Apartemen Solo Residen, Pukul 05.00 pagi. Surakarta.
Dengan memakai celemeknya, Franklin tengah sibuk memasak sesuatu untuk sarapan pagi ini. Menu yang ia buat sekarang adalah kornet sapi, beberapa potong sosis, telur dadar beserta roti bakar dengan lapisan mentega.
Sejak remaja, Franklin tidak terbiasa sarapan berat karena khawatir akan mengantuk dan menganggu aktivitasnya. Setelah itu, Franklin segera membuat segelas jus alpukat sebagai pemanis untuk meningkatkan rasa mood nya di pagi hari.
Franklin sudah mempersiapkan semuanya. Ia pun melepaskan celemeknya dan mulai mencuci tangan sebelum duduk diatas kursi meja makan dan menyantap semuanya.
Ponsel Franklin berdering. Nama Aifa terpampang di layarnya. Franklin segera meloudspeker panggilan tersebut.
"Iya, Kak. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam. Franklin, ini gawat!"
Uhuk!
Suara Aifa terdengar panik. Franklin sampai menghentikan kunyahannya sampai tersedak. Dengan cepat Franklin meraih segelas air putih dan meminumnya. Dadanya sampai terasa sesak, sementara Aifa masih saja mengoceh gawat dan gawat sejak tadi.
"Kak, ada apa?"
"Franklin, Aifa panik! Sudah sebuah adek ipar tidak bisa di hubungi. Kalian baik-baik saja, kan?"
Franklin mengerutkan dahinya. Adik ipar? Siapa? Apakah yang di maksud Aifa itu Feby? Istri dari kembarannya Frankie? Franklin merubah raut wajahnya menjadi datar dan kembali menyuapkan potongan sosis ke mulutnya.
"Aku tidak tahu, Kakak bisa menanyakan hal itu pada Frankie."
"Kok Frankie? Untuk apa? Ih gemesin deh, peka dikit kenapa sih? Yang Aifa maksud itu Misha dek, Misha. Bukan Adek ipar Feby."
Dan lagi, Franklin terdiam. Ia menghentikan aktivitas kunyahan didalam mulutnya. Rupanya yang merasa kehilangan kabar tentang Misha bukan hanya dirinya, tapi Aifa pun juga.
"Maaf Kak, aku tidak tahu."
"Kalian baik-baik saja kan?"
"Hm, baik."
"Yakin?"
"Iya."
"Kalau begitu Misha kemana?"
"Aku tidak tahu."
Tok! Tok! Tok!
Suara pintu Apartemen terketuk pelan. Franklin beranjak dari duduknya sambil membawa ponselnya.
"Sebentar Kak, ada tamu."
Aifa tidak lagi bersuara. Dalam hati Franklin bertanya-tanya. Tumben sekali pagi-pagi begini pintu apartemennya di ketuk seseorang, kalaupun Aldi, ia yakin, Aldi akan mengetuk pintunya tepat pukul 06.00 pagi.
Franklin segera membuka pintunya dan ia syok ketika Aifa berdiri di hadapannya. Sepagi ini Aifa mendatanginya? Untuk apa?
"Kenapa? Kaget kalau Aifa kesini?"
Aifa masuk begitu saja seolah-olah apartemen tersebut adalah rumahnya. Tak lupa Aifa mengucapkan salam kemudian duduk di kursi tamu.
"Kakak ke Surakarta sepagi ini?"
"Lebih tepatnya sejak semalam."
"Terus?"
"Aifa kesini sama Rex dan Frankie. Katanya mereka ada job dari calon klien."
"Lalu?"
"Ya Aifa ikut kesini. Aifa kangen Misha."
"Mana si kembar?"
"Di hotel sama babysitter."
Franklin hanya mengangguk dan kembali melanjutkan aktivitas sarapannya. Sementara Aifa mendengkus kesal melihat Franklin terlalu santai sementara ia bela-belain kemari sepagi ini demi bisa bertemu adiknya. Aifa sadar, Franklin akan sibuk bila adiknya itu berada di kantor.
"Aifa kesal sama Franklin!"
"Aku tidak salah apapun."
Aifa mencoba sabar dan duduk di hadapan Franklin yang sedang sarapan.
"Jadi Misha kemana?"
