Rex termenung di kesendirian malam di balkon apartemennya setelah beberapa jam yang lalu ia mendatangi pihak keluarga Aisyah bersama Mommynya dan Ronald.
Situasi kian menyebalkan begitu si pria pembunuh itu selalu ikut kemanapun saat mommynya itu sedang melakukan suatu urusan.
Rex memegang kaleng soda yang sudah ia teguk berkali-kali sejak 30 menit yang lalu. Nyatanya rasa manis dan efek soda itu benar-benar tidak mengembalikan moodnya.
Suara bel pintu apartemen membuat Rex teralihkan dari segala macam pemikirannya saat ini. Ia pun beringsut menjauhi balkon dan melangkah menuju pintu apartemennya.
Rex mengintip disebuah lubang kecil yang ada di pintu apartemen. Memastikan dan mencari tahu terlebih dahulu siapa yang sudah datang menganggu mood nya malam ini.
Kekesalan Rex semakin berlipat-lipat begitu mengetahui siapa yang datang malam ini. Ia pun membuka pintunya dan bersedekap.
"Ada apa?" tanya Rex dingin. Ketus. Dan tatapannya yang tajam kepada seorang pria yang ternyata adalah Ray.
"Ini. Bekal makanan dari kak Aifa." Ray mengulurkannya tepat didepan Rex.
Rex tersenyum sinis. Perasaan tidak suka lagi-lagi kembali hadir. Dan dia merasa benci jika pada akhirnya hal-hal tentang Aifa bersangkut paut dengan Ray.
"Kenapa tidak kamu saja yang makan. Bukankah kamu menyukainya?"
Ray terbelalak kaget. Lalu ia memasang raut wajah tetap tenang sambil menahan emosi.
"Dia milik kakak. Aku tidak mungkin mengambilnya."
"Benarkah?" Lagi-lagi Rex tersenyum mengejek. "Kalau tidak mau mana mungkin kamu berniat mengirimkan bunga mawar untuknya setiap hari kerumahnya. Kamu pikir aku tidak tahu?"
"Kalau begitu kenapa kakak tidak mencegahku?"
"Untuk apa? Kamu lupa kalau aku akan menikah dengan wanita yang lebih pantas darinya?"
"Lebih pantas di cintai atau hanya sekedar pelampiasan perasaan?"
Rahang Rex mengetat keras. Bibirnya kelu dan tidak bisa berkutik untuk membalas ucapan adik tirinya itu. Seorang anak adik tiri yang ia benci sejak dulu. Sejak dia lahir dari Luna yang menikah dengan pria pembunuh.
Ray hanya menghela napas. Tanpa ragu dia menyelonong masuk lalu meletakkan kotak makanan Aifa di atas meja. Sebelum Rex melayangkan ucapan-ucapan kasarnya, dengan cepat Ray kembali keluar dari apartemennya.
"Aku pergi. Maaf tidak ikut ke rumah Aisyah malam ini." ucap Ray lagi.
Dan Ray melenggang pergi dengan derap langkah kaki yang rasanya pengen ia hentakan kuat-kuat di lantai koridor apartemen menuju lift.
Tangannya terkepal dibalik saku jeansnya. Ya, Rex benar. Semua benar. Ia menyukai Aifa. Tapi tidak semudah itu ia akan bersikap bodoh dengan merebut wanita yang di sukainya.
Dan ia pengen mengumpat kakak tirinya itu sebagai kakak yang pengecut dan egois.
🦋🦋🦋🦋
"Berkasnya sudah saya tanda tangani. Kapan mereka datang untuk menemuiku dan membicarakan kembali proyek jembatan itu?"
Dilan menerima berkas yang sudah di tanda tangani oleh Rex lalu menatap atasannya.
"Kemungkinan bulan depan Pak. Setelah jam istrirahat. Nanti saya akan atur lagi jadwal pertemuan bapak."
"Oke."
Dan Dilan keluar dari ruangan. Menyisakan keheningan yang tiba-tiba terasa menyebalkan sejak tadi malam. Rex mengecek jam dipergelangan tangannya. Sebentar lagi Aifa akan datang mengantar makanan untuknya. Tapi benarkah wanita itu akan datang lagi?
Rex mencoba tenang. Mencoba berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Berusaha mengenyahkan nama Aifa di benaknya karena ia harus segera menyelesaikan pekerjaannya sebelum cuti untuk menikah.
