Aletha membekap erat bibirnya agar suara tangisnya tak sampai masuk ke dalam pendengaran Leon.
Ia tak boleh egois.
Dirinya tahu bahwa lelaki tersebut juga sama lelahnya dengannya.
Semua itu nampak dari lingkaran matanya yang menghitam, sebuah indikasi yang menunjukkan bahwa ia lelah dan kurang istirahat.
Secara perlahan Aletha menurunkan kedua kakinya agar menapak di lantai, membuat gerakan sepelan mungkin supaya pria tersebut tidak terbangun akan ulahnya.
Manik matanya mengarah sekilas pada Leon, setelah memastikan lelaki itu tidak terbangun, ia segera melangkahkan kakinya menuju laci mejanya.
Aletha memasukkan kuncinya ke dalam laci tersebut, dan akhirnya ia bisa menemukan sesuatu yang ia cari.
Obat penenang.
Ini adalah salah satu hal yang ia simpan rapat-rapat, hingga Leon sendiri pun tak tahu bahwa ia mengonsumsi obat tersebut, Aletha tak ingin kecemasan lelaki itu bertambah.
Selama ini Aletha memakai topeng untuk menutupi jati dirinya yang sesungguhnya. Ia adalah gadis yang pesakitan yang bersembunyi dalam wajah yang ceria. Ia lebih senang orang lain menilainya sebagai pribadi yang berani, cakap dan mandiri bukan Aletha lemah yang seperti ini.
Tangan Aletha terulur menuju air minum yang selalu ia letakkan di atas nakas. Ia langsung menegak obat tersebut.
Tanpa terasa air mata menetes di sudut matanya.
Sampai kapankah ia harus seperti ini?
Apakah ia akan terus melakoni sisa hidupnya dengan berbagai rasa cemas dan gundah yang terus-menerus membebaninya?
Tangis Aletha semakin kencang, hingga tanpa di sengaja membangunkan tidur Leon.
"Aletha, apa yang kamu lakukan di sana? Kemarilah!" Pinta Leon.
Jantung Aletha berhenti berdetak dalam sejenak, obat-obatan tersebut masih berada dalam genggaman tangannya.
Bagaimana ini?
Leon yang melihat Aletha tak kunjung merespon ucapannya pun segera bangkit dari tidurnya.
Manik matanya menatap lekat pada sosok Aletha.
"Kenapa kamu membuang pandanganmu Aletha, adakah yang kamu sembunyikan dariku?" Tanya Leon masih dengan pandangan lurusnya pada Aletha.
"Tidak!"
Nada suara Aletha terdengar bergetar, sangat terasa bahwa gadis tersebut sedang berdusta padanya.
Hingga pandangan Leon terpaku pada genggaman tangan Aletha yang mengepal erat.
"Apa yang ada dalam genggaman tanganmu itu Aletha?" Tanya Leon.
Aletha hanya menjawab pertanyaan Leon dengan gelengan lemahnya, ia masih belum siap lelaki tersebut mengetahuinya.
Leon bangkit dari duduknya untuk berjalan ke arah Aletha. Ia mengulurkan tangannya pada kepalan tangan Aletha.
"Boleh kulihat?" Tanya Leon lembut.
Genggaman tangan Aletha yang awalnya terkepal erat perlahan mulai melonggar.
Manik mata Leon spontan membola mendapati obat-obatan tersebut.
"Maafkan aku." Ucap Aletha lemah.
"Sejak kapan?" Tanya Leon singkat.
"Sudah bertahun-tahun yang lalu, aku tidak bisa mengingatnya dengan pasti." Ungkap Aletha.
"Tidak ada yang salah dengan mental illness, kamu tidak harus menyembunyikan hal tersebut dariku."
"Maaf." Ucap Aletha. Pandangan Aletha menunduk kian dalam.
"Tak apa, tidak semua hal bisa dengan mudah untuk dibagi." Ucap Leon.
"Kamu tidak tidur sama sekali, aku takut keesokan harinya kepalamu terasa pening." Ucap Leon.
"Aku sudah meminum obat, hanya tinggal menunggu waktu beberapa saat hingga reaksinya bekerja." Ucap Aletha.
"Sembari menunggu kemarilah Aletha!" Pinta Leon.
Aletha melangkahkan kakinya menuju tempat tidur dekat Leon.
"Dia tidak suka aku bergaul dengan sembarang orang." Ucap Aletha membuka percakapan.
"Tapi ada benarnya juga, terkadang tidak semua orang memiliki itikad baik." Timpal Leon.
"Aku ingat dengan jelas, saat itu usiaku baru memasuki 10 tahun."