"Aku tidak tahu, Kak."
"Ya usaha dong, cari tahu. Hubungin dia kek, chat dia kek, atau keliling cari dia gitu."
Franklin tetap diam. Sebenarnya dalam hati ia juga penasaran dimana Misha. Namun memang sikapnya yang cenderung santai tidak mudah panik, membuat dirinya tetap merasa semuanya akan baik-baik saja.
"Dek,"
"Hm?"
"Kamu suka sama Misha?"
Franklin menghentikan kunyahannya. Ia menatap datar pandangan didepan matanya. Sementara Aifa menatapnya sejak tadi. Aifa menghela napasnya.
"Aifa paham kok, Franklin belum pernah menjalin hubungan apapun dengan seorang wanita, kalaupun suka, mungkin tidak berani mendekatinya atau mengungkapkannya."
"Kak, please, aku baik-baik saja."
"Tapi kita saudara Franklin. Sebagai Kakak, tentu saja Aifa tahu bagaimana seorang Franklin, terutama sikap dan watakmu, dek."
Aifa memajukan sedikit tubuhnya dan melipat kedua tangannya di atas meja.
"Umur Franklin semakin hari semakin bertambah. Tidak kah Franklin berpikir untuk belajar mencari jodoh? Coba belajar dari pengalaman pertama, pada akhirnya Franklin kehilangan Ava kan?
Aifa benar. Ia memang suka dengan Ava di masalalu sampai akhirnya wanita itu di miliki pria lain.
"Begini ya Dek," Aifa menarik segelas jus alpukat milik Franklin agar menjauh darinya. "Ibarat jus alpukat ini, Franklin tentu tahu kalau jus ini adalah milik Franklin. Bagaimana caranya supaya jus ini bisa sampai ke Franklin kemudian meminumnya?"
Franklin terdiam menatap segelas jus itu. Dengan perlahan ia meraih jus itu.
"Aku meraihnya dan segera meminumnya."
Aifa mengangguk dengan wajah serius. "Iya, Franklin benar. Selama Franklin mau berusaha, maka jus itu akan menjadi milik Franklin. Jika Franklin hanya diam dan menatap jus itu, Aifa yakin, Franklin tidak akan bisa meminumnya sampai kapanpun.
"Sama seperti jodoh Franklin." ucap Aifa akhirnya. "Selama Franklin tidak berusaha, maka jodoh tidak akan menghampiri. Setiap manusia, takdir jodoh, rezeki, dan kematian sudah tercatat di Lauhul Mahfudz. Termasuk dengan siapa pasangan hidupnya. Manusia di beri akal untuk berdoa dan berusaha. Aifa yakin, Franklin pasti mengerti maksud Aifa."
Sepertinya tamparan keras buat Franklin, tidak ada yang bisa ia lakukan selain merasa malu pada dirinya sendiri yang selalu menganggap bahwa jodoh akan datang dengan sendirinya melalui ketampanan dan kesuksesannya dalam berkarier.
"Padahal Franklin itu pria. Aifa wanita. Masa kalah sama Aifa di masalalu? Dulu Aifa yang berusaha mengejar-ngejar Rex. Tidak perduli omongan Angel kalau Aifa seperti di permainkan sama Rex."
"Aulia kak, bukan Angel."
"Oh iya lupa."
"Pokoknya contoh Aifa ya! Franklin pasti tahu bagaimana perjuangan Aifa di masalalu menemukan cintanya Aifa. Semua butuh usaha, doa, usaha dan doa. Saran Aifa, Franklin mulai sholat istikharah malam ini. Mintaย petunjuk sama Allah untuk calon pasangan hidup yang terbaik. Franklin harus ingat, kalau kita baik, maka Insya Allah calon pasangan kita orang baik juga. Jodoh itu cerminan, Aifa tahu Franklin itu seperti apa meskipun Aifa merasa Misha itu sama seperti Franklin. Sama-sama pemalu dan pendiam."
Aifa segera berdiri dan menuju ruang tamu. "Kakak tunggu diruang tamu, Aifa ikut nebeng sama Franklin ke hotel ya. Aifa doakan, siapapun calon jodoh Franklin, semoga dia wanita yang baik dan cantik seperti Aifa serta pintar memasak seperti Aifa."
