Keesokan paginya, Rangga tampak lesu. Dia begitu pucat karena kurang tidur. Ketika hendak keluar dari kamarnya, dia di kejutkan dengan suara di hpnya. Sebuah panggilan masuk.
"Heri?" katanya dalam hati.
Rangga mengangkat telepon itu.
"Ya, Her. Lo ada di mana?" tanya Rangga merasa was-was.
"Ngga, tolong gue ... Tolong keluarin gue dari sini." Suara itu begitu ketakutan.
"Her, Lo ada di mana?" tanya Rangga dengan nada khawatir.
"Tolong gue, Ngga. To ...." Telepon pun terputus.
"Halo ... Halo ... Heri ...," kata Rangga dengan nada khawatir.
"Tuuuut ... Tuuut ... Tuuut." Terdengar telepon sudah putus. Rangga melihat layar di handphonenya. Dia keheranan. Dia buka log panggilan di handphonenya, ternyata tak ada apapun.
"Lho, kok seperti gak ada telepon masuk?" tanyanya dalam hati.
Rangga mengeceknya beberapa kali, dan memang tak ada panggilan masuk. Ketika akan menaruh handphonenya, mendadak kembali handphonenya berbunyi. Rangga mengambilnya, dan ada sebuah ada sebuah notif di What's Appnya.
"Pesan masuk?" katanya dalam hati.
Dia membuka What's Appnya. Dilihatnya sebuah video dikirim oleh Heri. Dibukanya file itu.
"Lho, ini kan di Villa Roses? Tapi kok berkabut?" katanya dalam hati.
Di video itu tampak penampakan zombie dan pocong yang seliweran. Karena ketakutan, Rangga langsung menghapusnya.
"Uhft! Ngeri banget sih videonya," katanya dalam hati.
Ketika tengah kebingungan, handphonenya kembali berbunyi. Dilihatnya ada telepon masuk. Dia menerimanya.
"Halo, ngga. Dika sudah di temukan. Dia meninggal di dekat sekolahan." Terdengar suara seorang wanita di balik telepon.
"Eh, yang bener Lo, San. Emang lo tahu darimana?" tanya Rangga.
"Udah deh. Lo datang kemari, ke rumah Dika sekarang. Gue sudah di sini. Buruan," kata gadis di balik telepon.
Rangga begitu shock mendengar kabar kematian temannya. Dia letakkan handphonenya dan duduk termenung. Dia kembali teringat akan acara rekreasi sekolah yang berbuah petaka itu.
--- Ingatan Rangga ---
Suatu pagi, tiga bus rombongan SMA tengah berpiknik ke puncak. Ketika itu, hotel telah penuh. Karena tak dapat hotel, akhirnya sang guru berinisiatif menyewa dua villa yang letaknya dekat dengan hotel.
Dua Villa di sewa oleh guru itu, termasuk Villa Roses. Sekitar lima belas siswa tinggal di dia Villa yang bersebelahan. Sembilan orang berada di Villa Roses, termasuk Rangga, Dika, Heri dan Sandra. Sedangkan sisanya di Villa yang ada di depan Villa Roses.
"Widiw, villa ini antik bener," kata Heri ketika berkeliling Villa.
Dia merekam keadaan Villa itu dengan hpnya sambil bergaya bak konten kreator. Sementara itu, Rangga tengah kebingungan mencari Heri.
"Dika, Heri kemana? Tuh anak cepet amat ngilangnya," kata Rangga yang tengah kebingungan.
Dika tersenyum simpul menanggapi perkataan Rangga.
"Ya elah, Lo kayak kagak tahu tuh anak. Kayak kentut. Kadang tiba-tiba ngilang, eeeh pas gak di arepin tahu-tahu nongol," kata Dika sambil tertawa.
Yang lainnya tertawa mendengar jawaban Dika.
"Yah, maklum, bhro. Dia mah terobsesi bikin konten," timpal Firman sang ketua rombongan.
Dan, ternyata tak lama kemudian Heri dan Sulis muncul. Kemunculan Heri kala itulah awal dari petaka liburan sekolah.
