Ryshaka pergi dari tempat kost Aletha satu jam setelahnya. Jika ditanya apakah yang mereka lakukan hingga menghabiskan waktu sedemikian lamanya? Jawabannya adalah adu urat.
Ryshaka yang berusaha membujuk Aletha untuk pindah kost, sementara wanita itu sendiri terlihat enggan.
Selama dua tahun menetap di tempat ini, Aletha sudah menemukan kenyamanannya.
Baik itu sahabat maupun tempat singgah yang nyaman untuk dijadikan tempat bernaung.
Yang dimaksud sahabat oleh Aletha ialah Leon. Pria itu mempunyai semua paket komplit dengan banyak hal yang Aletha butuhkan.
Saat sedang sedih ia selalu menyediakan bahunya sebagai tempat sandaran yang paling nyaman. Ia bisa bersikap begitu dewasa di satu sisi tanpa menghilangkan jati dirinya yang sesungguhnya, yaitu kekanak-kanakan dan sering merajuk, karena Leon memang mempunyai rentang usia yang lumayan jauh dengannya, mereka berdua selisih lima tahun.
Hanya pada Leon Aletha berani mengungkapkan semua keluh kesahnya. Mengungkapkan banyak hal yang terasa mengganjal di pikirannya.
Kalau ditanya mengapa bisa seperti itu?
Karena pria itu adalah sosok pertama yang telah mengulurkan tangannya tanpa banyak kata, mengusap sudut matanya yang mengeluarkan cairan bening serta membuatnya bangkit dari kondisi yang telah membuatnya terpuruk.
Kalau saja kondisinya berbeda, ia akan dengan senang hati menerima pria tersebut untuk menetap di hatinya.
Namun takdir berkata lain.
Ingin protes keras pun tak bisa, ia tak kan bisa merubah jalan hidup seseorang.
Kini setelah sepeninggal Ryshaka, Aletha bergegas masuk ke kamar mandi. Tubuhnya terasa lengket akibat penuhnya aktifitas yang ia lakoni sepanjang hari, dan ia kurang merasa nyaman dengan hal itu.
Aletha merasa tubuhnya lebih segar setelah mandi, segala permasalahan yang muncul di kepalanya perlahan mulai menguap, entah itu masalah kantor ataupun kehadiran seorang pria yang sering menyita atensinya.
Aletha yang hendak merebahkan dirinya di atas kasur terkejut dengan suara ketukan di pintu kamarnya.
Tok! Tok! Tok!
Yang ada dalam pikiran Aletha hanya satu hal. Sangat menyebalkan!
"Dasar tak tahu waktu!" Gumamnya jengkel, ia sudah sangat lelah. Tidak ada agenda apapun yang ingin ia lakukan selain rebahan, apalagi untuk menerima tamu.
Dengan langkah ogah-ogahan Aletha berjalan menuju pintu, berusaha membuat langkah sepelan mungkin supaya sang tamu tak jadi datang berkunjung.
Tapi harapannya sia-sia karena sepertinya siapapun seseorang yang ada di balik pintu itu bukanlah seseorang yang penyabar, terbukti dari ketukannya yang terdengar makin keras dan cepat.
Tok! Tok! Tok!
Ia menyadari sesuatu.
Nampaknya sang tamu adalah seseorang yang kehadirannya sangat dihindari oleh Aletha.
Sebuah adrelin memacu kerja jantung Aletha hingga membuatnya berdetak lebih kencang. Keringat dingin tampak mengalir di keningnya.
"Jangan!" Ucap Aletha ketakutan.
"Tolong jangan ganggu aku lagi!" Ucap Aletha sarat akan nada kesakitan.
Ia hanya bisa bergumam pelan, seolah tak ada lagi tenaga untuk melontarkan kalimat pengusiran dengan lantang.
Semua energinya terserap habis memikirkan bahwa pria itu sudah mengetahui keberadaannya.
"Kumohon padamu, enyah dari sini! Aku juga ingin memiliki kehidupan normal layaknya wanita seusiaku." Ucap Aletha terisak.
Berharap sosok yang ada di balik pintu itu segera enyah dengan nada suaranya yang terdengar mengiba.
"Untuk apa kamu menangis? Apa kau tidak merindukanku?" Ucap suara di balik pintu.
"Aku tidak perlu menjawab sebuah pertanyaan yang jawabannya sendiri anda sudah tahu pasti!" Ucap Aletha.
