Di hari yang sama, Chika berusaha menjalani hari-harinya. Dia tampak ceria. Namun, keceriaan itu ternyata semu. Ketika tiba saatnya pulang sekolah, dengan langkah gontai, dia berjalan ke depan gerbang sekolah. Entah apa yang terjadi, diam-diam dia memperhatikan sebuah tempat di mana Raymond biasanya menunggunya. Ingatannya pada Raymond kembali muncul. Dia duduk termenung di sebuah bangku di depan gerbang sekolahnya.
"Ya Tuhan. Kenapa setiap di sini gue teringat dia? Kenapa gue mikirin dia?" tanyanya dalam hati.
Windy yang melihatnya tersenyum simpul. Dia dekati Chika dan merangkulnya.
"Ciye …, kok bengong gitu sih?" katanya tiba-tiba.
Chika terkejut. Dia tersenyum sambil berusaha menyembunyikan kebimbangannya.
"Ihh, apaan sih? Lo ini selalu aja kepo, macam wartawan aja," balas Chika.
Windy balik bertanya. "Ya elah, Chik. tadi lo ceria, sekarang lo galau. Emang, apaan sih yang buat lo galau?"
"Enggak. Gue gak galau …" Chika terkejut ketika melihat Raymond yang kebetulan melintas di depan sekolahnya.
Chika terdiam. Wajahnya tampak cemberut sambil terus mengamati Raymond yang ternyata berboncengan dengan Shely. Windy keheranan melihat ekspresi wajah Chika.
"Chik, lo kenapa?" tanyanya keheranan.
Chika tak merespon. Dia hanya diam sambil memandangi Raymond yang makin menjauh. Windy melambaikan tangannya di depan Chika. Saat itulah dia tersadar.
"Oh, uhm … gue … gue baik-baik saja, Win," kata Chika dengan nada gugup.
"Ehem, kok gue gak yakin ya kalau lo baik-baik aja. Tuh tadi lo bengong seperti beo lagi ompong," balas Windy sambil tertawa.
"Idih! Pakai beo segala. Udah ah, gue mau ke tempat bimbel yang baru. Bye," kata Chika yang berniat pergi.
"Iya, hati-hati di jalan," balas Windy.
Chika segera bangkit dan berjalan ke suatu tempat. Sepeninggal Chika, Windy hanya mengglengkan kepalanya sambil tersenyum. dan tak lama kemudian, dia beranjak dan pulang ke rumahnya.
Sementara itu, di sebuah cafe, Raymond dan Shely tengah menikmati minuman di depannya. Sambil menikmati minuman itu, mereka berbincang-bincang.
"Shel, jujur aja. Aku tiba-tiba teringat Chika. Walau bawelnya bintang tujuh, gue ngerasa ada yang mengisi ruang di hati gue. Gue heran, apa sih istimewanya dia?" kata Raymond sambil menggelengkan kepalanya.
Shely tersenyum. "Ray, terkadang cinta itu buta. Gak selalu yang tampak sempurna itu sesuai dengan keinginanmu."
Shely meneguk minuman di depannya, dan kembali berkata,"Ray, lo musti paham, sempurna itu relatif. Apa yang lo anggap sempurna belum tentu sempurna di mata orang lain. Sama halnya dengan cantik. Cantik itu relatif."
Raymond manggut-manggut. Shely tersenyum getir. Dalam hatinya, dia merasa kecewa karena pria yang dia kejar-kejar selama ini justru mencintai cewek lain.
"Ray, kenapa lo kagak jujur saja kepadanya?" tanya Shely.
"Uhm … gimana ya. Gue gak pede, Shel," balas Raymond.
Shely mengernyitkan dahinya. "Gak pede? Ya elah, Ray. Kok bisa begitu?"
"Ya kalau masalah cinta, gue emang agak kurang pede gitu, Shel," kata Raymond.
"Oke, gue ngerti. Tapi, biar bagaimanapun, lo musti berani, Ray. Tapi, mungkin saat ini belum tepat sih buat pacaran. Mungkin, lo musti fokus dulu ke sekolah dan karir lo. Nanti ada kok saatnya lo bisa percaya diri di depan wanita," balas Shely.
Raymond terdiam. Dalam hatinya, dia menilai pendapat Shely benar.
"Shel, terima kasih atas nasehat lo. Gue akan coba untuk fokus mempersiapkan ujian akhir," kata Raymond setelah merasa tenang.
Shely tersenyum dan mengangguk. Mereka segera menghabiskan minuman di depannya dan langsung pergi ke bengkel tempat motor Shely di perbaiki. Tak lama kemudian, sampailah mereka di bengkel motor. Motor Shely sudah selesai di perbaiki.
"Ray, makasih ya lo udah anter gue ke bengkel," kata Shely.
"Iya, Shel. Sama-sama. Lo juga udah nasehatin gue. oke, gue langsung cabut, Shel," kata Raymond.
"Iya, Ray. Hati-hati di jalan," balas Shely.
Raymond langsung menyalakan motornya dan beranjak pergi dari bengkel itu. Sepeninggal Raymond, Shely langsung membayar biaya servis, dan membawa pulang motornya.
Sore hari telah tiba. Chika tengah mengikuti kegiatan belajar mengajar di bimbel yang baru. Dia tampak begitu antusias mengikuti kegiatan belajar mengajar di sana. Dan, waktu terus berjalan. Tanpa terasa, bimbel berakhir, Chika berniat langsung pulang. Ketika berjalan sendirian, tiba-tiba seorang cowok teman sekelasnya mendekatinya.
