Waktu terus berjalan. Raymond yang kelelahan berusaha keras untuk konsentrasi, namun pelajaran yang begitu sulit akhirnya tetap membuatnya tak mengerti. Dia tampak beberapa kali mengenryitkan dahinya.
'Waduh, ini matematika makin sulit aja sih?" keluhnya dengan nada jutek.
Kendati kesulitan berkonsentrasi, Raymond mencatat semua materi pelajaran itu. dan, tanpa terasa waktu istirahat pun tiba. Semua siswa berhamburan keluar dari kelas. Raymond yang merasa jenuh buru-buru keluar kelas. Chika yang melihatnya mengejarnya.
"Ray, lo kok buru-buru?" tanya Chika.
'Uhm, Chik, gue suntuk nih. Gue mau keluar bentar," kata Raymond.
Melihat wajah Raymond yang tampak lesu, Chika menyadarinya. Namun, dia sempat memegang tangan raymond.
"Ray, jangan lama-lama ya. Please," kata Chika.
Raymond hanya mengangguk. Dia langsung beranjak keluar dan langsung pergi ke warung kopi di sebelah tempat bimbel. Dia memesan secangkir kopi.
"Ugh! Sial. Hari ini gue bete bener. Mana matematika makin sulit? Nasib jadi anak bego," keluhnya dalam hati.
Dia mencoba membuka catatannya, namun dia tetap tak mengerti. Karena pusing, Raymond mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Dia hanya diam sambil menunggu kopi pesananya datang. Dan, setelah agak lama kemudian datanglah kopi pesanannya. Dia nikmati kopi itu sambil menghisap rokoknya dalam-dalam. Agak lama Raymond di warung itu. Dia seolah begitu menikmati suasana kesendirianya tanpa menyadari jam istirahat habis. Padahal, dia baru meminum setengah dari kopinya. Dia nikmati rokok yang dia hisap.
Tanpa di duga, Chika ternyata juga datang ke warung itu. Rupanya, Chika begitu khawatir karena Raymond belum kembali juga kendati jam istirahat akan habis. Ketika melihat Raymond merokok, Chika begitu kecewa. Dengan wajah marah, dia dekati Raymond dan merampas rokok yang dia hisap, lalu menghempaskannya ke tanah.
"Raymond! Kenapa kamu merokok?!" kata Chika dengan nada marah.
Raymond terkejut. Dia tak menyangka Chika begitu marah melihatnya merokok. Dengan wajah marah, Chika kembali berkata kepada raymond.
"Raymond, lo mau jadi apa kalau diri lo sendiri gak lo sayangi?" bentaknya dengan nada tinggi.
Raymond memandangi sekitarnya. Rupanya, pertengkaran itu menjadi perhatia beberapa pembeli di warung itu. Raymond hanya menggelengkan kepalanya.
"Chika, apa-apaan sih kamu? Malu dong dilihat orang," kata Raymond berusaha bersabar.
"Ray, gue gak nyangka lo ternyata membunuh diri lo sendiri. Dan asal lo tahu, gue benci perokok, Ray. Gue benci lo!" kata Chika dengan wajah kecewa.
Dia langsung beranjak keluar tanpa berkata-kata lagi. Raymond yang sudah kepalang jadi pusat perhatian akhirnya membayar kopi itu dan langsung beranjak dari warung itu. Dia kejar Chika yang berjalan cepat.
"Chika. Tunggu. Kenapa sih lo marah lihat gue merokok?" tanya Raymond dengan nada tinggi.
Chika menepis tangan raymond. Dia pandangi Raymond dengan wajah marah.
"Raymond. Tinggalin gue sendiri! Gue muak ama lo!" bentaknya sambil berlalu.
Chika memepercepat langkahnya dan tak memperdulikan Raymond yang tertegun. Dia langsung pergi ke toilet dan menangis.
"Ray! Gue sayang sama lo. Kenapa sih lo harus begitu? Kenapa ray? Kenapa harus lo? Kenapa?!" teriaknya dalam kamar mandi.
Chika memandangi wajahnya yang berurai air mata di pantulan kaca toilet itu.
"Kenapa harus kamu, Ray? Kenapa bukan cowok lain yang mengetuk hatiku?" lanjutnya sambil menyeka air matanya.
