Chereads / Misteri Sebuah Cermin / Chapter 18 - PENCARIAN BERLANJUT

Chapter 18 - PENCARIAN BERLANJUT

Diam-diam, Rangga mengagumi kecantikan gadis misterius itu. Gadis itu memandangi Rangga sejenak.

"Teman kamu? Orangnya bagaimana?" tanyanya dengan nada lembut.

Rangga menjelaskan ciri-ciri orang yang dia cari. Gadis itu tersenyum.

"Aku tadi melihatnya ke arah sana. Aku tahu kemana dia pergi. Yuk, aku antar kamu," ajak gadis itu.

Rangga bernafas lega. Dia ikuti gadis itu. Di tengah perjalanan, dia memperkenalkan diri.

"Uhm, aku Langsa Ayu. Kamu siapa?" tanya gadis itu.

"Aku Rangga, dan aku lagi cari temanku yang bernama Heri," kata Rangga.

Gadis itu tersenyum penuh arti. Tanpa sepengetahuan Rangga, senyuman gadis itu begitu menyeringai dan mengerikan. Setelah beberapa saat berjalan, sampailah mereka di sebuah sungai. Di sana ada sebuah bangunan megah.

"Rangga, kita mampir dulu. Hari sudah malam. Sebaiknya kamu beristirahat," ajak Ayu.

Dia memandangi Rangga. Seperti terhipnotis, Rangga perlahan melupakan sahabatnya. Dia terhipnotis kecantikan Ayu. Sementara itu, Andre berjalan sendirian menyusuri gelapnya hutan.

"Heri .... Reny .... Dimana kalian?" teriaknya sambil berjalan menyusuri gelapnya hutan.

Kabut tipis mulai turun. Terdengar suara gemuruh. Gerimis pun turun. Andre terus berjalan menyusuri hutan sambil berteriak memanggil Heri dan Reny.

"Heri ... Reny ... Di mana kalian?" teriaknya.

Sementara itu, Dewi kembali berjalan untuk mencari Shirley, dan Ian berjalan mencari kedua sahabatnya. Di tengah pencarian, Ian sayup-sayup mendengar suara Andre.

"Om Andre?" gumamnya.

Ian menghentikan langkahnya. Dia mencari sumber suara itu. Dan tak lama kemudian dia melihat sosok yang berlarian di depannya. Ian tampak terkejut melihatnya.

"Dika?" gumamnya.

Ketika sosok itu menghilang, Ian langsung tersadar. Dia kembali mencari Andre di tengah kegelapan hutan.

"Om Andre ... Om Andre .... ," teriaknya sambil berjalan menembus hutan.

Andre mendengar teriakan memanggil dirinya.

"Lho, itu seperti suara Ian?" katanya dalam hati.

Andre segera berjalan mencari sumber suara itu. Dan di tengah perjalanan, Andre sepeti melihat Vero dan Reza. Dia terkejut.

"Andre, jangan hiraukan bayangan itu. Itu adalah kamuflase." Andre mendengar bisikan Mori. Dia segera tersadar.

*Oh ya, Vero dan Reza sudah tenang di alamnya," katanya dalam hati.

Andre tersadar. Dia kembali fokus mencari Sumber suara yang memanggilnya. Setelah beberapa lama menyusuri hutan, Dia melihat ada yang janggal di semak-semak tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Lho, semak itu. Kenapa bergerak?" tanyanya.

Andre mendekatinya. Terdengar suara tangis anak kecil. Andre rupanya mengenali sosok itu.

"Reny?" katanya dalam hati.

Segera Andre berlari ke semak itu. Dan, dia dapati Reny yang begitu ketakutan.

"Reny, ini papa," kata Andre setelah melihat Reny.

Reny tetap begitu ketakutan. Dia langsung berlari dan memeluk erat Andre.

"Pa, Leny takut ...," kata Reny sambil menangis.

Andre memeluk erat putrinya. Dia menenangkannya.

"Nak, tenanglah. Papa sudah di sini " kata Andre berusaha menenangkannya.

Tiba-tiba, terdengar suara teriakan yang mengerikan. Reny semakin ketakutan. Dia bersembunyi di balik tubuh ayahnya sambil merangkul kakinya.

"Pa, Leny takut ... Ayo, Pa. Kita pelgi." Reny mulai merengek.

Andre hendak berjalan, tiba-tiba terdengar suara erangan. Dan, muncullah sosok makhluk mayat hidup di depannya.

