Chereads / Misteri Sebuah Cermin / Chapter 22 - EPILOGUE

Chapter 22 - EPILOGUE

Pagi telah tiba. Andre kembali tersadar. Dia dapati dirinya berada di kamar Villa. Dirasakannya cahaya pagi yang menyinari wajahnya. Perlahan, dia membuka mata. Dilihatnya putri kecil dan istrinya yang dengan setia menunggunya.

"Papa," sapa Reny.

Andre memeluk erat putrinya. Perlahan, Andre bangkit sambil menahan perih.

"Pa, istirahatlah dulu. Biar mama ambilkan sarapan buat papa," kata Ersa mencegah Andre untuk bangun.

Andre mengangguk. Dia duduk di tempat tidurnya sambil bercengkrama dengan putri kecilnya. Tak lama kemudian, datanglah Ersa membawa makan pagi untuk Andre.

"Pa, semuanya sudah berakhir. Ian dan Sandra sudah pulang pagi-pagi sekali," kata Ersa dengan lembut.

Andre menatap istrinya. Dia tampak begitu lega kengerian itu berakhir.

"Syukurlah, Ma. Papa sudah tak sabar untuk pulang," kata Ersa.

"Iya, Pa. Mama juga tak sabar untuk kembali ke rumah," kata Ersa sambil sesekali menyuapi suaminya.

"Papa udah becal, kok makan macih di cuapin mama?" kata Reny dengan nada polos.

Andre dan Ersa tertawa lepas melihat kelucuan Reny. Andre memeluk putrinya dan berkata, "Itu tandanya Mama sayang sama Papa, dan juga Reny."

Tampak gelak tawa di antara mereka seolah lupa dengan kejadian yang baru saja menimpa mereka.

Setahun berlalu sejak kejadian itu. Di sebuah SMA Negeri, tampak hingar bingar para siswa merayakan kelulusan mereka. Mereka tampak mencorat-coret baju SMA yang mereka gunakan. Sandra yang masih trauma memilih menyendiri. Dia duduk di depan taman sekolah seorang diri.

"Rangga, Dika, Heri. Andai kalian masih ada, tentu kalian akan begitu bahagia," kata Sandra dalam hati.

Sandra mengenang persahabatan itu. Berawal karena mengejar-ngejar Rangga, akhirnya Sandra bersahabat dengan ketiga pria itu. Mereka kerap bersama.

Sejenak, Sandra tersenyum sambil meneteskan air matanya. Tanpa di ketahui Sandra, Ian melihatnya termenung sendiri. Dia langsung duduk di sebelahnya.

"San, gimana? Lo mau kuliah di mana?" tanya Ian tiba-tiba.

Sandra terkejut. Dia menyeka air matanya, dan berusaha tersenyum pada Ian, pria yang selalu menemaninya. Sejak Ian membantunya menghilangkan phobia pada boneka sawah, Sandra perlahan mulai mencintai Ian. Namun, perasaan cintanya pada Rangga masih kuat.

Sandra memandangi Ian. Dia berusaha tersenyum dengan senyum yang di paksakan.

"Gue belum ada gambaran mau kuliah di mana," katanya dengan nada sedih.

Dilihatnya baju Sandra yang masih bersih. Ian keheranan.

"San, kok lo kelihatan sedih di hari kelulusan ini?" tanya Ian.

Sandra memandang jauh ke depan. Dia sejenak terdiam.

"Gue masih ingat kejadian tahun lalu, Ian. Andai kita tak iseng main jaelangkung," katanya dengan tatapan kosong.

Ian menepuk pundaknya. "Sandra, Lo harus hilangin trauma Lo. Lo bisa ngilangin phobia pada boneka sawah. Lo pasti bisa move on dari kejadian tahun lalu."

Sandra tersenyum kecut. Dia bangkit dari duduknya, dan hanya dia memandang lapangan basket di depannya.

"Ian, aku masih menyayangi Rangga. Hingga saat ini, setelah kepergiannya, aku masih mencintainya," kata Sandra.

Sandra kembali memandangi Ian. Tampak Air matanya menetes.

"Ian. Maafkan aku yang menerima cintamu padahal aku masih mencintai Rangga," lanjutnya

Ian mengangguk. Dia dekati Sandra. Dia pegang kedua tangannya dan memandangi wajah sedihnya.

"San. Gue ngerti Lo masih sayang sama Rangga. Tapi, gue begitu berterima kasih Lo terima cinta gue," kata Ian.

Sandra terdiam. Dia tak kuasa menahan tangisnya. Dia langsung memeluk erat Ian.

"Ian, please. Jangan tinggalin gue. Cuman Lo yang mengerti keadaan gue. Please ...," pinta Sandra di tengah tangisnya.

Ian tersenyum manis. "San, gue gak akan tinggalin Lo. Gua akan jaga Lo sesuai dengan janji gue pada Rangga."

Ian menenangkan Sandra. Dilihatnya, air matanya masih membasahi pipinya. Dengan sabar, Ian menyekanya. Dia mengajak Sandra untuk mengunjungi makam Rangga.

Rupanya, Rangga di makamkan bersebelahan dengan makam Heri dan Dika. Mereka mengirim doa untuk ke tiga sahabatnya yang meninggal setahun lalu. Sandra tak kuasa menahan air matanya ketika menabur bunga di pusara Rangga.

"Ngga. Semoga Lo di terima di sisi-Nya. Gue ingin lanjutin hidup gue bersama Ian. Gue akan cintai Ian sama seperti perasaan gue ke Lo selama ini," kata Sandra di tengah tangisnya.

