Chereads / Ana Uhibbuka Fillah / Chapter 31 - 31. Fikri : Bertahan Dalam Pesona Afrah

Chapter 31 - 31. Fikri : Bertahan Dalam Pesona Afrah

Jakarta. Pukul 17.30 sore.

Setelah pulang dari Ancol 1 jam yang lalu, akhirnya aku tiba di kediaman Afrah di kawasan perumahan lestari indah Jakarta Utara.

Sebentar lagi akan senja karena selama perjalanan yang kami tempuh tadi, mobil kami sempat mengalami kemacetan di jalan. Tapi aku tidak masalah dengan itu daripada terjebak bersama Afrah.

Afrah benar-benar membuatku berusaha keras untuk bisa bertahan diri sebagai pria normal dan dewasa. Dia itu cantik. Tubuhnya selalu beraroma wangi bila didekatku. Dan dia itu selalu bersikap baik denganku. Tentu saja imbasnya aku hampir saja terjatuh dalam pesonanya.

Aku harus menanamkan dalam diriku bahwa aku sedang bermain puzzle. Jangan sampai aku membiarkan hatiku jatuh pada dia. Dia itu Reva. Bukan Afrah. Dan kalian juga tahu bawah sejak dulu aku tidak mencintai Reva karena dia adalah sahabatku.

Ayah dan Bunda tenyata sudah berdiri didepan teras rumah. Akupun segera keluar dari mobil bersama Afrah. Senyuman hangat dan ramah menyambut kedatangan kami.

"Asalamualaikum Ayah Bunda!" salam Afrah dengan sumringah.

"Wa'alaikumussalam. Alhamdulillah kalian sudah sampai. Bagaimana jalan-jalan nya hari ini?" tanya Bunda dengan senyuman hangat.

"Alhamdulillah baik Bun. Mas Fikri membawaku ke Dufan. Kami naik biang Lala dan menatap keindahan ciptaan Allah diatas ketinggian beberapa meter."

Suara Ayah tertawa renyah terdengar. Tidak lupa aku mencium punggung tangan beliau dilanjutkan dengan mencium punggung tangan Bunda.

"Ayo Afrah, Fikri. Sebaiknya kita masuk. Sudah senja. Kalian jangan lupa bersiap-siap untuk sholat magrib."

Aku hanya mengangguk dan menurut. Kami pun segera memasuki rumah. Dengan perhatian Afrah menarik pergelangan tanganku menuju kamarnya. Sesampainya disana aku tertegun melihat isi kamarnya yang serba berwarna. Terutama tempat tidurnya.

Apakah Afrah bercanda? Tidur dengan badcover bergambar kuda unicorn berhias pelangi seperti anak-anak?

"Mas?"

Aku tersentak ketika Afrah menarik pergelangan tanganku untuk duduk di pinggiran ranjang. Afrah beralih meraih gelas dan mengisi air dari dispenser yang ada di kamarnya.

"Ini Mas. Minum. Mas pasti haus."

Aku mengangguk dan segera menerimanya. Aku meminum air putih itu dengan segar. Setelah itu Afrah mengusap di sudut bibirku dengan jarinya seolah-olah bibirku ini belepotan setelah minum. Tapi Afrah memang begitu, dia suka perhatian denganku dan sialnya aku menyukai sikapnya.

Tiba-tiba Afrah bersimpuh didepanku. Tanpa diduga Afrah melepaskan pentofel dan kaus kakiku kemudian meletaknya di rak sepatu sudut kamarnya. Afrah membuka pintu lemarinya. Lalu meraih sebuah wardrobe putih kearahku.

"Mas mandi ya. Tapi maafin Afrah, kamar mandinya ada diluar kamar."

"Iya tidak apa-apa. Aku mengerti karena rumah ini tipe minimalis yang sederhana."

Afrah mengangguk. Lalu aku berdiri. Aku mendekatinya dan membuka cadarnya. Aku terkejut, kedua pipinya bersemu merah. Aku menangkup pipinya dengan gemas dan mencium keningnya.

"Terima kasih ya sayang. Aku mandi dulu."

"Masssssss.."

"Ada apa?"

"Jangan bilang kata sayang."

Aku terkekeh geli. Aku tahu dia malu. Tapi aku tidak memperdulikannya dan segera berlalu meninggalkannya untuk mandi.

🥀🥀🥀🥀

Pukul 22.00 malam. Menjelang larut malam membuat diriku dan Pak Syarif semakin akrab sambil meminum secangkir teh hangat.

Malam ini menjadi malam perbincangan yang menyenangkan dengan beliau. Aku banyak belajar dengan Ayah mertuaku sendiri salah satunya adalah tentang bisnis restoran. Sedangkan Afrah dan Bunda, mereka sudah berada di dalam kamar. Mungkin saat ini sudah tertidur pulas.

"Nak Fikri?"

"Iya Yah?"

"Ayah mau tanya sama kamu. Apakah kamu bahagia dengan Afrah?"