🦋🦋🦋🦋
Day 9
Puding Coklat dan susu coklat panas patah hati Made in Aifa.
Aroma coklat menguar diseluruh ruangan. Rex tahu bahwa aroma itu berasal dari arah pintu yang baru saja terbuka. Oke jika Aifa tidak datang, tidak masalah. Setidaknya ada Dilan yang mengantarkannya sejak beberapa hari yang lalu.
"Dari siapa? Dari dia yang pantang menyerah itu?" lontar Rex dengan santai. Masih dengan aktivitasnya yang kini sedang mencatat sesuatu di buku catatan penting.
"Taruh saja di meja. Nanti aku makan."
Suara nampan yang di taruh di atas meja sofa ruangan Rex terdengar. Nampan yang berisi puding coklat dan secangkir coklat panas. Rex masih sibuk dengan aktivitasnya tanpa menoleh sedikitpun ke sumber suara.
"Tunggu satu jam lagi. Seperti biasa. Kamu datang kemari membawa peralatan makan yang sudah kotor. Oh iya, tolong ambilkan air putih. 2 botol air mineral. Kalau tidak, tenggorokanku akan sakit apalagi rasa masakan itu memang hancur ketika di cicipi."
Hening. Tidak ada reaksi apapun. Hingga membuat Rex merasa heran.
"Dilan? Kamu mendengar perintah say-"
Dan Rex terkejut bukan main. Bukan Dilan yang ada diruangannya. Tetapi Aifa. Si wanita manis yang selalu menampakkan raut wajah ceria dan sikap optimisnya.
Lalu Rex memasang raut wajah datar. Tapi tidak dengan hati Aifa yang merasa lega. Ia bersyukur jika selama ini Rex memakan semua masakannya.
"Asalamualaikum Rex." salam Aifa pelan. Rex hanya bersikap tidak perduli meksipun saat ini hatinya sedang campur aduk tak menentu.
"Wa'alaikumussalam."
"Em, maaf Rex. Maafin Aifa. Maafin Aifa yang baru datang hari ini. Kemarin Aifa.. " dan Aifa terdiam. Hatinya tersayat. Lalu sesulit itu ia melupakan kejadian yang membuatnya kehilangan kehormatannya.
"Kemarin.. kemarin Aifa sakit. Jadi, em maaf Aifa baru datangin Rex."
"Oke. Silahkan pergi."
Dan hati Aifa merasa pedih. Ia baru datang beberapa menit yang lalu. Setega itu ia di usir lagi?
"Iya. Aifa akan pergi. Tapi, bisakah Aifa minta satu hal. Kali ini saja. Setelah itu Aifa janji tidak akan pernah memintanya lagi."
Rex beralih menatap Aifa setelah selesai mencatat sesuatu di buku catatannya. "Apa?"
"Bolehkah Aifa melihat Rex makan masakan Aifa? Hanya 5 menit. Aifa janji. Selama ini Aifa tidak pernah melihat Rex makan masakan Aifa didepan Aifa. Aifa akan memasang stopwatch dari sekarang."
Rex hanya mengangguk dan ntah kenapa semudah itu tiba-tiba ia segera berdiri menuruti keinginan Aifa. Seketika Aifa tersenyum lega. Ia pun duduk di hadapan Rex disebuah sofa empuk ruangan pria itu.
Dengan penuh perhatian Aifa mulai menghidangkan puding coklat dan susu coklat hangat untuk Rex.
"Tadi Aifa ke pantri. Aifa buat susu coklat buat Rex. Maafin Aifa yang kali ini membuat menu yang pernah Aifa masak untuk Rex sebelumnya. Segala sesuatu yang Rex suka Aifa akan membuatnya sebagai kenangan yang tidak akan Aifa lupakan."
Rex mulai meraih sendok. Mencicipi puding coklat. Salah satu makanan favoritnya sejak kecil. Lalu Rex tertegun dengan rasanya yang diluar dugaan. Manis. Lezat. Rasanya yang pas dan secara tidak langsung membuat Rex ketagihan.
Aifa berusaha menahan diri agar tidak menangis. Aifa berusaha menahan diri agar tidak terisak. Ia menggenggam sebuah ponsel disaku gamisnya dengan erat. Keinginan untuk memotret Rex sebagai kenang-kenangan terakhirnya pun ia urungkan.
