Di bagian lain dalam hutan belantara, Ian dan Rangga berteriak memanggil Sandra dan Heri.
"Sandra .... Heri ....," teriak Rangga sambil mengarahkan lampu senternya ke suatu tempat.
Ian berjalan di depan Rangga. Dia hanya diam sambil mengayunkan tongkatnya untuk menyingkirkan penghalang jalan di depan mereka. Di tengah perjalanan, Ian merasakan sesuatu yang mendekat.
"Rangga, berhenti," kata Ian..
Rangga memandangi Ian dengan wajah keheranan. "Ada apa, Ian?"
"Ssst! Ada yang mendekat kemari," bisik Ian..
Terdengar raungan dari kejauhan. Raungan itu terdengar sayup-sayup, namun suaranya makin jelas. Mereka mendengar di segala arah.
"Itu suara apa, Ian?" tanya Rangga.
Ian hanya. menggelengkan kepalanya. Dan, tal lama kemudian terdengar seseorang yang berteriak.
"Tolong! Tolong aku!" teriak seseorang.
Rangga menoleh ke arah suara itu. Tampak dari kejauhan Heri berlari seolah di kejar sesuatu. Rangga yang melihatnya berlari mengejarnya. Namun Ian merasa ada yang janggal.
"Rangga, jangan ke sana!" kata Ian sambil berlari mengejar Rangga.
Rangga tak menggubrisnya. Ian yang merasa khawatir mengejar Rangga. Dia pegangi tangannya.
"Rangga, dengerin aku. Itu bukan Heri," kata Ian berusaha meyakinkan temannya.
"Apa Lo bilang? Hei, kita kemari cari Heri. nah itu orangnya," kata Rangga
"Ngga, lo percaya ama gue. Itu bukan Heri," kata Ian.
Tiba-tiba terdengar erangan di dekat mereka. Makhluk mengerikan muncul di depan mereka, dan mencekik Ian. Ian dengan mudah melepaskannya dan menendang makhluk itu. Rangga yang melihat Heri segera berlari. Ketika Ian hendak mengejarnya, tiba-tiba makhluk itu bangkit, dan makin banyak makhluk serupa yang menyerbu Ian.
"Sial! Mereka makin banyak," katanya dalam hati sambil melihat ke sekitar.
"Lho, Rangga?" bathinnya.
Dilihatnya Rangga tak ada bersamanya.
"Grrrh! Darah!" Makhluk itu mengerang dan mengepung Ian.
Makhluk itu berjumlah dua puluh dan mengepung Ian dari segala penjuru. Ian segera bersiap dengan tongkatnya. Dia ayunkan tongkat itu untuk menghalau makhluk yang menyerbunya.
"Hei, jangan kira kalian bisa dapat makanan dengan mudah!" bentak Ian bersiap menghadapi makhluk itu.
Namun, dalam hatinya dia sedikit ketakutan. Makhluk itu begitu kuat dan lincah.
"Grrrrh!" Erangan makhluk itu terdengar keras. Dua makhluk mulai menyerang Ian. Ian yang telah bersiap dengan keras memukul makhluk itu dengan tongkat yang dia pegang. Kedua makhluk itu jatuh tersungkur. Yang lainnya langsung menyerang Ian.
"Ciaat!" Ian berteriak sambil menyerang dan menghalau makhluk yang menyerangnya. Beberapa makhluk di pukul kepalanya dengan tongkat hingga pecah. Namun, tangannya sempat terkena cakaran. Ian yang kesakitan merintih sambil bersiap menyerang.
"Ugh! Perih sekali lukanya," katanya dalam hati.
Wajahnya mengernyit kesakitan. Dilihat lukanya tampak seperti luka bakar.
"Aaaargh! Panas sekali," rintihnya kesakitan.
Namun, Ian tak menyerah. Dia pandangi sekitar sepuluh makhluk di depannya dan bersiap menyerang. Dia ayunkan tongkat yang berlumur darah beku di tangannya.
"Grrrrh! Darah! Darah!" Erangan makhluk itu kembali terdengar, dan makhluk itu kembali menyerang. Dengan susah payah, Ian berjibaku melawan makhluk yang menyerangnya.
Di tengah usahanya berjibaku, Dewi datang. Dengan mudah dia mengusir makhluk itu. Di pandanginya Ian yang kelelahan.
"Hei, kamu baik-baik saja?" tanya Dewi.
"Arrrgh! Perih! Luka ini ....," rintih Ian kesakitan.
Dewi melihat luka di tangannya. Wajahnya tampak serius.
"Sini, Aku lihat lukamu," kata Dewi memegangi tangan Ian.
Dewi mengambil dedaunan dari hutan dan menutup luka di tangan Ian. Dengan kuat dia pegangi tangan Ian yang terluka.
"AAAARRRRGH! PANAS!" teriak Ian.
Tampak asap dan percikan api keluar dari tangan Dewi. Dewi mengerahkan kemampuannya untuk mengobati luka itu.
Tampak Ian menjerit kesakitan, dan akhirnya pingsan.
Setelah beberapa saat, Ian terbangun. Perlahan, dia buka matanya. Di pandanginya wajah ayu Dewi yang berada di depannya
"Kamu? Bukankah kamu salah satu dari mereka?" tanyanya sambil memandang tajam ke arah Dewi.
"Benar. Tapi, aku datang karena musuhku kembali lolos. Semua berawal dari permainan Jaelangkung itu," kata Dewi.
Dewi akhirnya menceritakan kejadian dua tahun lalu ketika Andre dan kawan-kawannya mengalami kejadian yang mengerikan. Dia menceritakan betapa kejam dan kuatnya Shirley, makhluk jahat yang begitu piawai menipu dan kerap menyamar.