Aku terdiam. Lalu aku tersenyum tipis. Ntah kenapa tiba-tiba jantungku berdebar kencang.

"Alhamdulillah. Saya bahagia. Putri Ayah begitu baik dan perhatian denganku."

Itu benar. Meskipun dia itu Reva dan aku tidak mencintainya, ntah kenapa aku merasa nyaman dengannya. Nyaman sebagai status suami. Bukan sahabat seperti dulu.

"Alhamdulillah kalau begitu. Ayah cuma khawatir kalau Afrah belum bisa melayanimu seutuhnya nak. Apalagi dia sedikit bertingkah seperti anak kecil."

"Maksud Ayah?" Aku mengerutkan dahiku. "Dia tidak terlihat seperti itu Ayah percayalah."

Pak Syarif hanya tersenyum tipis lalu menyeruput secangkir teh miliknya kemudian kembali meletaknya diatas meja. Begitupun denganku yang ikut meminum secangkir tehku.

"Tapi tanpa dia sadari, 10 tahun yang lalu dia itu sudah pernah tinggal di kota ini."

Aku tertegun. Hampir saja aku tersedak. Dan lagi, aku mulai menemukan kepingan puzzle dari Afrah. Aku meletakkan cangkir teh ku dan berdeham seolah-olah tidak mengerti hal apapun.

"Wah saya tidak menyangka kalau Afrah pernah tinggal di kota ini."

"Dia pernah kesini Nak Fikri. Bekerja di perusahaan tempat kamu memimpin sekarang."

"Apa?" Tenggorokanku tiba-tiba tercekat. Tenang Fikri. Tenang. Jangan sampai kamu ketahuan. "Saya tidak menyangka kalau Afrah pernah bekerja ditempat saya. Berarti secara tidak langsung saya pernah bertemu dengan Afrah walaupun saat itu tidak mengenalnya ya?"

"Mungkin. Ini semua menjadi kenangan pahit Ayah dan Bunda. Tepatnya 10 tahun yang lalu."

"Kenangan pahit apa Yah?"

Ayah menyederkan tubuhnya dengan nyaman. Tatapannya tiba-tiba berubah sedih.

"Dulu Afrah kuliah di Universitas ternama di kota Samarinda. Disana dia merantau. Ayah dan Bunda sudah memperingatkan agar tetap kuliah di Aceh nak. Tapi Afrah itu sangat keras kepala. Parahnya lagi selama disana, dia tanpa mahram. Tidak memiliki saudara dan sebatang kara."

Aku terdiam. Aku tidak menyangka kalau sifat Afrah begitu. Benar-benar terlihat seperti Reva. Ah bukankah dia memang Reva?

"Dia tinggal di sebuah hunian kost. Selama dia kuliah selama itu pula Ayah dan Ibu selalu berdoa pada Allah agar dia baik-baik saja dan segera menyadari kesalahannya."

Pak Syarif mengusap raut wajah lelahnya. Kemudian beliau duduk tegak dan menundukan wajahnya.

"Setelah lulus kuliah pun, dia tetap keras kepala. Afrah pindah ke Jakarta dan katanya sedang mengikuti interview pekerjaan. Hal itu membuat Ayah dan Bunda tambah khawatir."

"Lalu?"

Jujur saja. Aku semakin tertarik dengan kisah masalalu Afrah saat ini.

"Sebuah insiden kecelakaan terjadi pukul 16.00 sore. Kami mendapat kabar dari pihak kepolisian. Saat itu Ayah dan Bunda syok. Kami pergi ke Jakarta dan kondisi Afrah sangat kritis. Wajahnya benar-benar rusak dan dia koma selama 6 bulan."

Lalu Pak Syarif kembali menatapku dengan serius.

"Karena itu ada beberapa bekas luka jahitan di bagian tubuhnya yang kata Afrah masih membekas meskipun sudah lama. Mungkin kamu sudah pernah melihatnya nak."

Aku terdiam. Ayah pikir aku sudah melihatnya setelah malam pertama kami. Padahal sebenarnya belum sama sekali dan aku tidak melihatnya.

"Setelah kejadian itu, Afrah mengalami amnesia. Bahkan dia pun tidak mengenali Ayah dan Bunda.

Saat dia sadar, Ayah sempat membawanya kembali ke Samarinda. Ayah membawanya ke tempat-tempat yang sering dia kunjungi termasuk kampusnya."

"Ayah ingat waktu membawa Afrah ke kampusnya di siang hari, Ayah melihat salah satu siswi yang sedang merayakan kelulusan. Siswi itu bersama salah satu pria yang berpenampilan seperti dosen. Saat itu kami didalam mobil. Ayah bertanya pada Afrah apakah dia kenal dengan mereka. Sayangnya tidak."

"Ayah yakin disana banyak kenangan yang tersimpan untuk Afrah. Tapi Allah menguji Ayah sebagai orang tuanya untuk tetap sabar. Afrah sama sekali tidak mengingatnya."

