Siang itu sepulang sekolah, Raymond langsung menuju ke SMA 52. Dia merasa perlu untuk menyelesaikan permasalahannya dengan Chika. Dia kebut motornya, dan taka lama kemudian, sampailah dia di depan gerbang sekolah Chika. Dengan sabar, dia menunggu di sana.
"Beruntung tadi ada rapat guru," katanya dalam hati.
Dilihatnya jam pada handphonenya. "Yah, gue musti nunggu satu jam lagi deh.Tapi gak apalah. Daripada masalah gue kagak kelar," katanya dalam hati.
Dilihatnya ada bangku kosong di depan gerbang. Dia langsung menggeser sepedanya di depan bangku, lalu dia duduk di sana. Dia ambil sebatang rokok dan menghisapnya. Sambil menghisap, dia termenung.
"Jujur, Chik. Setelah dua bulan tak melihatmu, gue ngerasa begitu kehilangan. Gue sadar, gue bukan cowok yang layak buat lo, tapi perasaan ini terus membayangi. Bagaimana caranya supaya gue kembali?" gumamnya dalam hati.
Raymond mengenang awal perkenalannya dengan Chika. Dia senyum-senyum sendiri mengenang kisah itu. Setengah jam berlalu. Tanpa dia sadari, Mayang yang akan mengunjungi Chika melihatnya. Mayang memandang Raymond yang tengah melamun. Dia langsung duduk di sebelahnya dan menepuk pundaknya.
"Ray, kok senyum-senyum sendiri?" sapa Mayang denga senyum simpul.
Raymond terkejut. "Eh, lo, May. Sejak kapan lo disini?"
Mayang tertawa lepas. "Hahahah. Sejak kapan? Udah sepuluh menit gue ngeliatin lo senyum-senyum sendiri. Lo lagi mikirin apa?"
Raymond hanya diam sambil tersenyum. Dia begitu gugup dan berusaha menutupi perasaannya. Mayang memandanginya dengan wajah keheranan.
"Ray, kok malah diam? Emang lo kenapa senyum-senyum sendiri? Bahaya lho. Nantikalau ketemu perawat kamu bisa diangkut."
"Ah, lo May. Ngedo'ain gue kok jelek amat sih?" balas Raymond.
"Nah lo, masak di tempat sunyi gini senyum-senyum sendiri. Lagian, ini kan tengah siang bolong. Hantu aja pada tidur, nah lo senyum sama siapa?" kata Mayang sambil tersenyum.
"Ah, lo itu, May. Kepo aja. Gue tadi lihat semut lagi manten tuh di depan sono," balas Raymond sekenanya sambil menunjuk ke tanah.
Mendengar jawaban Raymond, Mayang langsung tertawa lepas.
"Ya elah, Ray. Lo itu selalu aja ngocol. Gue sampai sakit perut nih dengar lelucon lo," balas Mayang sambil tertawa dan memegangi perutnya.
Raymond hanya nyengir dan berkata, "Udah, anggap aja obat sakit perut."
Mereka berda tertawa lepas. Sambil menunggu siswa SMA 52 pulang, mereka bercakap-cakap setelah lama tak berjumpa. Mereka menceritakan pengalaman masing-masing. Tampak keakraban diantara mereka. Tanpa terasa, setengah jam berlalu. Perlahan, gerbang sekolah Chika mulai di penuhi para siswa yang hendak pulang. tampak Chika berjalan sendirian. Raymond dan Mayang langsung bangkit dan mendatanginya.
"Ray, lo lagi. Ngapain kemari?" tanya Chika dengan nada ketus.
Mayang yang hendak menemui Chika terkejut. Dia memandang Chika seolah tak percaya.
"Baru kali ini aku lihat Chika begitu marah. Kasihan Raymond," katanya dalam hati.
"Chik, gue kemari mau selesaikan permasalahan kita. Please, jelasin kenapa lo semarah itu sama gue. emang, apa salah gue ke lo,Chik? tolong, lo jelasin sekarang," kata Raymond.
Chika menatap Raymond dengan tatapan tajam. "Apa? Lo masih bahas masalah remeh itu?"
Chika tersenyum sinis sambil menggelengkan kepalanya.
