Jam dinding telah menunjukkan pukul 1 di hari, namun wanita yang berada di dekapannya belum juga memejamkan matanya. Suara tangisan lirihnya seolah menyayat hati Leon hingga rasanya begitu pedih, bagai ditusuk sembilu yang berkali-kali dihujam ke arah dadanya.
Rasanya teramat perih.
Ia memiliki keterikatan batin yang kuat dengan Aletha, disaat wanita itu merasa kesakitan seperti ini, hatinya pun akan ikut terasa pilu.
Leon menepuk pelan sisi kepala Aletha, sebisa mungkin ia berusaha menenangkan rasa kesakitan yang dirasakan oleh wanita itu, meski apa yang ia lakukan sama sekali tak mengurangi rasa pedihnya.
Selama kurang lebih dua tahun mengenal Aletha, Leon mengetahui dengan jelas seluk beluk wanita itu.
Mereka berdua saling berbagi rasa. Mengungkapkan semua kemelut kesah yang mengganjal di hati mereka masing-masing.
"Maafkan aku Aletha." Gumam Leon. Ia memeluk tubuh ringkih Aletha dengan lebih erat seraya mencium pelan sisi kepalanya.
"Tak apa Leon, kamu juga memiliki kehidupanmu sendiri, tak mungkin selama 24 jam bisa terus menjaga diriku." Ucap Aletha, kepalanya sedikit mendongak untuk melihat raut wajah bersalah pria yang ada di dekapannya.
"Tapi aku sudah berjanji padamu Aletha, maafkan atas kelalaianku." Ucap Leon.
"Kamu tidak perlu terus-terusan mengucapkan kata maaf, sudah kubilang ini semua bukan salahmu." Ucap Aletha.
"Maaf."
Nampaknya rasa bersalah Leon begitu mendalam hingga berulang kali mengucapkan kalimat itu. Sikap manisnya tak ayal membuat sudut bibir Aletha terangkat membentuk senyuman manis.
"Bagaimana bisa lelaki itu bisa dengan leluasa untuk memasuki area ini?" Tanya Leon.
"Mungkin saja Adam berkata bahwa dirinya adalah Ayahku, jadi ia langsung diberikan akses menuju kemari." Jawab Aletha
"Benar juga." Ucap Leon.
"Mau bagaimana lagi, memang itu faktanya kan?" Ucap Aletha retoris.
"Mau menceritakan padaku, apa yang lelaki brengsek itu ucapkan padamu?" Tanya Leon.
Salah satu sikap lain dari Leon yang sangat disukai oleh Aletha.
Lelaki itu tak kan menuntut penjelasan. Ia membiarkan Aletha sendirilah yang mengadu padanya. Meski dekat, mereka punya batasan tentang hal-hal yang boleh dibagi ataupun untuk disimpan sendiri.
"Dia tahu tentang keberadaan Ryshaka." Ungkap Aletha.
Leon sedikit menjauhkan tubuhnya dari kehangatan tubuh yang melingkupinya. Sorot matanya memandang Aletha dengan tatapan tak percaya.
"Jadi alasan kamu menangis adalah karena lelaki bad manner itu?"
Aletha seketika bangkit dari tidurnya. Pandangannya menyorot penuh pada lelaki yang sedang tidur di ranjangnya.
"Kamu tahu bukan seperti itu maksudku." Ucap Aletha.
"Jadi kamu menangis karena terlalu khawatir akan keadaannya?" Kedua alis Leon terangkat tinggi, ia menuntut penjelasan.
"Aletha-ku sudah dewasa ternyata." Kedua alis Leon naik turun demi menggoda Aletha yang terlihat malu-malu.
Aletha sebelumnya mengira bahwa lelaki itu marah atas perilakunya.
Menangisi seorang pria yang tak ada hubungan apapun dengannya. Nyatanya tidak. Ia tetap saja bersikap konyol.
"Kukira kamu sedang marah karena aku menangisi pria lain." Ucap Aletha.
Pandangan Aletha menunduk ia merasa bersalah karena membuat lelaki itu khawatir dengan tangisannya.
" Memang!" Ucap Leon singkat.
"Ia tidak sepadan dengan air mata yang telah kau keluarkan." Sambungnya seraya mengusap bekas air mata di sudut mata Aletha.
"Menyeret pria lain ke dalam masalah yang ia tak tahu dengan jelas tentang seluk-beluknya juga tak bisa dibenarkan Leon." Ucap Aletha.
"Lalu sekarang bagaimana Aletha? Lelaki itu sudah mengetahui keberadaan dirimu dan juga lelaki yang selibat denganmu." Tanya Leon.
"Aku pun tak tahu apa yang harus kulakukan, semua terasa buntu, kepalaku terlalu pening untuk dibuat berpikir." Keluh Aletha.