"Darah!! Darah!" Makhluk itu menatap Reny dengan senyum menyeringai.

"PAA .... LENY TAKUUT!" teriak Reny sambil memeluk erat Andre.

Andre menenangkan putrinya. Dia langsung menggendongnya dan berusaha menghindari beberapa mayat hidup yang menghadangnya. Ketika tengah berusaha menghindar, satu zombie sempat mencengkram tangannya. Andre yang telah sigap langsung memelintir tangannya dan mematahkannya.

Sambil menggendong anaknya, dia tendang zombie itu kuat-kuat hingga terpental. Melihat peluang di depan, Andre langsung berlari menggendong Reny. Ketika tengah berlari, dia merasakan ada sosok yang mengejarnya.

"Grrrrh! Darah! Darah!" Terdengar suara erangan makhluk ghaib. Andre sempat menoleh ke belakang. dilihatnya makhluk itu setengah wajahnya hancur. Dia begitu lincah mengejar Andre.

CRASS!! Sebuah cakaran makhluk itu mengenai punggung Andre.

"Aaaargh!" teriaknya merintih kesakitan.

Andre berusaha menahan rasa perih itu dan tetap berlari. Tiba-tiba terdengar suara pukulan. Rupanya, Ian yang mengikuti Andre tengah berada di belakang makhluk itu. Dia memukul kepala makhluk itu dengan tongkat hingga pecah.

Makhluk itu roboh. Dan, beberapa dari makhluk itu kembali muncul. Ian langsung berlari mengikuti Andre.

"Om, tunggu!" teriaknya.

Andre yang mendengar suara Ian menoleh ke belakang. Dia memberi kode pada Ian untuk berlari mengikutinya. Dan, setelah beberapa lama, sampailah Andre di luar hutan. Dia turunkan Reny dari gendongannya. Ian yang ada di belakangnya segera menyusulnya.

"Ugh! Ah ... ah ... ah ...Huh!" Nafas Andre terengah-engah.

Andre kembali merasakan perih di punggungnya. Dia rasakan luka itu begitu panas.

"Aaaargh! Panas!" teriaknya.

Andre merasa panas sekali punggungnya. Ian melihat luka itu seperti terbakar.

"Om, tadi di cakar makhluk itu?" tanya Ian yang melihat luka di punggung Andre.

"Ugh! I--Iya, Ian. Argh! Panas sekali!" rintihnya.

"Om, Ian coba obati ya," kata Ian sambil melihat luka di punggung Andre.

Ian melihat ada sebuah kuku yang menancap. Dengan keberaniannya, dia ambil kuku itu. Andre kembali merintih kesakitan ketika kuku itu di cabut.

"AAAAARGH! SAKIIIT!" teriaknya.

"Tahan, Om. Tahan sebentar," kata Ian sambik mencabut kuku hitam itu.

Dan, kuku itu akhirnya berhasil di cabut. Ian menutupi luka itu dengan kain, dan mencoba menghentikan pendarahannya.

"Om, sementara ini lukanya sudah aku obati. Sebaiknya, kita kembali ke Villa untuk mengamankan anak Om," kata Ian.

Andre menyetujui usulan Ian. Akhirnya, mereka bertiga berjalan kembali ke villa. Setelah agak lama berjalan, sampailah mereka bertiga di Villa. Di sana, Sandra begitu panik melihat Ian kembali sendiri.

"Ian, kemana Rangga?" tanya Sandra.

"Entahlah, Sandra. Tadi aku udah suruh tetap bersama, tapi dia tiba-tiba menghilang," kata Ian.

Sandra hanya manggut-manggut, namun dia begitu khawatir dengan keadaan Rangga.

Andre yang berusaha menahan perih akhirnya tak kuat berdiri. Dia terjatuh di depan istrinya.

"Pa! Papa kenapa?" tanya Ersa yang begitu khawatir.

Andre begitu lemas. Dia tak sanggup menjawabnya.

"Tante, Om terluka," kata Ian.

Mori langsung datang dan mendudukkan Andre. Dia lihat luka di balik bajunya yang koyak.

"Ersa, tolong pengangi Andre. Ini bakalan sangat sakit," kata Mori.

Ersa mengangguk. Dia peluk suaminya yang tengah lemas. Mori segera membuka kain penutup luka itu. Dilihatnya, luka Andre semakin parah. tepiannya berwarna hitam.

