Chereads / Ana Uhibbuka Fillah / Chapter 28 - 28. Afrah ; Janji Untuk Mas Fikri

Chapter 28 - 28. Afrah ; Janji Untuk Mas Fikri

Fajar menjelang setelah sholat subuh baru saja kami lakukan secara berjamaah di kamar hotel ini. Aku bersyukur Alhamdullilah. Mas Fikri mengajakku untuk mengaji bersama dalam satu Al Qur'an.

Hatiku tersentuh. Selama mengaji, aku berusaha menahan air mata haru ini karena pertama kalinya aku mengaji dengan seorang pria yang kini menjadi mahramku.

Ya.. rasa cintaku pada Mas Fikri semakin besar meskipun aku tidak tahu bahwa Mas Fikri mencintaiku juga atau tidak.

Tapi aku akan berusaha berbakti pada Mas Fikri. Aku akan belajar menerima segala kekurangan dan kelebihannya mulai hari ini. Aku yakin suatu saat Mas Fikri akan mencintaiku.

Lalu aku bersyukur, ibadah kami pagi ini adalah membaca Al Qur'an bersama. Dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda :

"Siapa yang membaca satu huruf dari kitabullah maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan dengan sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan Alif Laam Miin itu satu huruf, tetapi Alif itu satu huruf dan Laam itu satu huruf dan Miim itu satu huruf." (HR. At Tirmidzi / 2327)

"Shadaqallahul-'adzim."

"Maha benarlah ALLAH yang Maha Agung." ucap Mas Fikri setelah selesai membaca ayat Al Quran.

Dengan perlahan aku menutup Al Qur'an ini kemudian menciumnya begitupun Mas Fikri. Mas Fikri beranjak dari duduknya dan meletakan Al Qur'an diatas meja di lanjutkan denganku yang juga melepas mukenaku sendiri.

Aku melipat mukenaku dengan rapi. Setelah itu, aku menatap Mas Firki yang berdiri memunggungiku sambil memegang ponselnya.

Sejenak, aku terdiam karena teringat kejadian tadi malam. Sebuah perlakuan Mas Fikri yang membuat jantungku berdebar sekaligus ingin copot. Hanya mengingat itu, wajahku merona merah.

Semalam memang tidak terjadi apapun meskipun saat tidur Mas Fikri memelukku begitu erat dari belakang. Aku tersenyum tipis. Mas memang suami yang pengertian terhadap situasi apalagi kami baru saja saling mengenal satu sama lain.

Aku tidak banyak berkata karena aku berniat membuatkkan secangkir teh yang sudah di sediakan oleh pihak hotel di kamar kami.

Aku membuat secangkir teh ini dengan tersenyum tipis. Membayangkan untuk pertama kalinya aku menghidangkan minuman di pagi hari untuk seorang suami.

Hanya butuh 3 menit aku sudah selesai menyeduh teh. Aku membawa secangkir teh ini ke Mas Fikri yang masih duduk di pinggiran ranjang. Mas masih terlihat sibuk dengan ponselnya.

"Mas?"

"Ya?"

"Apakah Afrah menganggu?"

Mas Fikri mendongakan wajahnya kearahku, dia tersenyum. "Tidak Afrah. Aku hanya mengecek email di ponselku."

Aku hanya mengangguk dan duduk disamping Mas Fikri dengan pelan sekaligus gugup.

"Mas.. em ini teh pagi buat Mas."

Mas Fikri meletakkan ponselnya diatas meja lalu menerima secangkir teh buatakanku.

"Terima kasih. Semoga Allah memberi pahala untukmu."

"Aamiin. Terima kasih Mas."

"Sama-sama."

Tanpa banyak bicara lagi Mas Fikri meminum teh itu lalu tersedak. Aku panik. Mas terlihat meringis lalu meletakan cangkir teh itu di atas meja.

"Ya Allah Mas.. ada apa?"