๐๐๐๐
Seorang wanita tergesa-gesa begitu mendapat panggilan dari mantan atasannya. Dia adalah Misha. 10 menit yang lalu Misha mendapat panggilan yang terhubung dari Anita. Anita mengatakan bahwa Hamdan memerlukan dirinya.
Saat itu, Misha hanya mencoba untuk tidak perduli dan khawatir karena itu semua akal-akalan dari Hamdan. Tapi, namanya seorang adik, tentu saja ia tidak bisa bersikap seperti itu selama-lamanya.
Misha membuka pengaturan nomor ponsel yang ia blokir bernama Hamdan semenjak ia memutuskan untuk pindah dari rumahnya semata-mata agar terhindar dari Hamdan yang dzalim.
Misha syok, betapa terkejutnya kalau saat ini Kakaknya itu disekap oleh seseorang tak dikenal dan berada di sebuah kamar hotel. Dengan cepat ia pun menuju lokasi.
Sesampainya disana, Misha tak mampu menahan tangisnya begitu melihat Hamdan di ikat menggunakan tali dan duduk tak berdaya di sebuah kursi. Mulutnya tertutup oleh perekat berwarna hitam, sementara wajahnya sudah babak belur. Darah segar masih mengalir di kedua hidungnya.
"Ah, jadi ini orang yang kamu bilang sebagai penyelamat, Hamdan?"
Suara sindiran yang terdengar sinis itu berasal dari seorang pria yang Misha kenal. Dia adalah Frankie yang berpakaian serba hitam. Ditangannya terpasang sarung tangan hitam.
"Dunia memang sempit. Bahkan wanita itu hampir menjadi bagian dari keluarga kita." sela seorang pria satunya yang kini baru saja mematikan sebatang rokok di asbaknya bernama Rex.
Dengan cepat Misha mendekati Kakaknya. Ia ingin melepaskan ikatan tali tersebut, namun sungguh disayangkan salah satu pria berbadan besar menghalanginya.
"Tidak semudah itu, Misha." sinis Frankie tajam.
"Apa.. apa yang sebenarnya terjadi?"
Air mata Misha sudah berlinangan. Sementara Hamdan sudah menundukkan wajahnya dengan lemas, air liur bercampur dara sudah berjatuhan mengenai lantai.
Rex bersedekap. "Kakak mu yang brengsek ini sudah berani-beraninya menipu Daddy kami. Dia menggunakan akal licik untuk melakukan penipuan investasi
Rp.150.000.000,- "
Misha syok. Tentu saja tubuhnya melemah saat itu juga. Di satu sisi, ia tidak bisa menyalahkan keadaan karena Hamdan memang pria yang suka menimbulkan masalah dengan resiko tinggi. Tapi di satu sisi, ia takut kehilangan Hamdan apalagi melihat tubuh Kakaknya itu yang lebam penuh luka.
"Tolong Kak, tolong jangan sakiti Kakak saya."
"Kami tidak menyakitinya! Justru dia yang mulai terlebih dahulu mencari masalah dengan keluarga kami!" kesal Rex dengan marah.
"Apakah kamu tidak malu sebagai wanita? Mendekati keluarga kami dengan status adik dari penjahat ini!"
BUG! detik berikutnya Frankie meninju wajah Hamdan hingga membuat Hamdan pingsan begitu saja dalam keadaan lemah. Misha histeris dan menangis.
"Tolong hentikan, hentikan,"
"Kami tidak bisa menghentikan selama permasalahan ini belum selesai!" ucap Frankie geram.
"Air matamu tidak ada gunanya Misha. Permasalahan ini tidak selesai dengan kesedihanmu itu. Ck, bagaimana jika suatu saat Daddy dan Franklin mengetahui hal ini?" sinis Rex dengan tajam.
Detik berikutnya Misha meluruh di lantai. Ia menangis sambil mengepalkan kedua tangannya di lantai. Hidupnya sudah hancur. Hatinya terluka. Secinta apapun ia dengan Franklin, situasi tidak memihaknya sama sekali.
"Please, tolong jangan sakiti Kakak saya, jangan penjarakan dia. Saya, saya minta maaf. Saya minta maaf atas nama Kak Hamdan."
"Pilihannya ada dua." ucap Frankie tiba-tiba.
