberapa majalah bisnis bersampul wajah pria itu. Franklin melirik kearah Misha, ia pun segera menutup majalahnya dan mengembalikannya ke bawah meja sofa yang tertutup taplak.
"Kamu, suka majalah bisnis?"
Mau tidak mau, Misha mengangguk canggung. Dengan sedikit gemetar, Misha menaruh nampan diatas meja dan menyuguhkan dua cangkir teh pada Franklin. Sementara Mahmud masih di teras depan.
"I-iya Kak."
"Perlu saya tandatangani majalahnya? Tanda tangan saya ini mahal."
ucap Franklin dengan rasa percaya diri. Ntah kenapa ia merasa bangga selayaknya seorang artis.
"Tidak, Kak. Terima kasih."
Bertepatan saat itu, Mahmud masuk. Franklin menatap Mahmud melalui isyarat untuk segera menjalankan perintahnya. Mahmud pun membuka koper yang berisi uang tunai Rp. 150.000.000,-
"Ini uangnya cash. Sesuai harga rumah ini." sela Franklin.
Ntah kenapa hati Misha terluka. Berat rasanya melepaskan sesuatu yang berharga untuknya apalagi rumah itu adalah warisan satu-satunya yang ia miliki. Dengan menguatkan hatinya, akhirnya Misha mengalah dan menyerahkan sertifikat rumah miliknya pada Franklin.
"Ini Kak, sertifikatnya. Mohon di cek dulu."
Franklin mengangguk. Dalam hati sebenarnya ia tidak tega. Tapi tidak ada cara lain selain mencari tahu hal apa yang sebenarnya sedang terjadi setelah tanpa sengaja tadi pagi ia melihat Misha menjual rumah secara cepat dan dadakan di media sosial.
"Tidak masalah hanya untuk mencari tahu. Lagian uang Rp. 150.000.000,- itu cuma uang jajanku. Jadi santai saja."
💘💘💘💘
Surakarta, Pukul 17.20 menit.
Masih ada waktu kurang lebih 30 menit menuju adzan Maghrib berkumandang. Dengan langkah tergesa-gesa, Misha mempercepat langkahnya menelusuri koridor lantai tiga hotel bintang dua yang ada di kota Surakarta.
Peluh keringat membanjiri tubuhnya. Sebisa mungkin Misha melawan rasa panik dan cemas meskipun tidak mudah.
Demi menyelamatkan Hamdan, Misha rela melakukan apapun. Hamdan adalah bagian dari hidupnya yang telah berjasa merawatnya sejak kecil sepeninggalan Ayah Ibunya meskipun sifat Kakak kandungnya itu telah berubah buruk akibat pergaulan yang tidak baik.
Misha menghentikan langkahnya tepat didepan pintu kamar nomor 1 sambil menurunkan masker hitam yang menutupi sebagian wajahnya kebawah dagu. Dengan perlahan ia mengetuk pintunya.
Suara kuncian pintu terbuka dari dalam, Misha segera membuka pintunya dan detik berikutnya air mata kembali luruh di pipinya.
Misha terpukul melihat penampilan Hamdan yang tidak berubah sejak kemarin. Bahkan saat ini ia tidak tahu apakah Rex dan Frankie memberinya makan dan minum atau tidak.
Dengan perlahan Misha menurunkan tas ransel di punggungnya kemudian melempar begitu saja kearah Rex dan Frankie.
"Itu uangnya, aku mau Kakakku!"
Misha menghapus air mata di pipinya dengan kasar lalu mendekati Hamdan begitu saja. Rasanya ia sudah lelah dengan semua ini. Suara isak tangis Misha terdengar lirih sambil membuka ikatan tali yang melilit di tubuh Hamdan. Sementara Rex menahan salah satu pria berbadan besar yang ingin mendekati Misha.
"Biarkan saja mereka." ucap Rex pelan.
"Hitung uang itu," sambung Frankie dengan tegas menatap pria kedua yang berbadan besar. "Pastikan uang itu asli dan jumlahnya tidak kurang."
"Kakak, ayo, kita pergi dari sini. Hikz, aku sakit melihat Kakak begini." isak Misha yang kini fokus terhadap Hamdan.
Hamdan tak merespon. Tubuhnya terlalu lemah untuk bisa berkomunikasi dengan Misha. Yang ia lakukan hanya menunduk dengan wajah penuh luka lebam.
Brak! Tiba-tiba pintu terbuka lebar. Franklin syok dengan apa yang ia dengar sejak tadi di depan pintu yang tidak tertutup rapat. Rupanya Misha tidak menutup pintunya dengan benar setelah memasukinya.