Leon mendengar ucapan yang keluar dari bibir Aletha dengan seksama.
"Aku bukanlah anak yang terlahir dari keluarga berada, namun perekonomiannya bisa dibilang baik, karena ayahku mulai merintis usaha makanan ringan pada saat itu," Ucap Aletha seraya menaikkan bibirnya membentuk senyuman tipis. Ia rindu akan masa itu.
"Lalu disebelah rumahku kedatangan sebuah keluarga. Mereka memiliki anak yang usianya sepantaran denganku, namanya William. Kedua orang tuanya pun menyambut baik kedatangan diriku jika aku hendak bermain dengan anak mereka." Sambung Aletha kembali.
"Masih sanggup untuk mendengarkan kisah cengengku?" Tanya Aletha tertawa ringan seraya menatapkan wajahnya pada Leon.
"Tentu saja, aku sama sekali tak mengenalmu dengan baik, hanya pancaran sinar matamu yang mengungkapkan bahwa kamu menanggung beban yang begitu berat." Ucap Leon.
"Dua tahun lalu saat kamu pertama kali berjumpa denganku ya?" Tanya Aletha memastikan.
"Benar." Jawab Leon.
"Tapi kamu menolong diriku tanpa banyak kata, padahal aku hanyalah orang asing yang bisa saja punya niat buruk." Ucap Aletha.
"Kita kembali ke kisahmu sebelumnya Aletha." Leon benci jika Aletha sudah mulai merendahkan dirinya seperti itu.
"Maaf, maaf."
"Semuanya berubah saat usaha yang dirintis ayahku mengalami kenaikan yang sangat pesat, kesombongan mulai nampak pada diri Adam. Ia mulai memandang rendah akan segala hal, termasuk pertemananku dengan William."
"Dan Adam adalah seseorang yang sebelumnya datang kemari untuk mengusikmu, dia adalah ayahmu bukan?" Tanya Leon memastikan.
"Yang kamu ucapkan benar." Ucap Aletha membenarkan pertanyaan Leon.
"Apakah mulanya ia adalah sosok lelaki yang mempunyai watak seperti itu?"
"Tentu saja tidak, dulunya ia adalah lelaki yang terbaik yang pernah kumiliki. Ia adalah sosok pria yang akan selalu menggenggam erat tanganku saat berada di keramaian. Setakut itu dia kehilangan diriku."
" Bagaimana bisa?" Tanya Leon.
"Dia pribadi yang mudah sekali terprovokasi akan ucapan orang lain. Aku begitu penasaran akan sosok lain yang dengan kurang ajarnya meracuni pikiran ayahku." Ucap Aletha menggertakkan giginya geram.
"Lalu apakah alasanmu merantau ke kota besar Aletha?" Tanya Leon penasaran.
"Karena usahanya gulung tikar," Jawab Aletha singkat.
"Dan Ibuku menderita sakit-sakitan. Dokter mengatakan bahwa pemicu utamanya adalah terlalu banyak pikiran." Sambung Aletha kembali.
"Lalu?" Tanya Leon karena secara tiba-tiba Aletha menghentikan ceritanya.
"Ayahku berubah menjadi sosok yang jauh lebih buruk lagi. Seolah ia tak siap menghadapi roda kehidupan yang tiba-tiba berputar. Padahal awalnya dia juga bukan berasal dari kalangan konglomerat." Ucap Aletha menertawakan hal tersebut.
"Awalnya niat untuk pergi merantau adalah rasa iba yang teramat dalam melihat sosok Ibu yang harus kerja banting tulang, padahal tubuhnya sudah begitu renta." Ucap Aletha menahan tangisnya.
Leon yang mengetahui bahwa Aletha berusaha menahan emosinya secara reflek mengelus pelan kepalanya seraya mendekap erat tubuh ringkih itu.
"Jangan ditahan Aletha, luapkanlah!" Ucap Leon.
"Aku sudah membuat keputusan yang sangat fatal, kepergian diriku membuat penyakit yang menggerogoti tubuh Ibuku semakin parah, ia meninggal tak lama setelah itu. Dan ironisnya aku baru mengetahui fakta tersebut akhir-akhir ini. Bisa dibilang aku adalah orang terakhir yang mengetahui kepergian ibuku sendiri." Ucap Aletha, kini tangisnya telah meledak.
"Apapun yang terjadi teruslah bernapas Aletha, jangan sampai menyerah!" Pinta Leon.
Leon mengalihkan pandangannya pada Aletha disaat gadis tersebut tak menyahuti perkataannya.
"Tidur yang nyenyak Sweetie." Ucap Leon.