Chereads / Misteri Sebuah Cermin / Chapter 12 - MISTERI KEBERADAAN HERI

Chapter 12 - MISTERI KEBERADAAN HERI

Rangga tengah memacu motornya ke rumah Dika..Dia merasa sedih dengan kematian sahabatnya. Sementara, di sudut jalan lain, Andre yang mendapat kabar dari Mang Ujang tengah pergi ke Villa Roses.

Andre memacu mobilnya. Dan, di sebuah persimpangan dia terkejut melihat sebuah motor yang menyerobot jalan

"Waduh!" teriak Andre yang terkejut.

Rupanya pengendara motor itu juga sama kagetnya. Keduanya sama-sama menginjak rem. CKIIT! Terdengar suara ban berdecit. motor Rangga berhenti tepat di depan sebuah mobil mewah.

"Ihh! ini anak ugal-ugalan banget sih!" gerutu Andre..

Sementara, Rangga begitu berdebar jantungnya.

"Uhft! Syukurlah masih sempat. Kalo nabrak tuh mobil, bisa koit(mati) gue," katanya dalam hati sambil mengelus dadanya.

Andre turun dari mobil dan mendatangi Rangga.

"Hei, Nak. Hati-hati kalau nyetir motor. Hampir saja kamu celaka," bentak Andre pada Rangga.

Rangga yang merasa bersalah segera meminta maaf.

"M--Maaf, Om. Saya tadi tergesa," kata Rangga dengan wajah tampak sedih.

Andre diam sambil memandangi wajah Rangga dengan tajam. Mendadak, Rangga melihat sosok Dika di mobil Andre. Rangga tampak ketakutan.

"Om, saya permisi dulu," katanya dengan nada ketakutan.

Rangga buru-buru memacu motornya dan pergi. Andre hanya menatap kepergiannya sambil menggelengkan kepalanya. Segera dia masuk ke mobil dan meluncur ke Villa Roses.

Tak lama kemudian, sampailah Rangga di rumah duka. Dilihatnya Sandra dan beberapa teman Dika hadir di sana. Beberapa guru juga ada di sana. Sandra langsung menemui Rangga.

"Rangga, Heri juga menghilang. Padahal, waktu pulang piknik gue yakin lihat dia di sebelah Dika. Lo juga lihat dia kan?," kata Sandra.

Rangga mengangguk. Dia benarkan ucapan Sandra. Namun ada ganjalan yang selama ini dia sembunyikan.

"Iya, San. Tapi, sejujurnya. Sejak bermain jaelangkung, gue ngerasa yang di sebelah Dika waktu itu bukan Heri," kata Rangga berbisik.

Sandra terkejut. Dia membelalakkan matanya seolah tak percaya dengan ucapan Rangga.

"Kok lo bisa berfikir begitu?" tanya Sandra.

Rangga memandangi sekitarnya. Dilihatnya tak ada yang memperhatikan mereka.

"Naluri gue bilang itu bukan Heri. Gue yakin Heri masih di Villa Roses," kata Rangga berbisik.

"CLiNG!" Terdengar suara pesan masuk di ho Sandra. Sandra membukanya, dan dia membelalakkan matanya. Dia baca pesan itu.

"Ngga, ini pesan dari Heri," katanya menunjukkan pesan itu pada Rangga.

Rangga membacanya. Dia tampak begitu ketakutan.

"San, kayaknya kita harus kembali ke Villa Roses. Kita harus selesaikan permainan Jaelangkung itu, sebelum ada korban lagi," kata Rangga berbisik.

Sandra terdiam. Dia tak menjawab ajakan Rangga. Dilihatnya, keluarga akan memakamkan Dika.

"Ngga, kita ke pemakaman, yuk. Itu papa dan mamanya Dika sudah siap berangkat," ajak Sandra.

Dika mengangguk. Dia mengikuti Sandra ke pemakaman sahabatnya. Di areal pemakaman, Rangga ikut melepas kepergian sahabatnya. Setelah pemakaman selesai, dia menemui orang tua sahabatnya.