Tiba-tiba hatiku sesak hanya untuk mendengarkannya. Ayah Bunda mertuaku ini begitu terpukul. Katanya Afrah itu keras kepala dan aku tidak bisa menepis kalau dulunya Reva itu memang keras kepala.

"Setelah kejadian itu, kami trauma nak. Kami sepakat untuk menjaga Afrah sebaik mungkin. Kami kembali membawanya ke Aceh. Selama itu kami berusaha untuk sabar mengembalikan Afrah dalam ingatannya. Butuh waktu bertahun-tahun sampai akhirnya kesadarannya pulih dengan terapi yang di lakukannya di rumah sakit. Sedikit demi sedikit dia mulai mengingatnya walaupun tidak seluruhnya. Disisilain, mungkin ini yang terbaik untuk Afrah agar dia tidak keras kepala dan patuh pada nasihat kami agar tidak keluar kota semaunya lagi."

Mungkin sedikit masuk akal apa yang dikatakan Ayah apalagi Afrah ada bilang dia kenal dengan Kak Arvino yang pernah menjadi dosennya.

"Kamu jangan heran mengapa Afrah terlihat seperti anak kecil yang baru banyak belajar. Dia tidak mengenali banyak teknologi canggih. Tapi ada satu hal yang baru mengenai dirinya.. Dia suka dengan warna cerah. Dia juga suka pelangi. Itu saja."

"Ayah minta tolong sama kamu nak Fikri. Semoga kamu tetap sabar selama membimbing Afrah. Ayah yakin, kamu adalah orang yang tepat dari Allah untuk mendampingi hidup Afrah."

"Iya Ayah. Saya akan berusaha untuk sabar dalam menghadapi Afrah. Em boleh saya tanya sama Ayah satu hal?"

"Apa itu nak?"

Aku terdiam sejenak. Sejak tadi aku deg-degan hanya untuk mengungkapkannya.

"Kejadian yang menimpa Afrah.. kapan itu terjadi?"

"10 tahun yang lalu. 5 Oktober 2011. Kecelakaan beruntun karena dia sedang mengemudikan mobil temannya. Itu adalah informasi yang Ayah terima dari pihak kepolisian."

Tenggorokanku tercekat tanpa Ayah sadari. Tiba-tiba Ayah berdiri.

"Sudah malam. Sebaiknya kita istirahat."

Aku hanya mengangguk dan membiarkan Ayah pergi menuju kamarnya. Setelah semua terasa hening dan sunyi, tiba-tiba aku menghubungi seseorang. Seorang pria yang statusnya adalah kakak kandung almarhum Devika.

"Halo?"

"Halo Asalamualaikum Kak Devian. Maaf Mengganggu.. apakah aku boleh tanya sesuatu dengan kakak?"

"Wa'alaikumussalam. Hai Fik. Ada apa? Apakah penting? Ah kebetulan aku sedang dinas malam dirumah sakit. Kamu mau tanya apa?"

"Em begini.. aku mau tanya.. ini tentang Devika."

Hening. Tidak ada suara sama sekali. Suara helaan nafas terdengar dari seberang panggilan.

"Soal apa?"

"Maafkan aku Kak. Aku hanya ingin bertanya.. kapan Devika meninggal karena kecelakaan saat itu? Maksudku, tanggal dan bulannya."

"Untuk apa kamu menanyakan hal ini Fik? Bukankah kamu sudah melupakannya?"

Aku terdiam. Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya apalagi Devika cinta pertamaku? Sebenarnya aku ingat. Tapi aku ingin memastikannya lagi agar tidak salah.

"Aku hanya ingin menanyakan saja. Tidak ada maksud lain."

"Baiklah.. kejadian kematian adikku itu bertepatan saat aku pelatihan di kota Jakarta 10 tahun yang lalu. Tanggal 5 Oktober 2011."

Lalu aku syok. Tanganku gemetar. Tubuhku melemas.

"O-oke. Terima kasih." ucapku bergetar. "Asalamualaikum Kak."

"Wa'alaikumussalam."

Panggilan terputus. Hatiku sesak. Amarah mulai terasa di hatiku. Kata Ayah, Afrah kecelakaan tanggal 5 Oktober 2011. Devika tewas di tanggal yang sama.

Tidak salah lagi. Yang di kamar saat ini adalah Reva yang merubah fisik menjadi Afrah. Kepingan puzzle sudah mulai terbentuk setengah.

Dan aku tidak sabar ingin segera menanti hasilnya meskipun aku rela menunggu dan harus bertahan terjebak dalam pesona Afrah yang cantik dan suka perhatian denganku itu.

🥀🥀🥀

Mulai terjawab kan ya secara perlahan. Siapkan aja hati kalian.

😆😆

Makasih sudah baca. Sehat selalu buat kalian.

With Love 💋

LiaRezaVahlefi

Instagram

lia_rezaa_vahlefii