"Aletha-ku ternyata sudah dewasa, siapa yang mengajarkan padamu untuk melontarkan kalimat tak sopan seperti itu pada orang yang lebih tua?" Ucapnya disusul dengan bunyi kekehan yang panjang.
"Yang pasti bukan dari mulut pria penghianat seperti anda!"
Aletha telah memancing kemarahan pria itu lebih dalam.
Suara gedoran pintunya pun terdengar makin nyaring. Hingga membuatnya ketakutan setengah mati.
Sial.
Kemana perginya orang-orang? Mengapa di antara mereka semua tidak ada yang datang menghampirinya setelah mendengar keributan ini.
Atau sebenarnya mereka sudah mengetahuinya tapi memilih untuk acuh, menutup mata serta telinganya rapat-rapat, berpikir bahwa itu bukan urusannya. Aletha tak bisa menyalahkan mereka penuh akan itu. Bagaimanapun ia adalah orang asing disini.
Mereka biasanya juga bersikap acuh, kecuali Leon. Hanya Leon.
"Apa kau tuli? Tidak bisakah kau segera enyah dari sini!"
Ia berusaha terlihat berani dengan mengucapkan kalimat itu dengan suara lantang.
Sebelah tangannya mengusap dadanya berulang-ulang, berupaya menenangkan kinerja jantungnya yang berdetak kian kencang. Ia sangat ketakutan.
"Kau tidak perlu ketakutan seperti itu, aku akan segera pergi dari sini," Ucapnya.
"Kulihat kau sedang dekat dengan pria bernama Ryshaka, kau pasti tahu dengan jelas apa yang aku inginkan, anak manis." Sambungnya.
Bola mata Aletha membulat mendengarnya. Rupanya pria brengsek itu juga tahu tentang keberadaan Ryshaka.
"Sialan kau Adam! jangan berani-beraninya mengganggu lelaki itu!" Seru Aletha dengan nada penuh tekanan.
"Aku tak kan mengusiknya, mengapa kau terlihat begitu khawatir? Aku senang melihat kalian berdua bersama," Ucap lelaki bernama Adam itu.
"Aku lihat pria itu datang berkunjung kemari sebelum ini, punya hubungan apa kau dengan dirinya, anak manis?" Sambungnya kembali.
"Aku tak punya keterikatan apapun dengannya seperti yang ada dalam benakmu." Ucap Aletha.
Bunyi suara tawa yang kenceng keluar dari bibir lelaki itu, seolah menertawakan jawaban Aletha yang terkesan naif.
"Kau pikir semudah itu aku percaya? Kau berkata bahwa kalian tak ada ikatan, namun kalian menghabiskan waktu berdua di tempat ini begitu lamanya, aku tak sebodoh itu untuk kau kelabui!"
"Persetan kalau kau tak mempercayai ucapanku!" Seru Aletha, ia kini sedang sangat kesal.
"Apa kau sedang berperan menjadi gundik sekarang? aku lebih percaya akan hal itu," Ucap Adam. Terdengar sangat menyebalkan di telinga Aletha .
"Kau telah melupakan janjimu sendiri!" Sambungnya dengan nada suara yang tiba-tiba melengking tajam.
"Tidak, bukan seperti itu!" Aletha menggelengkan kepalanya kuat, menolak penilaian sepihak lelaki itu padanya.
Semua terjadi begitu cepat.
Aletha mendengar bunyi pukulan benda yang dihantamkan kuat ke tubuh, yang kemudian disusul oleh suara bernada kesakitan dari bibir Adam.
"Brengsek, pergi kau dari sini!" Ucap Leon sembari terus memukul Adam dengan benda apapun yang telah ia bawa.
Meskipun terlambat, Leon selalu ada untuk membantu dirinya yang telah kesulitan.
Suasana mendadak hening setelahnya.
Aletha menunggu waktu beberapa saat hingga Adam benar-benar enyah dari sana.
Dengan tangan yang bergetar kuat, karena masih merasa ketakutan dengan kejadian yang sebelumnya telah menimpanya, Aletha memutar kunci kamarnya. Membuka pintu itu perlahan untuk mengintai keadaan, setelah memastikan sendiri bahwa lelaki itu sudah pergi, baru Aletha mendekap erat tubuhnya pada sosok lelaki di hadapannya.
" Aku sangat ketakutan Leon, sampai kapan aku harus menanggung rasa kesakitan ini?" Ucap Aletha.
Tak ada kalimat apapun yang keluar dari balik bibir Leon, karena ia tahu bahwa sebuah kalimat penghiburan pun tak kan cukup atas situasi yang dialami oleh Aletha.