"Pertama, Kami akan memaafkan kalian dengan syarat uang Rp.150.000.000 harus kembali dalam keadaan utuh."
"Atau yang kedua," Frankie bersedekap. "Kami akan membawa masalah ini ke kantor polisi sehingga kejadian ini akan sampai di telinga publik termasuk Daddy dan Franklin."
Sebuah permasalahan yang besar bagi Misha. Darimana ia harus mencari uang sebanyak itu dalam waktu singkat secara halal? Rasanya ia tidak sanggup.
"Waktumu singkat. Hanya 24 jam dari sekarang. Silahkan pergi dari sini!"
Dengan lemah Misha berdiri. Ia menghapus air matanya. Wajahnya sudah sembap, sekali lagi, ia menatap Hamdan yang sudah tak sadarkan diri dalam keadaan memperihatinkan sekaligus ia rindukan.
Tanpa banyak kata, Misha pun pergi melaksanakan persyaratan dari Frankie dan Rex. Demi Hamdan, apapun akan ia lakukan meskipun membuatnya hancur secara perlahan.
Hanya menggunakan akal logika, tentu saja Misha tidak akan mampu, tetapi bila melibatkan Allah dalam suatu permasalahan, tentu saja Allah Maha penolong. Misha terdiam mengingat kejadian 12 jam yang lalu.
Dengan kedua mata berkaca-kaca, Misha menatap sebuah surat sertifikat rumah yang menjadi warisan untuknya dari almarhum Ayahnya.
Tidak ada cara lain yang harus ia lakukan selain menjual cepat rumah beton miliknya melalui sosial media. Rumah yang selama ini tempat ia berteduh sejak berusia 5 tahun setelah meninggalkan kota Yogyakarta bersama Hamdan
Dengan perlahan Misha menghapus air mata di pipinya. Di sampingnya, ada ponsel yang selalu aktip guna memantau calon pembeli yang akan berkunjung kerumahnya.
Getaran ponsel Misha terdengar. Sebuah pesan singkat nomor ponsel calon pembeli masuk.
+62813xxxxxxxx : "Assalamualaikum Mbak, ini saya Pak Mahmud. Saya sudah didepan rumah Mbak nih."
Misha merapikan penampilannya. Memastikan bahwa wajahnya tidak terlalu sembab. Dengan langkah perlahan, Misha berdiri menuju pintu. Hatinya sudah hancur, rumah yang menjadi kenangan bersama Hamdan akan berpindah tangan sebentar lagi. Misha menarik napasnya sejenak, ia pun menghembuskan nafasnya secara perlahan sambil memegang kenop pintu.
"Bismillahirrahmanirrahim, Ya Allah, sesungguhnya hamba ikhlas menerima semua takdir ini."
Misha membuka pintunya. Ia syok, dua orang pria berada didepannya. Salah satu pria yang ada paling belakang sedang membawa koper berisi uang. Sementara pria yang berada didepannya, kini menatap dirinya dengan serius.
"Assalamualaikum, apa benar rumah ini akan dijual cepat seharga Rp. 150.000.000,-?"
Misha tak mampu berkata-kata lagi. Satu bulan ia tidak melihat pria itu, ntah kenapa rasa rindu dan jatuh cinta semakin besar di hatinya. Tapi apa daya, semua sudah terlambat, situasi tidak akan mempu membuatnya bersama pria yang ada depannya kali ini.
"Wa'alaikumussalam.. Kak, Kak Franklin?"
"Iya. Saya akan membelinya secara cash, hari ini juga."
Detik berikutnya, dugaan Franklin sejak tadi benar. Ia sadar, sesuatu sedang terjadi pada Misha.
๐๐๐๐
Ayo bernapas. Aku tahu mungkin kalian sedikit syok dan deg-degan. Hhe. Ceritaku sejak dulu, ntah kenapa suka ajak kalian macam senam jantung ๐
Jazzakallah Khairan sudah baca. Tetap Stay dengan Misha si wanita yang kuat karena mengingat Allah, namun hatinya rapuh terhadap cinta.
๐ญ
Sehat selalu buat kalian. With Love ๐ LiaRezaVahlefi
Instagram : lia_rezaa_vahlefii
Akun Wattpad khusus fiksi remaja Lia_Reza_Vahlefi