Chereads / Ana Uhibbuka Fillah / Chapter 30 - 30. Afrah : Refresing

Chapter 30 - 30. Afrah : Refresing

Sesuai janji Mas Fikri, akhirnya kami sudah chek out dari hotel siang ini. Kami baru saja meninggalkan hotel beberapa menit yang lalu dan sekarang sudah berada di jalanan kota Jakarta untuk refreshing jalan-jalan.

Cuaca begitu cerah. Panas begitu terik. Jalanan memang macet, tapi aku tidak masalah menunggu macet itu berakhir selama Mas Fikri berada disampingku.

Mas Fikri hanya tersenyum geli apalagi saat ini aku menyenderkan kepalaku pada lengannya yang berotot, sementara Mas sendiri sedang mengemudikan mobilnya.

Aku tahu, kami baru dekat dalam beberapa hari ini. Tapi dia halal bagiku, tidak masalah kan? Kalau boleh jujur, sebenarnya aku ini sangat sangat malu hanya untuk melakukan hal sedekat ini. Tapi, jika tidak begitu, maka kecanggungan itu akan terus berada diantara kami.

"Mas."

"Ya?"

"Terima kasih."

"Untuk?"

"Sudah melamar Afrah dan menikahi Afrah."

"Alhamdulillah. Terima kasih juga sudah menerimaku."

Mobil berhenti di persimpangan jalan. Saat ini lampu merah sedang menyala. Mas Fikri mengambil kesempatan, dia beralih menatapku disaat aku masih menumpukan daguku pada lengannya.

"Afrah sayang Mas."

Mas hanya tersenyum tipis. Tanpa ragu dia juga mencium ujung hidungku. Seketika aku merona merah. Aku mencoba menghindar karena malu tapi tiba-tiba Mas Fikri mencegah niatku.

"Ada apa?" tanyaku padanya yang saat ini berusaha menahan rasa gugup.

"Kamu cantik. Makanya aku suka."

Tatapan kami sama-sama intens. Wajah Mas Fikri semakin dekat. Aku ingin memundurkan wajahku, tapi ntah kenapa aku tidak melakukannya. Masya Allah. Aku jatuh dalam pesona suamiku sendiri.

Wajah kami pun semakin dekat. Aku memejamkan kedua mataku saat hidung kami sudah saling bersentuhan. Lalu seketika hanya sebuah kecupan di kening. Aku hanya tersenyum malu-malu. Aku sempat berpikir mungkin Mas Fikri akan-

"Bagaimana kalau kita ke Ancol?"

"Ancol?"

"Hm. Mau?"

Lalu aku terdiam. Aku pikir Mas Fikri tadi akan mencium diriku. Padahal aku sudah pasang dingin deg-degan. Aku menatap Mas Fikri lagi.

"Ancol itu apa?"

Mas Fikri menatapku beberapa menit. Aku memang tidak tahu Ancol itu apa. Seketika tawa Mas Fikri yang terbahak terdengar. Aku menoleh ke samping, Mas Fikri tertawa terpingkal-pingkal sampai memegang perutnya.

"Memangnya ada yang lucu Mas? Apakah Ancol itu tempat lawak?"

"Allahuakbar Afrah... Tidak."

"Lalu?"

"Kamu lahir tahun berapa sih? Sekarang jaman sudah canggih loh. Ada internet. Televisi. Media berita. Masa kamu tidak tahu Ancol?"

Aku menggeleng lemah. Aku menatap miris hidupku yang kurang mengetahui moderenisasi dan teknologi yang canggih.Ya memang mau bagaimana lagi? Tapi aku janji. Aku akan belajar. Sesuai pesan Mas Fikri setelah menikah dengannya.

"Maafin Afrah. Afrah tidak tahu. Sejak kejadian bangun dari koma Ayah dan Bunda melarang Afrah keluar rumah. Katanya bahaya."

"Jadi apa yang kamu lakukan selama ini?"

"Waktu di Aceh, Afrah akan keluar rumah ketika ada pengajian mingguan di mesjid dan menemani Ibu kepasar. Setelah itu Afrah dirumah, selama dirumah Afrah menghabiskan waktu dengan ibadah, membaca novel, memasak, tidur. Itu saja."

"Kamu tidak menonton Tv atau jalan-jalan? Mungkin sama temanmu?"

"Afrah memilih dirumah saja daripada berjalan sama teman. Kebanyakan dari mereka sudah berkeluarga."

Mobil kembali berjalan setelah lampu hijau menyala di persimpangan.

" Dan Tv Afrah waktu di Aceh rusak. Jadi kami semua hanya mendengarkan radio. Bunda lebih senang mendengarkan ceramah. Ayah selalu sibuk menjadi koki di restoran miliknya."

Fikri hanya diam mendengarkan semuanya. Mobil kami pun tiba di sebuah parkiran setelah 30 menit kemudian. Ntah ini dimana. Mas Fikri mematikan mesin mobilnya lalu menatapku.

"Restoran milikku yang ada di kota ini, aku juga memberikannya pada Ayah."

Aku terkejut. "Apa? Mas memberinya pada Ayah?"