Mori segera mengambil air dan membasuhkannya pada kain. Dia cuci luka itu dan menyentuhkan tangannya. Mori mengeluarkan tenaga dalamnya untuk mengobati luka itu.

"AAAAAKH!! PANAS!!" teriak Andre.

Reny menangis melihat ayahnya kesakitan. Dengan penuh kasih sayang, Ersa memeluk Andre dan berusaha menguatkannya

"Sayang, tahan sebentar," bidiknya pada Andre.

Andre berusaha meronta, namun Ersa makin erat memeluknya.

"Tahan, Sayang. Tahan ...," bisiknya pada Andre.

"AAAAARGH! HUEEK!" teriak Andre.

Andre muntah darah dengan beberapa hewan kecil. Setelah itu, dia kembali memuntahkan segumpal daging seperti darah beku, laku pingsan.

"Uhft! Syukurlah. Suamimu sudah sembuh, Ersa," kata Mori.

Ian dan Ersa mengangkat tubuh Andre ke sofa. Ersa menidurkan Andre di pangkuannya. Dia belai kepala suaminya dengan lembut. Sementara itu, Heri yang tersesat tampak mulai putus asa. Dia berteriak memanggil Sandra.

"Sandra! Di mana Lo?" teriaknya dengan rasa putus asa.

Dia yang begitu putus asa memandangi sekitarnya. Hanya sebuah tanah kosong yang gelap. Setelah hilang rasa lelahnya, Heri kembali berjalan sendirian. Dia susuri jalanan itu, dan tiba-tiba dia melihat sebuah warung yang buka.

"Ahh, untunglah ada warung yang buka," katanya dalam hati.

Heri yang begitu kelaparan langsung mampir ke warung itu. Dilihatnya, warung itu sedikit janggal. Semua pembelinya diam. Karena lapar, dia tak sempat mengamati warung itu

"Bu, beli kopi dan nasi uduk," kata Heri pada sang penjual.

Penjual itu hanya diam tanpa ekspresi. Dia langsung memasak dan menyiapkan pesanan Heri. Agak lama dia menunggu, hingga akhirnya dia terlelap karena begitu lapar dan kelelahan.

"Hei, bangun!" Heri mendadak mendengar suara seseorang.

Dia membuka matanya, dan melihat sosok yang membangunkannya. Perlahan, dia buka matanya. Dan, alangkah terkejutnya ketika dia melihat Dika di sana.

"Dika?" Kamu kemari?" tanya Heri.

Dika hanya menggangguk. Heri kenbali melihat sekitarnya, ternyata dia tengah berada di sebuah tanah kosong. Tak ada warung di sana.

"Lho, Dika. Aku tadi di warung. Kok hanya tanah kosong?" tanya Heri.

Dika hanya tersenyum manis. Dia mengajak Heri untuk beranjak.

"Heri, ayo kita perg dari sini," ajak Dika.

Heri mengangguk. Dia ikuti langkah Dika ke suatu tempat. Mereka berjalan menembus kabut putih, dan mereka akhirnya berada di suatu taman.

"Heri, Lo aman di sini. Tuh, teman kita banyak," kata Dika.

Heri memandangi orang-orang di sekitar tempat itu. Dan, dia terkejut ketika bertemu dengan Stella, mantan kekasihnya yang telah tiada sebulan sebelum ujian sekolah.

"Lho, Dika. Itu bukannya Stella?" tanya Heri keheranan.

"Iya, Heri. Itu Stella," katanya sambil memanggilnya.

Heri terperanjat. Dia seolah tak percaya dengan pandangannya. Stella tersenyum manis di depannya.

"Heri, akhirnya kita bertemu. Aku senang kita kembali bersama?" kata Stella.

Heri terperanjat. Dia pandangi Dika dengan wajah keheranan.

"Lho, bukannya Stella telah tiada?" kata Heri.

Dika mengangguk. "Benar, Heri. Kita memang sebenarnya sudah tiada."

Deg! Heri merasa tak percaya. Dia begitu sedih.

"Nggak, Dika. Lo salah. Gue masih hidup," kata Heri.

Dika dan Stella tersenyum manis.

"Heri, Lo masuk di sini artinya Lo udah tiada. Coba Lo lihat alam ini. Lo gak bisa keluar dari sini," kata Stella menjelaskan.

Heri kembali memandangi alam sekitar nya. dan memang, tak ada pintu keluar seperti halnya ketika dia datang.