"Nak, karena ulah teman-temanmu, Shirley kini makin kuat. Satu-satunya kelemahan Shirley adalah belati ini," kata Dewi menunjukkan belati tua yang dia pegang.
Ian terkejut. Dia teringat pada pandangannya.
"B--Belati itu? Seperti benda kuno dari Jaman Jepang?" katanya dengan keheranan.
Dewi tersenyum manis. Dia mengangguk.
"Benar. Ini dahulu adalah milik seorang tentara Jepang yang di rampas Shirley. Dia membunuh tentara Jepang yang memperkosanya dengan belati ini." Dewi bangkit dari duduknya.
Dia memandang jauh ke depan. Dilihatnya suatu arah.
"Nak, aku dan Shirley pernah hidup di tempat ini. Kejadian mengerikan itu berawal dari Jaman Jepang," kata Dewi yang mulai menceritakan siapa dia dan Shirley.
Dewi diam sejenak, dan kembali memandangi Ian. Dia menjelaskan kejadian yang menimpa dirinya dan juga keluarga Ernest sebagai pemilik awal villa itu secara lengkap. Ian yang sempat sekilas melihat bergidik ngeri.
"Nak, Shirley itu tewas setelah di bunuh perampok yang memperkosanya dengan belati ini," kata Dewi.
"Uhm ... apakah Shirley ada di belakang ini?" tanya Ian.
Dewi tersenyum. Dia menjawab pertanyaan Ian dengan mengangguk. Namun, dia kembali berkata.
"Nak, ada satu sosok lagi yang sangat kuat. Dia adalah Langsa, atau kerap di sapa Nyi Hitam, seorang dukun ilmu hitam yang juga tewas di jaman Jepang. Dia berasal dari luar daerah ini, dan salah satu jimatnya ada di komplek Villa itu," kata Dewi.
Dewi akhirnya menceritakan siapa Nyi Langsa itu. Dia adalah seorang dukun yang sering di percaya Nyonya Ernest untuk menghabisi pejuang RI yang hendak melawan kekuasaan Belanda. Dia pulalah yang menaruh berbagai jimat di Villa itu sehingga Villa itu kerap lolos dari serangan pejuang.
"Uhm ... jadi karena Jaelangkung itu Nyi Hitam kembali bangkit?" tanya Ian.
"Iya. Dan, boneka itu sebenarnya terpendam di sekitar Villa. Salah seorang temanmu yang mengambilnya," kata Dewi.
Ian mencoba mengingat-ingat. Dan, akhirnya ingatannya kembali ketika dia memergoki Heri yang tengah mengambil sesuatu dari hutan sekitar Villa.
---Ingatan Ian---
Kala semua siswa menikmati kesejukan udara di sekitar Villa, Ian yang melihat Heri berjalan sendiri keheranan..
"Lho, Heri ngapain di sana?" gumamnya.
Ian berjalan mengendap-endap. Dia dekati Heri secara perlahan. Dan, alangkah terkejutnya ketika dari kejauhan dia melihat Heri yang tengah membuat konten mengangkat boneka jelangkung.
"Yo What's App, Bhro. Sekarang gue lagi liburan di puncak, dan konon villa tempat gue menginap angker. Gue mau buktikan seberapa angker Villa Roses tempat gue menginap. Oke, Guys. Terus ikuti channel Heri Spooky Master dan jangan lupa, subscribe and share," katanya sambil mengarahkan hp ke arahnya.
Heri langsung memasukkan boneka itu ke dalam tasnya, namun Ian langsung berlari ke arahnya.
"Hei, Heri! Taruh benda itu. Lo jangan main-main dengan itu," kata Ian mengingatkan.
Heri menatap Ian dengan senyum keheranan.
"Ian, bukan urusan lo. Udah, minggir, dasar aneh!" bentak Heri.
Ian memegangi tangan Heri. Heri tampak marah dan memukul wajah Ian.
"Lo gak usah urusin gue. Lo urus diri Lo yang aneh!" bentak Heri.
Ian yang tak terima hendak membalas Heri, namun keburu di datangi sang guru.
"Sudah! Sudah. Hari sudah sore. Ayo kita kembali pulang," ajak Pak Wandi, guru yang menyertai para siswa.
Ian berusaha menyembunyikan ketakutannya. Dia memilih mengalah. Sore itu, mereka kembali ke penginapan sendiri-sendiri.
---Ingatan Ian---
"Itulah awal petaka ini. Aku sebenarnya sudah merasakan bahaya mengintai, namun aku tak kuasa mencegahnya," kata Ian.
Dewi terdiam sejenak.
"Baiklah, Nak. Carilah boneka itu, dan hancurkan dengan sebuah keris kecil yang di tanam di sekitar Villa," kata Dewi.
Ian mendengarkan arahan Dewi. Sementara Dewi dan Ian saling berbincang, Rangga yang terus mengejar Heri mendadak kehilangan jejak.
"Her, kemana Lo?" teriaknya.
Rangga terengah-engah di tengah hutan karena mengejar sosok yang menyerupai Heri.
"Ugh! Gila. Tuh anak kemana sih?" gumamnya.
Ketika dia tengah berisitirahat, tampak seorang gadis berjalan sendiri di tengah hutan. Rangga berlari mengejarnya.
"Mbak, tunggu," teriak Rangga sambil mengejarnya.
Gadis itu menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke belakang dan memandangi Rangga yang berlari mendekatinya. Dengan nafas terengah-engah, Rangga berusaha mengatur nafasnya. Sejenak, dia begitu kagum akan kecantikan gadis itu.
"Mbak, maaf. Tahu teman aku?" tanya Rangga.
Gadis itu tersenyum penuh arti pada Rangga.