"Iya." Mas Fikri melepas safety beltnya lalu beralih melepas safety beltku. "Aku tidak mungkin menjadi atasan Ayah mertuaku sendiri. Aku juga ada berbicara pada Ayah dan Bunda kalau mereka ingin balik lagi ke Aceh, aku tidak masalah. Rumah yang ada disini bisa untuk tempat tinggal kita sementara."

Aku terdiam menatap Mas. Bayangan Ayah dan Bunda akan berjauhan denganku membuatku sedih. Seketika aku menundukkan wajahku.

"Ada apa?"

"Em tidak apa-apa. Ayo mas."

Aku menyembunyikan kesedihanku. Sesungguhnya aku malu bila aku  memperlihatkannya.

"Tunggu.." tanpa diduga Mas mencegah lenganku. Lalu aku terdiam.

"Kamu harus ingat, Ayah punya restoran sendiri di Aceh. Selama ini Ayah meninggalkannya demi diriku dan memberi kepercayaan pada tangan kanannya. Tidak selamanya Ayah bisa disini Afrah."

"Disisi lain aku juga khawatir bila kita tinggal di apartemenku. Apartemenku ada di lantai paling atas. Lantai 15. Kamu saja masih takut menaiki lift. Apakah kamu sanggup menaiki tangga darurat sebanyak 15 lantai?"

"Tapi kita belum tahu pasti apakah Ayah dan Bunda akan balik kesana atau tidak. Ayah dan Bunda akan mengabari kita bila suatu saat mereka akan ke Aceh."

Lalu aku terdiam. Mas Fikri menjelaskan semuanya dengan penuh kesabaran padaku. Aku menoleh kearah Mas Fikri dan aku mengangguk.

"Iya Mas. Terima kasih sudah menjelaskan. Afrah hanya belum terbiasa jauh dari Ayah dan Bunda."

"Kan ada aku.."

Aku tertegun saat Mas mencium punggung tanganku. Seketika aku merona merah. Tapi setelah di pikir lagi, Mas benar. Aku sudah menikah, sudah seharusnya aku mengikuti kemanapun suamiku berada. Semua sudah berubah, baktiku sama Mas, karena surgaku ada padanya.

🥀🥀🥀🥀

Aku tertegun begitu saat ini sudah memasuki arena Ancol. Aku baru tahu ternyata Ancol itu adalah dunia fantasi. Sebuah tempat rekreasi yang terletak di Jakarta Utara.

Aku menatap takjub di area sekitarnya yang sudah banyak di isi oleh berbagai macam wahana. Salah satunya biang lala. Aku terkesima melihatnya.

"Mau naik itu?"

"Ha?"

"Iya naik itu."

"Apakah aman? Apakah tidak jatuh?" Apakah-"

Tanpa diduga Mas Fikri menggenggam tanganku. "Insya Allah aman. Ada aku. Aku janji akan selalu ada untukmu."

Lalu aku terdiam. Tatapannya begitu mendalam kepadaku. Jantungku berdebar sangat kencang. Aku membalas genggaman tangannya.

"Kalau begitu jangan pernah tinggalin Afrah. Janji ya?"

Mas hanya tersenyum tipis. Dia tidak mengangguk, tidak juga menggeleng. Dia malah menarik pergelangan tanganku menujuku kesana. Kenapa Mas tidak menjawab?

Seketika aku meragu. Aku takut. Tidak. Tiba-tiba aku menggelengkan kepalaku. Aku berprasangka baik saja, Mas Fikri tidak akan meninggalkanku didunia ini kecuali Allah memanggilnya.

Aku yakin itu.

Tapi aku akan usaha untuk membuat Mas akan segera yakin padaku meskipun saat ini dia belum meminta haknya padaku.

🥀🥀🥀🥀

Biang lala sudah berada di ketinggian beberapa meter yang tidak bisa aku hitung. Tapi aku menyukainya begitu sudah berada di atas sini. Semuanya sangat indah.

Awalnya aku takut, sampai akhirnya aku mendekatkan diri pada Mas Fikri. Aku memeluk erat lengannya dari samping. Kedua tanganku memegang erat tangannya. Jari-jari kami saling bertautan.

Aku menatap kesamping, jalanan ibu kota Jakarta terlihat indah menjelang sore. Disana banyak sekali gedung-gedung bertingkat tinggi pencakar langit yang menjulang.

Allah Maha Besar dan pencipta alam semesta ini. Allah memberi akal dan pikiran manusia untuk bisa membuat gedung-gedung setinggi itu.

"Em Afrah?"

Aku menoleh kesamping. Aku menatap Mas Firki yang terlihat gugup dan gelisah.

"Iya Mas?"

"Kamu.. em bisa jauh sedikit? Sejak tadi kamu membuatku terhimpit."

Aku terdiam. Aku merasa aku tidak menghimpitnya sama sekali. Malahan aku bermanja padanya. Mas menatap kelain, tapi dari sini aku melihat raut wajahnya.

Kenapa raut wajah Mas Fikri merona merah dan terlihat serius?

Apakah dia baik-baik saja?

🥀🥀🥀🥀

Mungkin dia grogi kamu deket-deketin gitu Af.

🤣🤣🤣🤣

Makasih sudah baca. Sehat selalu buat kalian ya

With Love 💋

LiaRezaVahlefi

Instagram

lia_rezaa_vahlefii