"Om, Tante. Saya turut berduka cita atas meninggalnya Dika," kata Rangga.

Kedua orang tua Dika berusaha tabah. Ibunya tak henti-hentinya menangis.

"Nak, kepergian Dika begitu cepat dan misterius. Kemarin, dia masih sehat-sehat, dan setelah malam harinya, dia meninggal," kata ibunya.

Ayahnya menatap Rangga dengan wajah sedih. Dia menceritakan kejanggalan pada kematian putranya

"Nak, saya sempat memfoto jenazah Dika," katanya sambil menunjukkan foto itu pada Rangga.

Rangga terkejut melihat luka bakar yang ada di dada Dika.

"Lho, Om. Bagaimana ada luka bakar begini?" tanya Rangga.

"Entahlah, Nak. Padahal sebelum meninggal, Om sempat melihat tubuhnya baik-baik saja. Tak ada gejala apapun, hingga suatu malam saya dengar teriakan Dika," kata Ayahnya menjelaskan.

Ayahnya Dika menceritakan kejadian malam itu. Ketika itu, dia yang baru saja menyelesaikan pekerjaaan kantornya merasa penat sehingga tak lelap. Karena sulit tidur, dia hendak pergi ke dapur untuk membuat teh. Ketika melewati kamar anaknya, sepintas dia merasa merinding, dan tak lama kemudian terdengarlah suara teriakan putranya.

"Saya terkejut mendengar teriakan Dika. Akhirnya pintu saya dobrak, dan ternyata Dika sudah meninggal dengan kondisi seperti di foto itu" kata Ayahnya dengan perasaan sedih.

"Tapi, Om. Sudah cek ke dokter tentang kondisi Dika?" tanya Rangga.

Ayahnya diam sejenak. Dia mengambil laporan autopsi dari kepolisian.

"Ini hasil autopsinya. Polisi tak mengetahui pasti penyebab kematian Dika," kata Ayahnya sambil memberikan hasil autopsi itu

Rangga membacanya sejenak, lalu mengembalikannya.

"Ya sudah, Nak. Om dan Tante mau pulang dulu. Para tamu juga pada pulang," kata Ayahnya Dika.

Rangga hanya mengangguk. Kedua orang tua Dika beranjak pulang. Di sana tinggal Rangga dan Sandra. Mereka masih memandangi pusara sahabatnya seolah tak percaya dengan kepergian sahabatnya.

"San, gue udah denger cerita bokapnya Dika. Nanti malam gue akan ke Villa Roses untuk selesaikan ini," kata Rangga.

"Gue ikut, Ngga," kata Sandra.

Rangga berfikir sejenak. Dia teringat akan salah satu temannya yang seorang indigo.

"Oke, nanti kita berangkat dari rumah gue. Kita berangkat bertiga sama Ian," kata Rangga

"Ian? Ian anak kelas XI-E itu?" kata Sandra dengan wajah keheranan.

"Iya, gue yakin dia bisa bantu kita," balas Rangga.

Sandra hanya mengangguk. Mereka pun akhirnya pulang ke rumah masing-masing. Sementara itu, di Villa Roses Andre langsung menemui Mang Ujang.

"Jadi, cermin yang dulu pecah itu kini kembali lagi?" tanya Andre.

"Iya, Gan. Saya ingat, sekitar seminggu lalu ada anak SMA yang sewa villa kita. Nah dari beberapa anak SMA itu, ada yang iseng membuka selambu hitam yang menutupi cermin itu," kata Mang Ujang.

Andre terbelalak. Terbayang kengerian cermin tua itu.

"Lalu, Mang Ujang sudah mengingatkan mereka?" tanya Andre.

"Sudah atuh, Gan. Tapi, ada satu yang membandel. Saya tak tahu sih namanya. Dan sepertinya mereka justru bermain jelangkung di depan cermin itu," kata Mang Ujang menunjukkan boneka jaelangkung yang dia temukan.