Ian hanya diam mendengar perkataan Sandra. Setelah mengirim do'a, Sandra menggandeng mesra Ian dan meninggalkan area pemakaman itu.

Sementara itu, di sebuah taman, tampak Ersa dan Siska tengah duduk di sebuah bangku. Mereka memandangi Reny yang tengah bermain bersama Andre.

Ersa menatap gemas seorang bayi laki-laki yang di gendong Siska.

"Sis, anakmu begitu mirip dengan Frans," kata Ersa.

Siska tertawa renyah. " Ya iyalah, Sa. Namanya juga ayahnya. Hehehe."

Ersa sejenak tertawa renyah. Dia melihat Siska begitu sabar merawat anaknya sambil memimpin perusahaan barunya. Karena keuletannya, Siska menjadi sukses setelah mundur dari profesi pengacara.

"Sis, Lo gak berfikir untuk mencari ayah sambung buat anakmu?" tanya Ersa.

Siska hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

"Tidak, Sa. Bagiku cukup seorang Frans yang jadi suamiku. Biar aku besarkan buah cintaku ini seorang diri," kata Siska sambil memberikan susu anaknya.

Di gerobak bayi, anak Siska begitu lahap meminum susu itu. Ersa tersenyum gemas melihat bocah kecil di gerobak bayi itu.

Setelah agak lama bermain, Reny dan Andre mendatangi Ersa yang tengah duduk bersama Siska.

"Ma, Reny lapar," kata Reny setelah puas bermain.

"Hari sudah siang. Kita makan yuk," ajak Andre.

Dia memandangi Siska. "Uhm, Sis. Kamu ikut yuk. Sekalian kita bicarakan persiapan ulang tahun Reny," ajak Andre.

Siska mengangguk. Mereka berjalan menuju sebuah rumah makan di sekitar taman itu. Sesampainya di sana, mereka segera memesan menu makanan. Sambil menunggu pesanan, Andre menatap anak Siska.

"Kuchi ... ," goda Andre sambil mencolek gemas pipinya.

Anak itu menatap Andre. Reny memandanginya.

"Tante Siska, nanti datang ya di ulang tahun Reny," pinta Reny.

Siska tersenyum manis. "Tentu Tante datang."

Tak lama kemudian, pesanan pun tiba. Mereka melahap makan siang itu dengan lahap.

Sementara itu, Villa Roses sedang bersiap di buka. Sore itu, Mori berkunjung ke sana. Dia datang bersama Mang Ujang. Dia tengah mengambil sebuah pusaka terakhir yang di tanam di Villa itu. Mori pergi ke bagian ruaang tengah. Di sebuah tempat, dia melepas tegel dan membongkarnya.

Dengan Indra keenamnya, Mori akhirnya menemukan sebuah jimat yang di tanam di Villa itu. Sebuah Jenglot dia temukan.

"Mang Ujang. Ini rupanya biang keladi yang menyebabkan Villa ini tak laku di jual. Aku akan kembalikan jenglot ini ke alamnya," kata Mori.

Mori memasukkan jenglot itu di kotak ya dan dia ikat dengan kain hitam. Mori kembali bertapa, dan membakar jenglot itu. Terdengar suara rintihan yang begitu mengiris sebelum akhirnya Jenglot itu menjadi sebuah cahaya merah yang menghilang di udara.

Mori kembali memagari Villa itu dengan menanam sebuah batu di tepiannya. Setelah selesai, dia berkata pada Mang Ujang.

"Sebelum Villa di buka, adakan pengajian dan selamatan untuk membersihkan sisa aura negatif di villa ini," kata Mori.

Mang Ujang mengerti. Dia menghubungi Andre dan menyampaikan permintaan Mori.

Dua hari kemudian, bertepatan dengan hari ulang tahun Reny, Andre mengajak Siska merayakan ulang tahun di Villa itu. Turut hadir Mori, Ian dan Sandra yang memang di undang oleh Andre. Perayaan itu begitu sederhana, namun Reny begitu senang.

"Reny, selamat ulang tahun ya," kata Sandra yang datang bersama Ian.

"Terima kasih, Kak Sandra." Reny tersenyum manis menerima kado itu.

Ian membelai lembut kepala Reny. "Semoga Reny senang."

Reny tersenyum manis. Dia mengangguk. Dan, ketika kado itu di buka, Reny tampak senang dengan pemberian Ian dan Sandra. Setelah acara ulang tahun itulah, di siang harinya diadakan selamatan untuk membersihkan sisa aura negatif di Villa itu. Baru sore harinya, Ian dan Sandra berniat pulang.

"Om, kami mau pamit dulu. Terima kasih undangannya. Dan, Villa ini sudah bersih," kata Ian sambil mengamatinya.

"Iya, Nak. Hati-hati di jalan. Uhm ... Om sebenarnya mau jual Villa ini, tapi ...." Andre memandang sejenak Mang Ujang.

"Tapi aku akan tetap pertahanka. Villa ini. Biarlah Mang Ujang yang mengelolanya," lanjutnya.

Ian tersenyum. "Jangan, Om. Setelah ini, Villa ini akan ramai dan menghidupi Mang Ujang."

Andre mengangguk. Setelah berpamitan, Ian dan Sandra kembali ke Jakarta. Sepeninggal Ian dan Sandra, Mang Ujang segera membersihkan Villa. Tak lupa, dia menyediakan makan malam untuk keluarga Andre dan Siska. Baru malam harinya mereka pulang kembali ke Jakarta.

Beberapa hari kemudian, benar dugaan Ian. Villa Roses begitu ramai dan tak pernah sepi dari turis. Mereka begitu senang menyewa Villa itu.

TAMAT