"Bhro, tadi gue jalan ke belakang Villa, dan di belakang gue temuin ada cermin tua yang udah pecah," kata Heri.
Rangga hanya nyengir menanggapi ucapan Heri.
"Nah terus kalo cermin itu pecah, Lo mau apain? Apa mau Lo loakin gitu?" balas Rangga.
"Ya kagak. Cuman, koq gue ngerasa creepy ya dengan cermin itu. Kayaknya ...," kata Heri yang tiba-tiba perkataannya terputus.
Mang Ujang tiba-tiba datang dan menegur Heri
"Mas. Mas tadi Yang buka gudang belakang kan?" kata Mang Ujang.
"Iya, Mang," jawab Heri singkat.
"Mas, tolong jangan buka gudang belakang. Bahaya. Dan semuanya, saya ingatkan. Jangan pernah datang ke gudang belakang. Tolong, dengarkan saya," kata Mang Ujang memperingatkan.
Semua siswa mengerti, kecuali Heri. Rasa penasarannya makin kuat. Dia kembali bertanya pada Mang Ujang.
"Mang, kita kan sewa. Terus, kenapa kita gak boleh ke gudang belakang itu?" tanya Heri.
"Anak muda, saya sayangi kalian. Dan kamu, sebaiknya jangan lancang membuka kain hitam di cermin itu. Percayalah, Nak. Cermin itu berbahaya," kata Mang Ujang.
Heri hanya tersenyum sinis menanggapi perkataan Mang Ujang. Dia berpura-pura percaya.
"Oke, saya tak akan menyentuh cermin itu lagi," kata Heri berpura-pura.
Mang Ujang tetap berbaik sangka. Dia langsung pergi dan meninggalkan mereka. Malamnya, Heri yang berambisi membuat diam-diam pergi ke gudang belakang
Dia nekat membuka gudang tua itu, dan membuka selambu hitam yang menutupi cermin itu. Dilihatnya cermin yang telah pecah itu.
"Emang apa sih seramnya cermin ini?" pikirnya.
Heri melihat beberapa serpihan cermin yang tercecer di dekatnya. Dia ambil satu serpihan yang besar, dan memandanginya. Namun, dia terkejut ketika melihat pantulan bayangan di cermin itu memandangi dirinya.
"Argh!" teriaknya tertahan sambil menjatuhkan serpihan cermin itu.
Anehnya, serpihan itu tak pecah. Dan, tiba-tiba dia dengar suara langkah kaki di belakangnya.
"Eh, siapa itu?" katanya dalam hati.
Heri menoleh ke belakang, dan tak ada apapun. Bukannya takut, Heri justru berfikir untuk bikin konten.
"Uhm, kayaknya konten hantu bisa viral," kata Heri.
Dia tersenyum manis. Heri segera menutup kembali gudang tua itu, dan tentu saja menutup kembali cermin yang pecah itu dengan selambu hitam. Namun, serpihan cermin yang tadi dia pegang tak tertutup selambu hitam.
Kenaehan pun mulai muncul. Sandra yang tengah tertidur tiba-tiba di kejutkan oleh ketikan pintu di kamarnya.
"Ya, siapa?" tanya Sandra yang masih mengantuk.
Tak ada jawaban. Sandra kembali tidur, namun tak lama kemudian ketukan kembali terdengar. Sandra yang emosi langsung bangun.
"Iiih, siapa sih malam-malam begini?" tanyanya dengan nada marah.
Ketika pintu di buka, ternyata tampak sosok tentara Jepang tengah membawa kepala seorang wanita. Wajahnya tampak pucat dengan senyum menyeringai.
"Kyaaa!!" Sandra menjerit dan langsung menutup pintu itu dengan keras.
Brak!! Pintu itu mengeluarkan suara keras dan membangunkan beberapa siswa yang tertidur.
"San, Lo kenapa?" tanya Reny.
"Iya, San. Kita kaget tahu," timpal Stefan yang tampak jengkel.
"Gue ... gue ... lihat hantu. Hantu tentara Jepang bawa kepala orang," kata Sandra terbata-bata.