Chika tak dapat menahan kekecewaannya. Agak lama dia di toilet itu. Dia tumpahkan segala kekecewaannya pada raymond. Dan, setelah dia merasa lega, dia kembali ke kelas. Namun, melihat Raymond mendadak kekecewaannya kembali muncul. Dia sama sekali tak berbicara pada Raymond. Waktu terus berjalan, namun bagi Chika waktu itu begitu menyiksanya.
"Uhft! Gue udah gak mood ikut bimbel ini. Jujur, gue kecewa ama nih anak," keluhnya dalam hati.
Dan, ketika jam pulang tiba, Chika tanpa berbicara langsung keluar kelas. Raymond yang berjanji mengantarnya pulang mengejarnya.
"Chika, tunggu. Gue anterin lo pulang," kata raymond sambil memegangi tangan Chika.
"Ray, lepasin gue! Biarin gue sendiri!" bentak Chika sambil menepiskan tangannya.
Raymond tak menyerah. Dia kembali mengejar Chika.
"Chika, gue mungkin salah. Tapi maafin gue, Chik. ayolah, gue anter lo pulang," bujuk Raymond.
Chika tak menggubris. Dia tetap berjalan ke tepi jalan dan mencegat angkot. Tanpa memperdulikan Raymond, Chika langsung naik angkot itu dan pulang. Raymond hanya terpana melihat sikap Chika yang begitu marah. Dengan langkah gontai, dia berjalan ke parkiran motor. Uji yang melihat Raymond berjalan sendirian menyapanya.
"Lho, Ray. Kok, tumben lo sendirian? Chika kemana?" tanya Uji.
"Yah, dia pulang, Ji. Gue kagak tahu kenapa dia ngambek?" kata Raymond sambil memakai helmnya.
Uji memandanginya dengan wajah heran.
"Ngambek? Chika beneran ngambek?" tanyanya keheranan.
"Iya. Kalau kagak ngambek kagak mungkin dia ninggalin gue sendiri," jawab Raymond.
Uji manggut-manggut. Dia tepuk pundak Raymond. Dia tenangkan raymond.
"Udah, Ray. Tenang aja. Nanti suatu saat lo bakal tahu jawabannya. Dan, kalau dia jodoh lu, kagak kemana," kata Uji menghibur Raymond.
Raymond tersenyum simpul. "Ya elah, Ji. Kita masih SMA, kok bicara jodoh-jodohan segala. Apa jangan-jangan lo punya cita-cita buka biro jodoh ya?"
Uji tertawa menaggapi perkataan Raymond. Dia balas perkataan raymond dengan santai.
"Iyalah. Gue mau buka biro jodoh aja deh kayaknya. Biro jodoh sapi," katanya sambil tertawa lepas.
Mereka berdua tertawa renyah. Setelah berbincang-bincang sejenak, mereka berdua langsung memacu motornya untuk pulang ke rumah masing-masing.
Sementara itu, sesampainya di rumah, tanpa bicara Chika langsung masuk ke kamar. Dia kunci pintu kamarnya. Di dalam kamarnya, Chika kembali menangis. Dia begitu sedih dan kecewa dengan kejadian sore tadi.
"Gue benci, Raymond. Gue benci lo!" kata Chika di tengah tangisnya.
Chika seperti kehilangan semangat. Dia hanya berbaring sambil menangisi nasibnya. Setelah tangisnya reda, dia mengambil handphonenya dan menghubungi Mayang. Agak lama Chika menunggu hingga akhirnya Mayang menerima panggilannya.
"Halo, Chik," jawab Mayang dari balik telepon.
"May, gue mau akhiri sayembara kita. Lo menang, May," kata Chika.
Di kamarnya, Mayang terkejut mendengar perkataan Chika. Dia terdiam seolah tak percaya dengan apa yang di dengarnya.
"Chik, waktunya masih panjang. Nah ini aja masih UTS. Belum juga Ujian Akhir dan Ujian negara," kata Mayang dengan nada heran.
"Nggak, May. Gue mau akhiri taruhan ini. Gue ngaku kalah," kata Chika.
"Chik, kok lo udah nyerah? Tumben?" bals Mayang keheranan.
Terdengar Chika menghela nafasnya. Dia diam sejenak, dan akhirnya kembali berbicara.
"May, gue gagal buat Raymond jatuh cinta ke gue," kata Chika melalui teleponnya.
Mendengar perkataan Chika, Mayang tersenyum.
