Dengan miris Ayesha memeluk putrinya begitu memasuki kamar Aifa. Setelah melihat Aifa berlari dan memasuki kamarnya dengan cepat, saat itulah Ayesha menyusulnya.
"Aifa."
Ayesha merengkuh putrinya yang terduduk di pinggiran ranjang. Aifa hanya pasrah. Ayesha memeluknya sangat erat.
"Mom?" lirih Aifa pelan.
"Hm?"
"Apakah cinta sesakit itu?"
"Tidak, asal kamu bertemu dengan seorang pria yang tepat."
"Tapi Aifa tidak bisa melupakan Rex dari kemarin-kemarin. Aifa harus apa?"
Bukannya menjawab, Ayesha hanya melepaskan pelukannya pada putrinya. Ibu paruh baya yang cantik itu menangkup kedua pipi Aifa.
"Kamu harus bisa. Harus bisa. Kita adalah seorang wanita yang kuat. Yang tegar. Jangan lemah hanya karena pria brengsek di luar sana."
"Ambil hikmahnya dari ini semua. Allah menjauhkan dari pria yang tidak diperuntukkan buatmu Aifa."
"Tapi rasanya sakit mom."
Ayesha tersemyum miris. Kedua matanya berkaca-kaca. Hatinya juga merasakan sakit. Ia sangat tahu bagaimana rasanya mencintai tapi tidak di cintai.
"Mom tahu. Mom sangat paham. Kamu harus bisa lupakan dia meskipun sulit."
Ayesha menghapus air mata di pipi Aifa. "Kamu harus pergi dari sini. Kamu harus belajar melupakan semua kenangan yang ada di kota ini. Pergilah ke suatu tempat. Kamu pantas bahagia."
Aifa menundukan wajahnya. Dengan lemas Aifa melepaskan kedua tangan mommynya yang berada di pipinya sejak tadi.
"Aifa sudah tidak pantas lagi. Memangnya siapa yang mau sama Aifa? Aifa sudah kotor."
"Aifa-"
"Percuma mom." Aifa menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Aifa memaksakan senyumnya. "Aifa sudah tidak istimewa lagi. Semua sudah terjadi."
Dengan lemas Aifa menuju walk in closet miliknya. Ayesha mengikutinya. Dilihatnya Aifa mulai mengeluarkan koper lalu memasukan beberapa bajunya. Ayesha tak sanggup melihat putrinya yang seperti itu. Ia kembali memeluk putrinya sejenak.
"Aifa.."
"Hm."
"Mommy mendoakanmu semoga suatu saat kamu menemukan cinta sejati. Cinta yang tulus dan menerima kekurangan serta kelebihanmu."
Aifa tidak menjawab. Dia hanya lelah. Lelah terhadap semuanya. Yang dia lakukan hanyalah memeluk erat mommynya. Seorang ibu kandung yang ada untuknya saat ini.
🦋🦋🦋🦋
Franklin mengetik sesuatu di laptopnya. Pekerjaannya teralihkan begitu pintu ruangan kamarnya di buka. Padahal hari ini adalah hari libur dan Franklin memang tak bisa jauh dari workaholicnya. Franklin mengerutkan dahi menatap kakaknya yang sudah rapi sambil menarik koper besar.
"Franklin sibuk?"
Franklin mengangguk. "Iya."
Aifa melepaskan kopernya lalu berjalan mendekati adiknya yang datar itu. Aifa mengulurkan punggung tangannya tepat didepan wajah Franklin.
Awalnya Franklin bingung. Hanya sebentar begitu ia paham dan mencium punggung tangan Aifa. Aifa tersenyum tipis.
"Aifa pamit sama Franklin. Aifa mau pergi."
Franklin terdiam sejenak. Ia menatap kedua mata Aifa yang sembab.
Aifa hanya tersenyum tipis. Lalu membalikan badan. Aifa menarik kopernya lagi menuju pintu.
"Asalamualaikum Franklin."
"Wa'alaikumussalam."
Pintu sudah tertutup. Hati Franklin merasa gusar. Hal yang tak bisa diabaikan sejak kecil adalah melihat kakaknya itu menangis.
Franklin mengepalkan tangannya lalu segera berdiri mengejar Aifa keluar kamar. Franklin mengedarkan pandangannya keseluruh ruangan. Tiba-tiba hatinya mencelos saat tidak menemukan Aifa.
Franklin memilih kembali menuruni anak tangga namun terhenti begitu melihat pintu balkon sedikit terbuka. Franklin mendekatinya dan ia melihat Aifa disana.
Tubuh Aifa gemetar. Kakaknya itu lagi-lagi sedang menangis. Koper masih ada di sampingnya. Alhasil Franklin mendekatinya.
"Kak?"
Aifa menoleh. Lalu dengan cepat ia menghapus air matanya. Aifa berpura-pura ia baik-baik saja.
"Franklin ada apa?"
"Tidak ada."
Aifa mengecek jam di pergelangan tangannya. Lalu ia beralih menarik kopernya. "Kalau gitu Aifa pergi dulu."
Dengan cepat Franklin mencekal lengan Aifa. "Kakak mau kemana?"
Aifa terdiam. Franklin menatap kakaknya dengan sendu. Tak ada lagi yang ia bicarakan selain membawa Aifa kedalam pelukannya.
"Aifa gak tahu mau kemana. Mommy suruh Aifa pergi. Kesuatu tempat. Melupakan banyak kenangan disini."
"Aku akan temani kakak."
"Jangan. Franklin-"
"Aku sedang cuti kak. Tenang saja. Frankie yang akan mengurus semuanya."
Franklin melepaskan pelukannya. Lalu membuka ponselnya dan mengetik sesuatu disana. Aifa hanya diam sampai akhirnya Frankie menyodorkan ponselnya. Sebuah foto peta atlas.
"Sekarang pilih. Kakak mau ke negara mana."
"Pilih negara?" tanya Aifa lagi.
"Iya." Franklin mengangguk. "Kita akan izin sama Daddy. Kalau kakak sama aku ke suatu tempat, Daddy akan menyetujuinya."
Aifa terdiam. Terlalu banyak negara didunia ini. Tapi ia bingung. Sampai akhirnya Aifa menunjuk salah satu bendera yang ada di gambar tersebut.
"Aifa mau kesini."
"Turki?"
Aifa mengangguk. "Aifa mau ke pantai."
"Tempat yang bagus." Franklin mengantongi ponselnya. Lalu menggengam punggung tangan Aifa. "Kakak jangan sedih lagi ya. Aku gak suka lihat kakak menangis."
Air mata menitik di pipi Aifa. Aifa bersyukur bisa berada didekat keluarganya yang begitu perduli dengannya.
"Tu kan, kakak nangis lagi." Franklin menghapus air mata di pipi kakaknya.
Aifa hanya terkekeh geli. "Maaf. Kakak cengeng."
"Kakak gak cengeng. Kakak cuma manja."
Aifa mengerucutkan bibirnya lalu pasrah begitu saja saat Franklin menarik pergelangan tangannya untuk mendatangi Daddy mereka.
Sebuah awal dimana Aifa akan melupakan semua kenangan buruknya. Patah hati, Kehormatannya yang hilang dan kebahagiaan yang tak pernah ia raih dengan sosok calon imam.
🦋🦋🦋🦋
Kalian diluar sana, tim move on. Acung disini
🤣🤣🤣🤣
Makasih sudah baca. Maafin Aifa yang menghilang. Karena kalian gak akan sanggup jika kmrin2 menghadapi kesedihannya.
Sehat selalu buat kalian.
With Love 💋
LiaRezaVahlefi
lia_rezaa_vahlefii