"Lo gak berubah ya. Sudah deh. Lo jangan buang-buang waktu lo buat nanyain hal yang gak penting itu, Ray. Sudah, pergi dari sini!" kata Chika dengan nada marah.
"Tapi, Chik. Gue …" ucapan Raymond langsung di putus Chika.
"Pergi gue bilang!" bentak Chika dengan wajah marah.
Rupanya kemarahan Chika menarik perhatian sebagian siswa yang ada di depan gerbang. Mayang yang merasa iba melihat Raymond langsung maju dan menengahi pertikaian itu.
Dia dekati Raymond dan berkata dengan suara lirih. "Ray, lo sebaiknya pergi dari sini sebelum masalah jadi rumit."
Raymond sejenak memandangi Chika. Dia berusaha menahan amarahnya.
"Oke, gue akan pergi dari hidup lo. Anggap aja kita gak pernah saling kenal," kata Raymond dengan wajah kecewa.
Dengan langkah gontai, dia berjalan ke tempat motornya di parkir. Dia langsung menyalakannya dan tancap gas. Di tengah kemarahannya, diam-diam Chika memandangi kepergian Raymond. Wajahnya tampak sedih. Setelah Raymond pergi, Mayang langsung mendekati Chika.
"Chik, kita jalan yuk," ajak Mayang.
Chika hanya mengangguk. Mereka berdua berjalan ke sebuah café terdekat. Di sana, mereka langsung duduk dan memesan minuman.
"Chik, tadi kenapa sih, kok lo begitu marah? jujur, gue belum pernah ngeliat lo semarah itu," kata Mayang.
"Entahlah, May. Gue berusaha ngelupain Raymond," katanya singkat.
Mayang diam sejenak. Dilihatnya, Chika masih tampak murung. Dan, tak lama kemudian datanglah minuman yang mereka pesan. Mereka berdua langsung meminumnya.
"Uhm, seger banget nih," kata Mayang berusaha berbasa-basi.
Chika hanya diam sambil menikmati minuman di depannya. Mayang kembali mencoba membuka pembicaraan, namun dia kebingungan. Sejenak dia berfikir, dan akhirnya teringat akan tempat bimbel barunya Chika.
"Chika, bagaimana tempat bimbel lo yang baru?" tanya Mayang.
Sambil menikmati minumannya, Chika membalasnya. "Ya, lumayan sih. Gue betah di sana, dan enaknya gak jauh dari sekolahan gue."
Mayang tersenym simpul. "Syukurlah kalau lo betah di sana."
Di tengah percakapan, tiba-tiba Dandy muncul. Dia langsung mendekat ketika melihat Chika dan Mayang.
"Chika?" sapanya.
Chika berusaha tersenyum. "Dandy, lo ada kelas hari ini?"
"Iya, Chik. Gue ambil kelas matematika hari ini, soalnya mau Ujian Akhir," jawab Dandy sambil duduk di meja yang sama.
Chika manggut-manggut. "Eh, Dandy. Kenalin nih, temen gue, Mayang."
Mayang tersenyum ramah. Mereka berkenalan. Dandy langsung memesan minuman. Sambil menunggu, mereka kembali terlibat dalam sebuah percakapan ringan.
Sementara itu, di sebuah taman Raymond duduk termenung. Dia hanya diam sambil memandangi anak seusianya yang tengah pacaran di taman itu.
"Ya ampun, apakah ini rasanya cinta? Kenapa cinta justru membuatku kehilangan teman?" tanyanya pada diri sendiri.
Dia kembali menghisap rokoknya. Di tengah lamunannya, Ferry tiba-tiba muncul. Dia menyapanya.
"Lho, bukannya kamu yang … sering sama Chika?" sapanya tiba-tiba.
Raymond terkejut. Dia berusaha mengingat-ingat cowok di depannya. Ferry hanya tersenyum memandangi ekspresi Raymond.
"Hayo, coba lo ingat-ingat. Masak lupa?" katanya sambil tertawa.
Raymond berfikir keras. Setelah agak lama, akhirnya dia ingat.
"Owh, Kak Ferry, cowoknya Mayang kan?" kata Raymond menebak.
Ferry tersenyum. Dia langsung duduk di sebelah Raymond.
"Ray, ngapain lo di mari sendirian? Bukannya lo ada kegiatan?" tanyanya.