Andre memandanginya. Dia menggelengkan kepalanya.

"Duuh! Anak ABG ini kelewatan. Kayaknya kita harus panggil Mori untuk bereskan masalah ini," kata Andre.

"Iya, Gan. Mori ternyata sudah tahu mengenai kejadian ini. Nanti sore malam dia kemari," kata Mang Ujang.

Andre manggut-manggut. Mang Ujang kembali meneruskan perkataannya.

"Agan, saya sudah sampaikan kejadian yang menimpa putri agan kemarin malam. Kata Mori, kejadian itu berkaitan dengan kejadian di Villa ini, tepat setelah anak SMA itu bermain jaelangkung," lanjutnya.

"Apa?!" kata Andre dengan wajah terkejut

"Iya, Gan. Makanya Mori segera pulang kemari," balas Mang Ujang.

Andre terdiam. Ada rasa khawatir pada Ersa dan Reny. Dia segera menghubungi Ersa dan berpesan untuk terus menjaga Reny.

Malam harinya, Rangga tengah bersiap untuk ke Villa Roses. Dia menyewa sebuah mobil yang terparkir di depan kosnya. Tak lama kemudian, Ian datang.

"Oke, gue akan bantuin kalian sebisa gue. Gue udah cek keberadaan Heri. Jujur, gue belum tentu sanggup bantuin Lo. Alam di sana ngeri bener," kata Ian.

"Udah, Bhro. Gak apa. Pokoknya, kalo lo gak sanggup jangan paksain diri. Gue gak mau lo atau siapapun jadi korban selanjutnya," kata Rangga.

Ian menggangguk. Mereka tengah menunggu Sandra. Dan, tak lama kemudian Sandra tengah berlari ke arah mereka. Dia tampak ketakutan.

"TOLONG!! TOLONG!!" teriak Sandra.

Rangga dan Ian terkejut. Mereka segera berlari menyusul Sandra yang ketakutan. Ian segera mengambil batu dan melemparkannya ke sebuah arah. Sandra yang ketakutan langsung memeluk erat Rangga.

"Ngga, gue di kejar hantu," kata Sandra di pelukan Rangga.

"Shhh ... tenang, San. Ada gue," kata Rangga menenangkannya.

Namun, Ian tampak tegang. Dia langsung mengeluarkan dua buah kalung dan memberikannya pada Sandra dan Rangga

"Kalian, cepat pake kalung ini. Mereka kembali datang," kata Ian.

Rangga dan Sandra segera memakai kalung benang itu.

"Oke, sekarang kita berangkat," ajaknya.

Rangga mengangguk. Mereka segera masuk ke mobil yang terparkir di depan kostnya Rangga dan langsung berangkat ke Villa Roses. Di tengah jalan, Ian akhirnya menceritakan sesuatu.

"Bhro, tadi yang ngejar Sandra itu hantu dari Villa itu. Gue sempat nerawang itu Villa. Dan, sumber petaka itu karena Heri iseng membuka selambu hitam di cermin itu," kata Ian.

Rangga mulai teringat kejadian itu. Dia ingat ketika Mng Ujang menegur Heri. Ian kembali melanjutkan ceritanya.

"Nah, Heri yang Lo pada lihat waktu pulang liburan itu bukan Heri Purnomo teman Lo, tapi sosok lain yang nyerupain Heri, teman Lo pada. Gue gak tahu detil sosoknya, tapi sosok itu pernah neror anak dari sebuah keluarga muda," lanjutnya

Sandra terkejut. "Jadi, bukan hanya kita yang di teror?"

"Iya, San. Ada sebuah keluarga yang anaknya di teror. Kalo dugaan gue ... kayaknya ada hubungannya sih dengan Villa ini," jawab Ian.

Sandra terdiam. Sementara Rangga fokus menyetir, Ian mencoba menangkal gangguan ghaib yang terjadi selama di tengah perjalanan.