Berusaha tenang seperti wataknya, Franklin memasukkan salah satu tangannya kedalam saku celana kainnya dan melangkahkan kakinya.
"Kenapa kalian melakukan hal ini pada mereka?"
Rex membuang pandangannya ke lain. Sementara Frankie tersenyum sinis menatap kembarannya. Dengan langkah pelan ia mendekati Franklin dan berdiri di hadapannya. Frankie bersedekap.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu. Kenapa kamu lakukan hal ini pada Misha setelah Kakaknya yang brengsek itu ketahuan menipu Daddy melalui investasi Rp.150.000.000,-?"
Franklin terkejut. Dengan akal logikanya yang sedang tadi tidak terbawa emosi, Franklin menatap saudara kembarnya dengan datar.
"Yang salah pria itu. Bukan Misha. Cukup pria itu yang bertanggung jawab. Tidak membawa adiknya kedalam masalah."
BUG! Detik berikutnya Frankie meninju pipi Franklin. Franklin tersungkur ke lantai. Darah segar mengalir di sudut bibirnya. Misha sampai syok dan memalingkan wajahnya ke lain begitupun dengan Rex yang mencegah Frankie ketika pria itu kembali menuju pipi Franklin.
"Dia sudah membuat Daddy darah tinggi, kecewa, bahkan tidak bisa mengendalikan emosi hanya karena karena ulah pria itu. Apakah kamu tidak mengkhawatirkan kondisi Daddy?! Seharusnya Misha bisa mencegah Kakaknya! Bukan membiarkannya! Dan kamu membela wanita pujaanmu ini?!"
"Frankie hentikan!" Rex melerai Frankie. "Kalian saudara. Jangan sampai membuat masalah bertambah sulit."
Franklin mendengkus kesal. Mencoba kuat, ia berdiri sambil membersihkan butiran debu yang menempel di lengan kanan kirinya kemudian mengusap darah yang mengalir di sudut bibirnya. Franklin menatap saudara kembarnya dengan santai.
"Rp.150.000.000,- bagi Daddy tidak ada apa-apanya. Kamu saja yang lebay dan berlebihan."
"Kamu!-"
"Frankie, sudah. Tahan emosimu."
"Wanita pujaannya itu belum menjadi bagian dari keluarga kita! Tapi dia sudah berhasil mengelabui adikku, Rex! Lihat saja, betapa santainya dia dalam menghadapi masalah yang menimpa Daddynya!"
"Aku tidak memiliki wanita pujaan. Aku menolongnya hanya karena rasa kemanusiaan." ucap Franklin akhirnya.
Frankie tertawa. Raut wajahnya sinis. Ia menjauhkan diri dari Rex yang sejak tadi mencegahnya kemudian tatapannya beralih ke Misha.
"Kamu dengar Misha? Ternyata selama ini kamu bukan wanita pujaannya, ck! Urusanmu sudah selesai, silahkan pergi dari sini dan jangan pernah mendekati keluarga kami untuk selama-lamanya!"
Seketika hati Misha hancur. Franklin sampai tertegun mendengarnya. Ia tidak menyangka kalau Frankie akan berkata seperti itu.
Misha pun bergidik ketakutan. Usiran Frankie yang terdengar bentakan itu membuatnya sadar untuk segera pergi dari sana. Misha membantu Hamdan agar bisa berdiri meskipun tertatih.
Tubuh Hamdan sangat berat. Misha merangkul lengan Hamdan di pundaknya. Franklin menatap Misha beberapa detik lalu ia menundukkan wajahnya. Tanpa diduga Misha menghentikan langkahnya tepat di sampingnnya.
"Te.. terima kasih sudah membantu saya." suara Misha terdengar lirih. Ntah kenapa hati Franklin seperti tersayat. "Semoga Allah membalas kebaikan Kakak. Saya, saya minta maaf. Semoga, Kakak bahagia dengan Vita. Tolong jaga sahabatku. Jangan kecewakan dia,"
Detik berikutnya, tubuh Franklin melemas. Ia tidak tidak menyangka kalau Misha mengetahui bahwa Vita menyukainya.
Suara pintu tertutup. Seperti tergores luka, Franklin tidak mengerti ada apa hatinya yang tiba-tiba merasa takut dan tidak melihat Misha lagi selama-lamanya.
💘💘💘💘
ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
Kalian kuat nggak sampai Chapter selanjutnya? 🤧
Tapi Jazzakallah Khairan ukhti sudah baca. Sesantuy apapun Franklin, rupanya dia nyesek juga 😩
Sehat selalu buat kalian dan sekeluarga ya,
With Love 💋 LiaRezaVahlefi
Instagram : lia_rezaa_vahlefii
Akun Wattpad khusus fiksi remaja Lia_Reza_Vahlefi