Di tengah malam, Sandra kembali mendengar suara-suara aneh. Dia tak nyenyak tidur.
"Tolooong ... tolooong ...," terdengar sayup suara wanita.
"Ihh! Siapa sih itu yang berisik?" keluhnya.
Sandra yang begitu lelah berusaha memejamkan matanya. Suara aneh itu makin terdengar keras di telinga Sandra
"Tolooong ... tolong ...." Suara itu terdengar makin jelas di telinga Sandra.
Suaranya parau dan serak. Sandra yang sudah begitu lelah langsung bangun dan berteriak cukup keras.
"Iiiih! Berisik tahu! Siapa sih lo?" bentaknya dengan keras.
Suara itu hilang. Sandra yang masih mengantuk kembali hendak tidur. Dia berbaring di tempat tidurnya. Namun, dia merasakan seperti ada yang bersamanya. Ketika menoleh ke sebelah, ternyata ada pocong yang memandanginya dengan tajam.
"KYAAAA!!!" teriaknya histeris.
Sandra langsung meloncat dari tempat tidurnya. Dia yang begitu ketakutan berlari keluar dari kamarnya. Ketika di ruang tengah, dilihatnya hari mulai pagi. Kabut turun begitu tebal, dan tampak lalu-lalang orang seperti hendak pergi ke sawah.
"Lho, Kemana Ian dan Rangga?" tanyanya dalam hati.
Sandra membuka kamar Ian. Sandra tak melihat temannya di sana. Dia lalu pergi ke kamar Rangga. Pintunya terbuka, namun dia tak melihat Rangga di sana.
"Apa mereka sedang lari pagi?" pikirnya.
Sandra berfikir sejenak. Dia berjalan ke luar Villa. Dilihatnya banyak orang yang berlalu-lalang, namun suasana begitu hening.
"Mungkin, mereka lari pagi di sekitar Villa," pikirnya.
Sandra berjalan ke sekitar Villa. Dia mencari-cari Rangga dan Ian di sana, namun tak dia temukan. Sandra tampak kebingungan.
"Aneh. Kenapa aku tak temukan Rangga dan Ian?" bathinnya.
Sandra melihat ke sekelilingnya. Kabut tipis yang menemaninya begitu dingin.
"Ugh! Dingin sekali di sini," keluhnya.
Sandra melihat ada jejak kaki di villa itu. Dia berfikir jika itu adalah jejak Rangga dan Ian. Dia mengikuti jejak itu hingga ke tepi sebuah hutan.
"Rangga ... Ian ... di mana kalian?" teriaknya.
Sandra terus menyusuri jalanan di sekitar hutan sambil berteriak memanggil Rangga dan Ian. Sementara, di dalam hutan Heri sayup-sayup mendengar teriakan Sandra.
Sandra ... Sandra ...." Heri berlari secepatnya menyusul Sandra.
"SANDRA .... TUNGGU ...." Heri berteriak.
Sayup-sayup Sandra mendengarnya. Dia mencari sumber suara itu.
"Heri?" katanya dalam hati.
Sandra mendengar suara Heri dari dalam hutan. Makin lama suara itu makin jelas.
"SAN ... TUNGGU!" Teriakan itu semakin jelas.
Sandra semakin penasaran. Dia amati hutan yang gelap itu. Dan tampaklah sebuah cahaya dari dalam hutan. Agak lama kemudian, dengan nafas tersengal Heri akhirnya muncul di dalam hutan.
"San ... Uh ...uh....," kata Heri dengan nafas tersengal.
Tampak keringat membasahi tubuhnya. Wajahnya tampak begitu pucat pasi karena ketakutan.
"Her, Lo kenapa?" tanya Sandra.
"San, ceritanya panjang. Udah, kita pergi dari sini. Ngeri di sini," ajak Heri.
Tanpa berfikir lama, Sandra mengikuti Heri. Mereka pergi ke sebuah gubuk yang agak jauh dari hutan itu. Di sana, Heri akhirnya menceritakan apa yang dia alami. Sandra terkejut mendengar cerita Heri
"Jadi, waktu lo kemari Lo gak nemuin teman-teman?" tanya Sandra.
"Iya. Waktu habis main Jaelangkung, gue terbangun sendirian di Villa itu. Gue cari temen-temen, tapi gak ada. Bahkan, gue sempat mau ngancurin boneka Jaelangkung itu, tapi anehnya gue gak temuin tuh boneka," katanya.
Sandra tercekat. Kekhawatirannya timbul. Dia berfikir dan mengingat apa yang baru saja dia alami.
"Koq, mirip-mirip apa yang gue alami?" tanyanya dalam hati.
Sandra terdiam sejenak. Dan, mendadak doa mendengar suara langkah kaki mendekati gubuk itu.
"Her, Lo dengar gak?" katanya berbisik.
Heri memasang telinganya. Dia tampak panik. Wajahnya begitu tegang. Dia segera membawa ranselnya, dan bersiap pergi.
"Gawat! Ayo cepat pergi dari sini," ajaknya.
Tanpa berkata-kata, Sandra menyetujuinya. Mereka berdua segera keluar dari gubuk itu lewat jalan belakang, dan berlari menyusuri jalan setapak. Setelah agak lama berlari, sampailah mereka di belakang Villa Roses.
"Uh!! Ah ...," terdengar nafas Heri dan Sandra yang tersengal. Mereka melangkah ke halaman depan Villa utama. Dilihatnya Villa itu masih kosong.
"Her, masuk yuk," ajak Sandra.
Heri hanya mengangguk. Mereka berdua langsung masuk ke Villa itu dan duduk di ruang tengah. Sandra langsung pergi ke dapur dan mengambilkan air hangat untuk Heri.