Aifa tidak ingin menyimpan sebuah foto pria yang akan menjadi milik wanita lain. Alhasil Aifa hanya bisa menatap detik-detik yang terus berjalan.
Rasa yang manis di lidah Rex begitu terasa. Tapi tidak dengan hatinya yang tiba-tiba sesak. Ia bisa merasakan apa yang Aifa rasakan. Sama-sama sakit.
Rex mengabaikannya. Berusaha seolah-olah ia pria bodoh yang tak tahu menahu. Sampai akhirnya puding itu habis tanpa tersisa. Rex meminum coklat hangatnya sekali tandas.
Dan waktu berakhir. Tepat 10 menit. Segalanya akan berakhir. Aifa pun berdiri dengan lesu. Langkahnya begitu berat hanya untuk melihat Rex terakhir kalinya.
"Rex."
"Ya?"
"Terima kasih." Aifa berusaha untuk tersenyum. Sebuah senyuman terakhir yang tidak akan Aifa tunjukkan lagi pada Rex. "Maaf. Hanya 9 hari Aifa menuruti janji Aifa sama Rex. Aifa tidak ingin mengganggu moment kebahagian Rex di hari ke 10. Apakah tidak apa-apa?"
Rex mengangguk. "Tidak masalah. Di hari ke 10 juga istriku yang akan membuatkanku makanan setelah pernikahan kami selesai."
Lalu air mata kecemburuan Aifa menetes di pipinya setelah mendengar kata istriku. Buru-buru Aifa menghapusnya dan tertawa sumbang.
"Aduh maaf. Mendadak air mata Aifa nakal. Turun sendiri."
"Kamu memang mudah menangis sejak dulu. Cengeng."
Aifa terkekeh geli. Berusaha menghalau rasa canggung diantara mereka. Aifa segera berdiri diikuti dengan Rex.
"Terima kasih." ucap Aifa dengan senyum. Mulai mengikhlaskan Rex sebelum benar-benar pergi dari ruangan pria itu. "Terima kasih atas 10 menit yang menjadi sejarah buat Aifa."
"Terima kasih sudah mengajari Aifa apa arti berjuang sampai akhir dengan segala upaya yang Aifa lakukan."
"Rex?"
"Ya?"
"Kata Angel-"
"Aulia."
"Oh iya lupa."
Aifa menarik napas sejenak. Mengirim rongga paru-parunya yang sesak. "Jika awal bertemu dalam keadaan baik. Maka saat berpisah pun kita harus melakukannya dalam keadaan yang sama seperti sebelumnya."
"Aku tahu."
"Kalau gitu, selamat menempuh hidup baru. Semoga Rex bahagia. Terima kasih sudah menjadi kenangan yang baik dan kenangan yang buruk buat Aifa. Aifa akan terima dengan ikhlas. Maaf jika selama ini Aifa banyak menganggu kehidupan Rex."
Rex terdiam sesaat. Detik-detik kepergian Aifa membuat hatinya seperti tersayat.
"Dan Aisyah adalah sosok istri yang pantas buat Rex. Seorang istri yang baik dan menjaga kehormatannya untuk calon suaminya."
Aifa tidak menunggu respon dari Rex. Ia hanya tersenyum dan segera membuka pintu ruangan Rex kemudian menutupnya dengan rapat.
Aifa melangkahkan kedua kakinya dengan cepat menuju lift. Air mata sudah mengalir. Sesampainya di bassement, Aifa mengemudikan Ferrari ungunya dengan kecepatan tinggi. Melampiaskan segala emosi dan hancur secara bersamaan.
Aifa pulang tepat waktu. Tanpa banyak berkata apapun, ia menuju kamar dan mengunci diri. Lalu Aifa meluruh bersandar di pintu. Tertunduk menangis. Mengikhlaskan dia. Dia yang menjadi cinta pertama, dan bukan menjadi cinta terakhirnya.
Rex Davidson. Selamat tinggal.
🦋🦋🦋🦋
Hati kalian pedih? Atau sudah kebal? Makasih sudah bertahan sampai part ini bersama Author dan bersama Aifa ❤️
With Love 💋
LiaRezaVahlefi
lia_rezaa_vahlefii