Sontak mereka semua ketakutan. Mereka pun akhirnya tak bisa tidur. Keesokan harinya, ketika sore hari rombongan itu tengah berisitirahat di Villa Utama setelah berjalan-jalan di puncak.
Di ruang tamu, Sandra menceritakan pada Dika apa yang dia alami.
"Dik, semalem kita gak bisa tidur. Gue takut banget di villa ini," kata Sandra.
Dika menatap Sandra keheranan. Dia mengernyitkan dahi
"Lho, kenapa? Hawa di sini enak banget," kata Dika.
"Gue lihat hantu. Hantu tentara Jepang bawa kepala manusia," kata Sandra.
"Eh, yang bener Lo," kata Dika keheranan.
Dan kala itu, Rangga dan Heri mendekati mereka berdua. Secara tak sengaja, mereka mendengar cerita Sandra.
"San, Lo serius ngelihat hantu?" tanya Rangga.
"Iya, Ngga. Hantu tentara Jepang," kata Sandra.
Heri terkejut mendengar cerita Sandra. Dia akhirnya buka suara. Heri mengajak mereka bertiga ke suatu tempat.
"Tadi malem, gue ke gudang tua itu. Gue penasaran dengan cermin itu," kata Heri mulai bercerita.
Dengan suara lirih, Heri menceritakan perbuatannya malam itu. Dika dan Rangga terperanjat mendengar cerita Heri.
"Nah, gue makin penasaran Ama nih Villa. Gimana kalo nanti malam kita main jelangkung?" kata Heri.
Rangga menatap tajam Heri. .
"Heri, Lo jangan gila. Itu berbahaya tahu," kata Rangga.
"Ya kenapa takut? Bukannya Lo juga penasaran dengan villa ini?" balas Heri.
"Gue penasaran memang, tapi gue gak cukup gila kayak Lo buat main jaelangkung," balas Rangga dengan nada tinggi.
Heri sempat tersinggung dengan ucapan Rangga. Dia bangkit menatap Rangga dengan mata tajam.
"Owh, sejak kapan Lo jadi pengecut? biasanya Lo yang suka dengan konten misteri," kata Heri dengan nada tinggi
Rangga yang tak terima hendak memukul Heri, namun Dika mencegahnya.
"Sudah, sudah. Jangan berantem," kata Dika menengahi.
Mereka diam sejenak. Heri pun kembali mengutarakan niat gilanya. Dan, akhirnya Dika terbujuk oleh niat gila Hery. Rangga pun terpaksa mengikuti kemauan gila Heri
Tepat tengah malam, Rangga, Dika, Sandra dan Heri bermain jaelangkung di depan cermin tua itu. Setelah merapal mantra, sebuah kejadian luar biasa terjadi. Kilatan cahaya putih muncul membuka selubung hitam yang menutupi cermin itu. Cermin itu kembali terbentuk.
"Eh, cerminnya koq kembali bagus?" kata Heri sambil mendekati cermin itu.
Dan, secara tiba-tiba sebuah tangan menarik Heri masuk ke dalam cermin.
"Eh, tolong ... tolongin gue," kata Heri ketakutan.
Rangga dan Dika spontan berusaha menarik Heri, namun tenaga mereka tak kuat. Pegangan Heri terlepas dan tangan itu menghilang bersama Heri ke dalam cermin.
Rangga, Dika dan Sandra yang ketakutan langsung berlari keluar gudang itu dan menutupnya kembali. Mereka lari ke dalam Villa. Di Villa utama, Dika mendadak melihat Hery tengah duduk di teras.
"Oh, untunglah. Gue tadi sempat kalut ketika Lo masuk ke cermin itu, Her," kata Dika yang merasa lega.
Heri hanya diam. Sejenak, Dika merasa heran dengan perubahan sikap Heri, namun dibuangnya pikiran jelek itu. Dua hari berlalu, dan rombongan itu kembali ke Jakarta.
--- Ingatan Rangga ---
"Her, andai Lo kagak gila, Dika gak bakalan celaka," katanya dalam hati.
Rangga langsung tersadar. Dia segera bersiap untuk pergi ke rumah Dika.