"Mungkin langkah pertama yang bisa kamu lakukan sekarang adalah menjauh dari Ryshaka." Saran Leon, ia juga ikut merasa kebingungan.
"Tapi..."
Sorot mata Aletha terlihat ragu mendengar kalimat Leon.
"Aku yakin pengorbananmu akan setimpal dengan dampaknya." Ucap Leon.
"Apakah kamu juga akan pergi dari tempat ini?" Tanya Leon.
"Itu tak mungkin dilakukan, pria itu sudah mengetahui keberadaanku, mengemas semua barangku dan pergi dari sini hanya membuang waktu dan tenaga saja. Pria itu sangat cerdik." Timpal Aletha.
"Ucapanmu benar." Ucap Leon.
Setelah itu tak ada lagi percakapan di antara keduanya. Mereka berdua sibuk memikirkan jalan keluar yang harus diambil.
"Lebih baik pejamkan matamu Aletha, tubuhmu juga perlu di istirahatkan!" Pinta Leon.
"Atau matamu perlu di kompres agar keesokan harinya tidak bengkak?" Tanya Leon.
"Tidak perlu Leon, aku yakin kamu pun sama lelahnya denganku." Tolak Aletha lembut.
"Kamu mau menginap disini atau kembali ke kamarmu?" Tanya Aletha.
"Aku bermalam disini saja, rasanya terlalu malas kalau harus kembali ke kamarku." Sahut Leon.
"Selamat malam Leon."
"Selamat malam juga Aletha." Sahut Leon.
Aletha kira semua beban yang menggelayuti pundaknya telah sirna seiring dengan manik matanya yang telah terpejam. Namun ternyata ia salah besar.
Otaknya telah berkhianat.
Segala memori tentang masalalunya berputar begitu saja tanpa diminta, mulai dari kisah penuh kasih hingga penghianatan lelaki yang bernama Adam.
Pria itu begitu menorehkan luka yang teramat dalam baginya. Hingga hanya dengan mengingatnya saja, dada Aletha terasa pedih, seolah-olah ada duri yang menancam di jantungnya yang membuatnya nyeri di setiap hembusan napas, dan mirisnya Aletha membawa luka itu hingga kini.
Namun kasih sayang yang pernah ia terima dari pria tersebut juga tak serta-merta dapat Aletha lupakan.
Semua memorinya berputar acak bagai video rusak, yang sulit bagi Aletha untuk abaikan.
"Genggam tanganku yang erat, jangan sampai tertinggal, anak manis."
Genggaman tangan itu terasa kasar di telapak tangan lembut Aletha. Lewat tautan tangan itu Aletha merasa begitu terlindungi. Rasanya hangat dan nyaman.
Ia pun masih mengingat jelas sorot mata penuh kelembutannya. Yang mengartikan bahwa lelaki itu takut akan kehilangan dirinya.
Secara tak sadar sudut bibir Aletha terangkat membentuk senyuman manis ketika kepingan kenangan masalalunya terulang kembali.
Di tengah perasaanya yang menghangat mengingat hal tersebut, secara tiba-tiba sorot mata yang awalnya teramat lembut itu langsung bertransformasi menjadi pandangan bengis yang siap untuk meluluh lantakkan segala hal yang terasa menghalangi keinginannya.
"Anak manis, bukankah aku sudah mengatakan sebelumnya, tentang apa yang boleh dan tidak boleh kamu lakukan? Mengapa kamu mengabaikan perkataanku, heh?" Ucap Adam dengan nada suara yang tiba-tiba melengking tajam, sorot matanya mengarah penuh pada Aletha.
Aletha masih mengingatnya dengan jelas. Saat itu ia masih berusia 10 tahun, sehingga tak begitu memahami dengan jelas maksud dari perkataan lelaki yang berdiri menjulang di depannya. Yang ia tahu hanya satu hal. Ia sedang marah besar padanya.
"Ayah kenapa marah-marah sama Aletha?" Ucap Aletha kecil dengan bibir bergetar, matanya pun terlihat berkaca-kaca.
"Aku sudah susah payah membesarkan dirimu, semua upaya telah aku lakukan agar kelak kamu bisa menikmati hidup yang lebih layak!" Ucapnya dengan nada tinggi yang sama, ia sama sekali tak terpengaruh pada sosok mengiba Aletha.
"Aku hanya sedang bermain dengan William ayah, aku tidak tahu apa yang salah dengan itu." Ucapnya lemah.
"Itu masalahnya Aletha, aku mendidikmu sedemikian rupa bukan untuk bergaul dengan anak miskin itu!" Ucapnya Adam seraya meninggalkan Aletha yang menangis keras.