Chereads / Ana Uhibbuka Fillah / Chapter 26 - 26. Afrah : Jantung Yang Berdebar

Chapter 26 - 26. Afrah : Jantung Yang Berdebar

Akad nikah baru saja selesai satu jam yang lalu. Saat ini aku dan Pak Fikri pergi ke suatu tempat untuk melakukan sesi foto wedding bertemakan outdoor untuk acara resepsi besok malam.

Resepsi pernikahan insya Allah akan di lakukan di salah satu hotel termewah di Jakarta. Katanya keluarga besar Pak Fikri akan mengundang banyak tamu dan  kerabat pengusaha sukses untuk menghadiri acara resepsi kami.

Aku duduk dengan gugup disebelah Pak Fikri. Saat ini salah satu supir pribadi Pak Fikri sedang mengemudikan mobilnya. Tidak ada jarak diantara kami dengan duduk saling berdempetan.

Kedua tanganku benar-benar dingin dan sejak tadi aku tidak fokus. Untuk mengabaikan itu semua aku memilih menatap jendela samping mobil dalam diam.

Aku juga berselawat secara pelan agar pikiranku tidak kosong dan melamun. Beberapa saat kemudian, sebuah genggaman yang ada di punggung tanganku membuatku terkejut. Sontak akupun menoleh kesamping.

"Kamu baik-baik saja?"

Aku mengangguk dengan kikuk. "I-iya Pak. Saya baik."

Pak Fikri hanya tersenyum kearahku. Masya Allah senyumnya.. degup jantungku semakin berdebar saja. Ini baru awal. Bagaimana jika kedepannya nanti?

"Sejak tadi kamu banyak diam. Aku pikir kamu sedang tidak baik-baik saja."

"Saya-"

Suara deringan ponsel Pak Fikri terdengar. Aku bernapas lega. Deringan ponsel itu menyelamatkanku dari situasi yang canggung ini.

Beberapa saat kemudian, kami pun tiba di sebuah tempat. Pasir perawan beach hidden paradise Jakarta.

Pak Fikri sudah keluar dari mobilnya lalu membukakan pintu mobil untukku. Pak Fikri mengulurkan tangannya, dengan jantung yang masih berdebar sejak tadi aku pun membalas uluran tangan tersebut.

"Hati-hati. Gaun dressmu bisa membuatmu tersandung."

Aku hanya mengangguk. Aku keluar dari mobil. Pak Fikri menggenggam tanganku dengan erat, sementara tanganku yang satunya memegang ujung gaun dress yang aku pakai agar tidak terseret di tanah.

Masya Allah. Aku menatap takjub pemandangan ciptaan Allah yang begitu indah. Aku suka semua ini. Laut yang biru dan suasananya. Aku berusaha menahan diri untuk menjaga etika dan kesopanan agar tidak berlari seperti anak kecil saking bahagianya.

"Kata Bundamu kamu suka warna pelangi. Salah satunya warna biru didepan mata kita ini. Apakah kamu suka?"

Aku mengangguk. "Alhamdulillah Pak. Saya suka."

Kami terus melangkah ke pasir pantai. Sampai akhirnya tiga orang pria fotografer mendatangi kami. Mereka mulai mengerjakan job nya dengan memfoto kami.

Berbagai macam instruksi yang di berikan pada kami membuatku gugup. Mungkin Pak Fikri sudah biasa dengan sorotan kamera dan kilatan blitz. Sementara aku? Tentu saja aku grogi.

"Maaf Pak, coba Pak Fikri dan Mbak Afrah saling berdiri berdampingan lalu pegangan tangan ya."

Aku dan Pak Fikri hanya menurut. Kami pun saling berpegangan tangan. Sementara tangan kiriku memegang buket bunga.

"Iya begitu Pak. Oke, 1..2..3... "

Fotografer itu sudah menjepret kami. Dua diantaranya juga mengambil posisi di kanan dan kiri kami dengan sudut auto fokus yang berbeda.

Dengan antusias Pak Fikri melihat hasilnya dan aku menatap Pak Fikri yang tersenyum puas dengan hasilnya. Aku ingin melihatnya, tapi aku malu dan akhirnya memilih diam saja.

Waktu terus berjalan, Berbagai macam pose sudah kami lakukan. Di balik cadarku, pipiku sudah merona merah akibat posisiku dan Pak Fikri yang begitu dekat sejak tadi.

"Oke, satu pose lagi ya Pak. Sekarang posisinya Pak Fikri saling berhadapan dengan Mbak Afrah lalu kedua tangan Bapak berada di pinggul Mbak Afrah ya."

Pak Fikri hanya menurut. Dengan gugup aku mengikuti instruksinya. Kini, kami saling berhadapan. Aku merutuki diriku yang begitu kaku dan tegang. Kedua tanganku juga mengalung di leher Pak Fikri.

Kami saling bertatapan dalam diam. Aku tidak tahu apa yang di pikiran Pak Firki sekarang. Aku menatap iris biru lautnya yang begitu jernih menatapku tanpa berkedip.

"Posisinya Pak Fikri mencium kening Mbak Afrah."

Dengan perlahan Pak Fikri mendekatkan wajahnya hanya untuk mencium keningku. Ntah kenapa secara refleks aku memejamkan kedua mataku. Meresapi suasana ini dan kehangatannya.