"Hai, kenalin. Gue Dandy," katanya sambil menjulurkan tangannya.
Sejenak, Chika memandanginya. Namun, dia tersenyum dan membalas juluran tangan cowok itu.
"Gue Chika," jawabnya singkat.
Dandy sedikit gugup, namun dia berusaha tenang.
"Uhm, lo dari SMA mana? Gue dari SMA 70," katanya berbasa-basi.
"Owh, gue di SMA 52," kata Chika sambil melihat angkot yang berhenti.
Buru-buru Chika berpamitan, dan langsung berlari kea rah angkot yang berhenti. Dia langsung naik angkot itu, dan pulang menuju rumahnya. Dandy hanya tersenyum memandangi Chika.
"Uhm, cewek tadi cakep, dan smart. Kayaknya tuh cewek asyik di ajak ngobrol," katanya dalam hati.
Dandy langsung beranjak ke parkiran motor dan langsung pulang ke rumahnya. Ketika hari mulai petang, Chika sampai di rumahnya. Dia terkejut ketika melihat Mayang sudah menunggunya.
"Mayang?" sapa Chika.
"Iya, Chik. Gue mau pinjam ensiklopedia kimia. Ada tugas yang harus selesai besok," kata Mayang.
Chika mengangguk. "Oke, lo tunggu bentar ya. Gue ambil tuh bukunya."
Mayang mengerti. Chika langsung masuk ke kamar, dan berganti pakaian. Tak lama kemudian dia keluar membawa buku tersebut. Dia berikan buku itu pada Mayang.
"Thanks, Chik," kata Mayang.
"Iya, sama-sama," balas Chika.
Sejenak mereka terlibat dalam sebuah percakapan ringan. Ketika hari beranjak malam, Mayang pamit pulang. Setelah Mayang pulang, Chika kembali termenung. Dia kembali teringat akan Raymond. Dia pandangi sejenak pagar rumahnya. Dia teringat masa indahnya ketika dekat dengan Raymond.
"Ah, kenapa sih gue selalu aja ingat dia. Gimana sih cara ngiangin bayangan Raymond dari hati gue?" keluhnya dalam hati.
Chika berfikir sejenak. Ketika tengah berfikir, dia di kejutkan dengan suara di hpnya. Chika segera tersadar. Dia langsung masuk ke dalam dan menutup pintu rumahnya. Dia buka hpnya, dan ternyata ada sebuah pesan masuk. Wajahnya begitu jengkel.
"Ya elah, nih anak panjang umur juga. Baru gue pikirin, tahu-tahu dia kirim pesan," katanya dalam hati sambil membaca pesan dari Raymond.
Perasaannya berkecamuk. Di satu sisi, dia begitu gembira menerima pesan dari raymond, namun rasa gengsi pada dirinya begitu kuat. Ada perasaan bimbang yang dia rasakan.
"Gue balas gak nih pesan dari dia?" tanyanya pada diri sendiri.
Chika berfikir. Ketika tengah berfikir, ibunya menepuk pundaknya.
"Eeh, anak mami ini kok melamun? Ayo makan malam. keburu dingin lho," kata ibunya.
Chika begitu gugup. "Oh, uhm … i—iya, Ma."
Chika langsung beranjak. Dia menuju ke meja makan dan melahap makan malamnya. Di waktu yang sama, Raymond berulang kali memandangi layar hpnya. Dia lihat pesan whats appnya tak di balas Chika.
"Uhm, dia masih ngambek. Okelah, mungkin dia butuh waktu. Suatu saat gue akan temui dia," katanya dalam hati.
Raymond menaruh hpnya di tempat tidur. Dia bangkit dan mulai membuka buku pelajarannya. Dia begitu fokus belajar. Semua tugas sekolahnya dia selesaikan malam itu juga. Dan, setelah hari makin malam, selesailah tugasnya. Raymond mempersiapkan buku pelajarannya sebelum dia tidur malam itu.
Dua bulan berlalu. Prestasi belajar Raymond mengalami peningkatan, walau tak bisa dikatakan berprestasi. Perlahan, nilai merah pelajaranya mulai membaik. Di tempat bimbel pun, dia lebih fokus dalam belajar. Sementara itu, di tempat bimbel yang baru, Chika begitu akrab dengan Dandy. Tak jarang Dandy mengirim pesan ke Chika melalui whats app walau hanya sekedar menyapa.
Siang itu, Raymond kembali teringat Chika. Sudah lama dia tak bertemu, ataupun berikirm pesan. Perasaan rindunya kembali muncul. Dia termenung di parkiran motor.
"Sudah dua bulan gue gak lihat Chika. Kenapa perasaan gue begini ya?" tanyanya dalam hati.
Shely yang melihat Raymond termenung menepuk pundaknya.
"Heleh-heleh, lagi galau ya?" sapa Shely.
Raymond terkejut. "Oh, kamu, Shel. Bikin jantung gue mo keluar aja,"
Shely tertawa renyah. "Ya elah, Ray. Udah, jangan ngelamun. Yuk, pulang."
"Iya, tuan putri. Nih gue lagi mau pulang," kata Raymond dengan bercanda.
Shely hanya tersenyum simpul. Raymond segera menyalakan motornya. Dia mengucapkan kata perpisahan pada Shely sebelum akhirnya pergi.
"Raymond … raymond," katanya dalam hati sambil tersenyum memandangi Raymond yang makin menjauh.