Dengan senyum yang di paksakan, Raymond menjawab, "Gue agak malas sebenarnya. Mood gue mendadak hilang."
Ferry tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Emang apa sih yang buat mood lo mendadak hilang gitu?"
Sejenak, Raymond terdiam. Dia kembali menghisap rokoknya, dan menghembuskannya kuat-kuat. Pandangannya jauh ke depan.
"Jujur, Kak. Sejak kenal Chika, gue sebenarnya ngerasa kayak ada yang ngisi kekosongan gue. Padahal, awal kenal dia aja gue lebih banyak korban perasaan gitu," jawab Raymond.
Ferry mengernyitkan dahinya. "Oh ya? Coba bagaimana hubungan lo dengan Chika selama ini." Katanya sambil tersenyum.
Raymond diam sejenak. Dia kembali menghisap rokoknya, dan menghembuskanya kuat-kuat. Setelah itu, dia akhirnya mulai menceritakan pertemanannya dengan Chika. Ferry tampak tertawa renyah ketika dia menceritakan awal perkenalannya dengan Chika. Panjang lebar dia ceritakan kenangan manisnya bersama Chika. Setelah selesai, dia buang putung rokok yang telah habis.
"Itulah kisah indahku dengan Chika. Juju raja, Kak. Baru kali ini gue ngerasa kehilangan seorang wanita. Padahal, di awal gue banyakan sebelnya ama tuh anak. Udah bawelnya selangit, posesifnya luar biasa," keluhnya menutup ceritanya.
Ferry tersenyum. Dia berkata, "Raymond … raymond. Lo ini polos banget. Lo tahu kenapa Chika begitu posesif, terutama kalau lo jalan ama cewek. Dia itu cinta sama lo. Dia cemburu kalau lo sama cewek lain."
"Cemburu? Gue bukan tipe cowok yang pas buat dia, Kak. Dia cantik, pintar. Banyak lah cowok yang jauh lebih sesuai dengan dia, dan pastinya bukan gue," balas Raymond.
Ferry menepuk pundaknya. Dia kembali tersenyum simpul.
"Ray, cinta kadang tak memandang siapa lo. Cinta itu masalah hati, dan itu gak ada kriteria yang pasti. Selama lo bisa mengetuk hatinya, dia pasti akan memilih lo," katanya menjelaskan.
Mendengar ucapan Ferry, Raymond terdiam. Wajahnya kembali murung. Ada penyesalan di wajahnya.
"Raymond, jangan sedih. Jalanmu masih panjang. Jika memang Chika jodohmu, dia pasti akan kembali kepadamu. Tetap semangat ya. Jangan kendor," kata Ferry memberi semangat.
"Tapi, Kak. Tadi gue mau clearkan masalah ini, tapi nyatanya dia anggap gak penting. Gue kecewa banget. Dan yang lebih menyakitkan, gue gak bisa ngelupian dia," balas Raymond dengan nada sedih.
Ferry tetap tenang menanggapi perkataan Raymond. Dia kembali menepuk lembut pundaknya.
"Begini saja, Ray. Lo gak bakal bisa lupain Chika. kenangan lo begitu indah dan akan terus ada di hati lo. Jadi, buatlah itu sebagai kekuatan untuk belajar saja. Lo ingat kan apa aja yang dia lakuin untuk ngebantu lo?" kata Ferry sambil memandangi Raymond.
Raymond hanya mengangguk. Ferry melanjutkan perkataannya.
"Nah, mendingan saat ini lo fokus aja buat Ujian Akhir Semester. Lo belajar dulu saja. Dengan lo memaafkan dia, lama kelamaan lo bisa kok move on dan melanjutkan hidup lo," lanjutnya.
Kali ini Raymond terdiam. Dalam hati, dia membenarkan ucapan Ferry. Keceriannya kembali muncul.
"Thanks, Kak atas nasehatnya," kata Raymond yang sudah tenang.
"Iya, Ray. Sama-sama," balas Ferry singkat.
Mereka sejenak terlibat perbincangan. Rupanya, Ferry hendak pergi mencari buku. Dan, tak lama kemudian mereka berdua beranjak dari taman itu. Raymond pergi ke lokasi bimbel dan Ferry pergi ke toko buku.