"Chika, gue juga gagal. Kedok gue terlanjur kebuka. Tapi kan ini masih draw. Lo masih ada waktu," kata Mayang meyakinkan.
"Enggak, May. Lo menang. Dan asal lo tahu, gue mulai jatuh cinta. Dan, gue sayang raymond. Tapi, gue hari ini kecewa kepadanya," kata Chika melalui telepon.
Mayang terperanjat. Dia terdiam seolah tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Chika kembali melanjutkan ceritanya.
"Lo tahu, May. Pertama gue kenal dia, gue ngerasa dia ini konyol, dan jauh dari kriteria gue. tapi, setelah beberapa lama mengenalnya, ternyata dia berhasil mengetuk hati gue," lanjutnya.
Chika terdiam sejenak. agak lama Chika terdiam. Sayup-sayup, Mayang mendengar suara tangisan Chika melalui telepon.
"Chik. lo nangis? Kenapa, Say?" tanya Mayang.
Chika tak menggubrisnya. Dia berusaha menahan isak tangisnya. Dan, akhirnya dia kembali berbicara.
"May, gue selalu cemburu melihat Raymond akrab dengan cewek lain. Gue selalu jealous ngeliat Raymond akrab dengan Rita, dan lo tahu, gue takut kehilangan dia, May. Gue pingin nyatakan cinta gue, tapi hari ini dia buat gue kecewa, May. Lo tahu, gue begitu sayang pada Raymond, tapi dia malah merusak tubuhnya sendiri dengan rokok. Gue sedih, May. Mengapa orang yang gue sayangi melakukan hal yang gue benci?" katanya di tengah tangisnya.
Mayang begitu sedih mendengar perkataan Chika. Dia begitu terharu, dan tanpa terasa dia teteskan air mata mendengar cerita Chika. Sesekali, mayang mengusap air matanya.
"Oke, Chika. Gue setuju untuk mengakhiri sayembara ini. Dan, lo gak perlu beri gue apapun, Chik. gue ngehargai perasaan lo. Lo adalah teman terbaik gue, Chik," kata Mayang.
"May, gue udah hilang semangat. Gue udah malas sekarang," kata Chika.
"Chika. Jangan patah arang. Lo musti bangkit dan terima kenyataan. Tak ada manusia sempurna di dunia ini. Lo musti kejar cita-cita lo," kata Mayang berusaha menenangkan sahabatnya.
Chika terdiam. Mayang kembali memberi motivasi pada sahabatnya.
"Chika, setiap manusia pasti ada kekurangan. Nah, dengan kejadian ini, lo musti bangkit kejar cita-cita lo. Apapun caranya, lo musti buat orang tua lo bangga. Tetap semangat, Say. Tenanglah, mungkin saat ini lo belum bisa terima kelemahan raymond, tapi kalau dia jodoh lo, pasti lo akan mengerti dan bisa menerimanya. Tetap semangat, Say," lanjutnya.
Sejenak, Chika terdiam. Agak lama Chika terdiam. Merasa Khawatir, Mayang kembali membuka percakapan.
"Halo, Chik. lo masih on kan?" sapa Mayang.
"Oh, Uhm … iya. Gue masih on kok," balas Chika.
"Oke. Tetap semangat, Say. Maaf, kalau tadi gue terlalu menggurui lo," kata Mayang.
"Enggak, May. GUe justru sangat berterima kasih atas nasehat lo. Dan, lo memang sahabat terbaik gue. terima kasih banyak, May," balas Chika.
"Sama-sama, Say. Tetap semangat ya. Uhm, hari udah malam, nih. Gue mau tidur dulu ya," kata Mayang berpamitan.
"iya, gue juga udah ngantuk. Good nite, May," balas Chika melalui telepon.
Mayang membalasnya, dan langsung menutup teleponnya. Dia langsung berbaring, dan terlelap.
Di kamarnya, sejenak Chika menrenungi perkataan Mayang. Dia tersadar bahwa memang taka da manusia yang sempurna. Karena masih kecewa dengan Raymond, dia putuskan untuk lebih fokus mengejar cita-citanya.
"Oke, sebaiknya gue kejar cita-cita gue dulu. Mungkin, baiknya gue putusin untuk pindah bimbel aja, demi ngeluain Raymond," katanya dalam hati.
Malam makin larut, dan Chika pun akhirnya terlelap.