Sementara itu, di kamarnya Rangga terbangun. Dirasakannya badannya begitu pegal.
"Ugh! Sudah pagi rupanya," gumam nya dalam hati.
Dia membuka jendela kamarnya, dan menggeliat sambil menikmati udara segar pagi hari. Mendadak, Ian masuk ke kamarnya.
"Bhro, Sandra hilang," kata Ian.
Rangga langsung membelalakkan matanya. Dia begitu kaget mendengarnya.
"Apa?! Lo gak bercanda kan?" tanya Rangga.
"Kagak! Tuh, Om Andre dan Mang Ujang pada kebingungan mencarinya," kata Ian.
"Terus, kira-kira Lo tahu kemana Sandra?" tanya Rangga.
Ian hanya menggeleng. Rangga langsung bangkit dari duduknya. Bersama Ian, dia menuju ke kamar Sandra. Rangga terkejut melihat kamar Sandra yang begitu berantakan.
"Ian, Lo kan indigo. Masak Lo kagak bisa tahu di mana Sandra?" kata Rangga seolah tak percaya.
"Bhro, gue gak bisa lihat Sandra di mana. Selubung alam ghaib di sini kelewat kuat. Mana tengah malam Tante Mori pulang lagi," katanya dengan nada panik.
Setelah mencarinya ke seluruh Villa, Andre dan Mang Ujang kembali menemui mereka berdua. Mereka membawa sesuatu.
"Rangga, Ian. Kita sudah cari Sandra ke seluruh Villa. Dan tadi, kita telusuri jalan di sekitar. Kita temukan ini," kata Andre sambil memberikan saputangan dan lampu senter pada Rangga.
Rangga dan Ian terkejut. Mereka mengenal benda-benda itu.
"Ini kan senternya Heri?" kata Rangga dalam hati.
Ian memegangi saputangan dari Andre. Dan, dia mendapatkan sebuah visi. Tanpa berkata-kata, Ian berjalan ke gudang belakang Villa, dan berhenti di depan sebuah cermin.
"Rangga. Mereka ternyata di bawa masuk ke dalam cermin ini," kata Ian.
Ian memberanikan diri membuka selubung hitam yang menutupi cermin. Dia buka selubung itu, dan melihatnya. Tiap sudut dia lihat, dan di pojokan kiri cermin dia lihat ada sesuatu yang menggangajalnya.
Ian berjongkok dan melihatnya. Ternyata, itu sebuah percikan darah, dan beberapa helai rambut.
"Uhm ... rupanya cermin ini menjadi angker sejak jaman Jepang," katanya dalam hati.
Ian mengamati beberapa helai rambut yang dia pegang, dan membuangnya. Kembali dia menutup cermin itu. Baru saja dia tutup cermin itu, terdengar suara gaduh. Ada sebuah tangan yang keluar dari cermin itu dan akan menarik Ian.
"Ian, awas!" teriak Rangga.
Ian terkejut. Tangannya berhasil terpegang. Andre dan Rangga yang tanggap langsung menarik Ian.
"Ian, jangan lepaskan tanganku!" teriak Rangga.
Dengan sekuat tenaga, Ian berusaha melepaskan cengkraman itu. Dia terus memukuli tangan itu dengan kuat.
"Aaaargh!" Rangga berusaha mengeluarkan seluruh tenaganya.
Dan, akhirnya mereka berhasil menarik Ian. Rangga tampak tersengal.
"Sudah, kita tunggu nanti malam. Yuk kembali ke Villa," ajak Andre.
Mereka segera menutup gudang itu dan kembali ke Villa. Waktu terus berjalan. Sore harinya, Ersa tengah menemani Reny bermain di rumahnya.
"Ma ... Mama. Kita main bajak laut, yuk," ajak Reny.
Ersa tersenyum simpul memandangi keceriaan putrinya. Dia mengangguk. Ersa langsung bergaya bak bajak laut. Dengan menggunakan kemucing, dia bergaya seolah menghunuskan pedang.
"Hehehe ... Bajak Laut kini kembali beraksi," kata Ersa sambil tertawa menyeringai.
Reny begitu ceria. Di tengah keceriaannya, mendadak Reny kembali terdiam dan ketakutan. Dia menunjuk ke belakang Ersa.
"Ma ... ada Om," kata Reny menunjuk ke belakang Ersa.
Ersa keheranan. Dia lihat di belakangnya, namun tak ada apa-apa. Dia dekati Reny.
"Nak, di belakang Mama gak ada siapa-siapa," kata Ersa.
Ersa tampak begitu ketakutan. Dia kembali menunjuk ke belakang Ersa. Ersa keheranan. Dia pandangi kembali bagian belakangnya, namun tak ada apa-apa.
"Ma, Leny takut... Leny takut ...," kata Reny sambil memeluk erat Ersa.
Mendadak, Ersa merasa merinding bulu kuduknya. Dan, di tengah kepanikan, terdengar suara pintu di ketuk. Ersa segera membukanya.
"Mas, syukurlah kamu pulang," kata Ersa merasa lega.
Namun, perasaan lega Ersa tak berlangsung lama. Dia melihat sikap suaminya yang begitu datar.
"Mas, kamu baik-baik saja?" tanya Ersa.
Sosok itu hanya diam dengan tatapan kosong. dan, Ersa kembali di kejutkan dengan suara handphonenya. Dia mengambilnya, dan melihat Andre tengah menghubunginya. Ersa langsung menerima panggilan itu sambil menenangkan Reny yang tengah memeluknya begitu erat
"Ma, Papa belum bisa pulang malam ini. Mama mending pergi ke Villa, susulin papa," kata Andre.
Ersa hanya diam keheranan. Dia langsung tersadar dan kembali ke depan, dan tak menemui siapapun.