Ya Allah.. jantungku. Rasanya mau copot. Tiba-tiba tangan Pak Fikri memeluk pinggulku dengan erat dan aku semakin berdebar karenanya.

"Wah bagus! Feel dan suasananya dapat!"

Aku tersadar dari semua situasi ini. Pak Firki menjauh dariku dan melihat hasilnya. Pak Fikri tersenyum puas dan berbincang dengan fotografer itu.

Aku hanya bisa tersenyum tipis dibalik cadarku. Ya Allah.. aku bahagia. Alhamdulillah.. terima kasih.

🥀🥀🥀🥀

Kami sudah tiba di salah satu hotel mewah yang ada di kota Jakarta setelah sebelumnya Pak Firki singgah di mesjid untuk melakukan sholat Zuhur berjamaah.

Aku dan Pak Firki sudah memasuki lobby hotel sambil berpegangan tangan. Dari jarak kejauhan, aku melihat beberapa keluargaku dan banyaknya keluarga besar Pak Fikri yang sepertinya baru saja tiba dengan koper-koper mereka.

Aku terdiam sesaat begitu jarak kami sudah hampir dekat. Aku melihat seorang wanita yang sedang menggandeng putra kecil sekitar umur 5 tahun. Kata Pak Firki waktu akad nikah tadi, wanita itu adalah kakak iparnya. Ntah kenapa hanya menatapnya aku merasa familiar. Seperti pernah melihatnya sebelumnya. Tapi lupa dimana.

"Alhamdulillah... Akhirnya kalian datang. Bagaimana foto prawedingnya Fik?"

Bunda Ayu menyambut kedatangan kami. Bunda Ayu memeluk Pak Fikri sejenak lalu beralih memelukku juga.

"Alhamdulillah lancar Bun."

"Ya Allah, bayi besar.. Bunda tunggu bayi kecilnya nanti ya."

Bunda terlihat mengedipkan salah satu matanya ke Pak Fikri. Pak Fikri hendak protes tapi Bunda malah tertawa.

"Sudah sana kekamar duluan. Kalian butuh istirahat. Afrah.." Tatapan Bunda kini beralih kearahku

"Iya Bun?"

"Malam ini, habis isya ikut makan malam bersama dengan kami ya di lantai 3. Keluarga Bunda dari Amerika katanya pengen kenal kamu lebih dekat."

Aku mengangguk. "Insya Allah Bun."

"Kami balik ke kamar dulu Bun. Asalamualaikum." ucap Pak Fikri lagi.

"Wa'alaikumussalam."

"Tangan istri tuh, di genggam erat-erat ya. Ntar kamu hilang bayi besar."

"Bundaaaaa."

Dan suara Bunda tertawa terdengar. Dalam hati aku merasa geli. Kenapa Pak Fikri selalu di panggil bayi besar?

Akhirnya kami memasuki sebuah kotak besi. Pak Fikri menekan angka tombol yang membuatku sejak dulu tidak mengerti.

Tiba-tiba kotak besi ini perlahan-lahan naik ke lantai atas hingga membuatku terkejut sampai akhirnya dengan cepat aku memeluk erat lengan Pak Fikri.

Pak Fikri terlihat tersentak dan tatapannya berlalih ke lengannya yang aku pegang.

Aku merasa malu. Lagi-lagi aku menunjukan kebodohan diriku yang gaptek seperti orang yang baru pertama kali memasuki kotak besi ini.

Aku berdeham. Dengan perlahan aku melepaskan diri. Tapi nyatanya Pak Fikri malah menahan niatku. Tanpa diduga Pak Fikri malah mengaitkan jari jemari kami sampai akhirnya kami saling bergengaman erat.

"Aku lupa selama di restoran kamu selalu menaiki tangga darurat daripada menaiki lift."

"Maafkan saya Pak."

Pintu lift terbuka. Aku tidak tahu saat ini ada di lantai berapa. Aku menatap ke samping yang memperlihatkan jendela besar yang terukir mewah dengan menampilkan gedung-gedung tinggi pencakar langit berjejer.

Kami berjalan menyusuri koridor berlantai karpet berwarna merah untuk mencari kamar kami.

"Tidak perlu meminta maaf Afrah. Mulai sekarang, kamu harus terbiasa dengan hal-hal kecanggihan teknologi ya."

"Insya Allah Pak. Terima kasih."

"Jangan takut Afrah. Ada aku, untuk kamu."

Tidak ada lagi yang aku katakan selain mengenggam balik dengan erat tangan Pak Fikri sampai akhirnya kami tiba di depan pintu kamar.

Hanya menatap pintu kamar hotel ini. Sebentar lagi, semua aurat tubuh yang sebelumnya aku tutupi sejak dulu, kini akan menjadi hak sepenuhnya untuk dilihat Pak Fikri.

Dan hal itu, semakin membuatku gelisah panas dingin. Ya Allah, hamba deg-degan.

🥀🥀🥀🥀

Ada yang deg-degan gemes gak pagi ini ?? 😆😆

Makasih sudah baca. Sehat selalu buat kalian.

With Love 💋

LiaRezaVahlefi

Instagram

lia_rezaa_vahlefii