Dengan cepat aku meraih tisu. Aku menatap Mas Fikri was-was bahkan saat ini aku menyentuh bibir Mas Fikri dengan rasa bersalah. Aku yakin saat membuat teh tadi tidak ada kesalahan.

Lalu kami sama-sama terdiam dan menatap satu sama lain. Aku baru sadar posisiku begitu dekat. Aku menatap iris biru laut yang aku kagumi sejak dulu dengan intens.

Mas Fikri juga menatapku tanpa berkedip. Jantungku berdebar sangat kencang. Tanganku masih berada di bibirnya. Karena malu, dengan perlahan aku menurunkan tanganku.

"Tehnya.. panas."

Lalu aku tersadar, tiba-tiba Mas Fikri menghindariku dan berdiri. Apakah Mas Fikri marah?

"Maafin Afrah Mas. Afrah pikir tadi-"

"Tidak masalah. cuma mau bilang hati-hati ya kalau mau minum tehnya. Masih panas tuh."

Aku mengangguk patuh dengan raut wajah bersalahku. Tiba-tiba Mas meraih sendok kecil dan menyuapkannya teh tadi kearahku sambil duduk kembali di sebelahku.

"Ini, minumlah.."

Aku hanya mengangguk dan menurut. Dengan perhatian Mas Fikri menyuapkan sesendok teh dengan hati-hati kearahku.

"Bukankah ini baik? Secangkir berdua."

Mas Fikri terkekeh geli. Aku hanya bisa diam dan memaksakan senyumku meskipun masih ada rasa bersalah.

"Afrah?"

"Ya Mas?"

"Ini.. bekas luka apa?"

Tangan Mas Fikri tiba-tiba terulur kebagian leherku.

"Luka jahitan Mas."

"Pernah di operasi?"

Aku mengangguk. "Iya Mas. Sudah lama."

"Oh ya? Kapan?"

"10 tahun yang lalu."

Aku menatap Mas Fikri yang terkejut. Ntah perasaanku saja atau bukan, Mas terlihat syok. Ada apa dengannya? Kenapa sejak lamaran itu dia selalu saja bertanya pada luka ku ini? Dimulai ketika aku membuka cadarku saat dia meminangku. Dia bertanya pada luka di area pipi dekat daguku. Aku selalu memberinya jawabkan yang sama, tapi kenapa Mas Fikri selalu bertanya berulangkali lagi?

"Mas?"

"Ya?"

"Apakah Mas.. penasaran sesuatu tentang Afrah dimasalalu?"

Fikri terdiam. Terlihat berpikir. Lalu dia tersenyum tipis.

"Tidak. Lupakan saja. Ayo kita ambil air wudhu masing-masing. Sholat Dhuha sebentar lagi tiba, setelah itu kita kelantai 4 untuk sarapan bersama dengan keluarga kita."

Aku hanya mengangguk dan Mas pergi meninggalkanku dengan banyaknya pertanyaan di pikiranku.

🥀🥀🥀🥀

Pukul 08.00 pagi. Ruang sarapan yang menjadi fasilitas salah satu hotel ternama di kota Jakarta tempat aku menginap semalam sudah di datangi banyak penghuni hotel untuk mengisi perut mereka.

Mas Fikri menggenggam tanganku dengan erat. Dengan perhatian dia menemaniku yang pemalu ini ke deretan makanan-minuman lezat yang membuatku bingung.

"Kamu mau sarapan menu apa pagi ini?" tanya Mas padaku.

"Em.. Afrah bingung Mas."

"Jangan bingung." Tangan Mas Fikri beralih mengusap lenganku dengan lembut lalu merangkul bahuku. "Mau sepiring berdua?"

Aku terdiam. Raut wajahku merona merah. Aku tidak menyangka dengan ucapan Mas yang benar-benar romantis. Masya Allah. Ternyata semua terasa begitu indah setelah menikah.

"Em.. tidak Mas."

"Kenapa?"

"Afrah malu. Bagaimana kalau Afrah yang suapin Mas?"

Mas Fikri terdiam. Dan aku merutuki kebodohanku yang begitu blak-blakan. Ya Allah.. betapa malunya aku..

Mas tersenyum geli. "Kalau kamu yang suapin aku rasanya aku benar-benar seperti bayi besar."

"Nanti saja. Tunggu dirumah kita dan hanya berdua."

DEG.

Debaran hatiku begitu kencang. Wajahku memanas. Dua kata. Hanya berdua. Mendengar dua kata hal itu saja membuatku gugup setengah mati.

"Aku menagih janji itu nanti ya." bisik Mas ke telingaku.

Dan Mas Fikri berlalu meninggalkanku untuk mengambil secangkir kopi. Aku pun mengambil menu dessert dan mengikuti Mas yang kini duduk di salah satu meja makan yang sudah berisi keluarga besar kami..

Ada Ayah dan Bundaku. Ayah Bunda mertuaku dan beberapa keluarga besar lainnya. Lalu aku terdiam menghentikan langkahku.

Dari sini aku melihat Mas Fikri yang bertatapan dalam diam dengan seorang pria yang merupakan kakak kandungnya.

Dan aku terkejut. Tanpa diduga Mas mengurungkan niatnya sarapan disana. Aku kebingungan.. alhasil aku mengembalikan semua menu dessert tadi ketempat semula.

Aku mempercepat langkahku. Mengabaikan sarapanku karena Mas Fikri begitu penting saat ini. Sampai akhirnya aku menyamakan langkahku disamping Mas.

"Mas.. "

"Mas kenapa? Apakah semuanya baik-baik saja?"

"Tiba-tiba kepalaku pusing. Aku ingin istirahat." ucap Mas Fikri dingin.

Mas Fikri tiba didepan pintu kotak besi. Dia menekan tombol yang tidak pernah aku mengerti sejak dulu sampai beberapa menit kemudian kami pun memasuki kotak besi itu.

"Tapi Mas belum sarapan. Afrah hubungin petugas hotel untuk membawanya kedalam kamar kita-"

Lalu aku terdiam. Tanpa diduga Mas memelukku dari samping. Sangat erat sampai akhirnya dia menumpukan keningnya di bahuku.

Dengan perlahan aku memegang lengan Mas Fikri. Aku hanya bisa diam. Ada apa dengannya?

"Mas.."

"Hm?"

"Ada apa dengan kakak Mas itu? Apakah ada masalah?"

"Tidak ada. Jangan khawatir."

"Mungkin Afrah bisa membantu.. em kebetulan Afrah juga mengenal beliau. Dulu dia dosen Afrah-"

Ting!

Suara dentingan kotak besi ini terdengar. Mas menjauh diri dariku. Aku memberanikan diri menatapnya. Tatapannya disoroti kesedihan dan Amarah.

Lalu tatapanku beralih ke salah satu tangan yang kini terlihat terkepal. Ntah kenapa nafasku tercekat. Dengan lembut aku menyentuh tangannya yang terkepal kuat itu sampai akhirnya dia mengalah, kami saling menautkan jari tangan kami.

Mas menggandeng tanganku keluar kotak besi ini menuju kamar. Aku hanya bingung ada apa dengan Mas Fikri. Yang aku lihat hanyalah rahang Mas yang terlihat menegang. Seperti menahan suatu amarah. Ntah itu apa.

Lalu aku berpikir.. Aku janji. Aku akan selalu ada di sisi Mas jika suamiku itu sedang dalam masalah yang mungkin belum bisa ia ceritakan padaku.

🥀🥀🥀🥀

Ikutin saja alurnya ya..

Sabar.. walaupun deg-degan dan nyesek.

😆😆😆

Makasih sudah baca. Sehat selalu buatmu ya.

With Love 💋

LiaRezaVahlefi

Instagram

lia_rezaa_vahlefii