Sore itu, Raymond tampak merasa kesepian, namun dia berusaha untuk mengikuti proses belajar mengajar di kelasnya. Waktu yang seolah berjalan lambat itu begitu menyiksa perasaannya. Dan, akhirnya petang pun tiba. Proses belajar mengajar pun selesai. Raymond berjalan gontai kea rah parkiran motor. Dia nyalakan motornya dan beranjak dari lokasi bimbel.
Ketika di lampu merah, Raymond kembali termenung. Dia berusaha menghilangkan perasaan kesepiannya, namun tak bisa.
"Kenapa ya, gue ngerasa kesepian setelah lo gak di situ, Chik? kenapa harus begini?" katanya dalam hati.
Lampu sudah mulai hijau, namun Raymond tetap berhenti. "Tiiin" terdengar suara klakson di belakangnya. Suara itu begitu nyaring sehingga membuatnya kaget. Raymond yang sempat kehilangan fokus langsung tancap gas dan pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah, dia langsung masuk kamarnya dan meletakkan tas sekolahnya. Diambilnya handphone, dan mengirim pesan pada Chika. Namun, kekecewaanya muncul tatkala pesan itu tak berbalas. Berulang kali Raymond mengirim pesan, namun tetap tak ada balasan dari Chika.
"Yah, pakai acara di ngambek segala. Ya elah, Chik, salah apa sih gue? Kenapa lo segitunya ngambek ke gue?" gumamnya dalam hati.
Sementara itu, di waktu yang sama Chika hanya berbaring di kamarnya. Dia hanya memandang pesan Raymond, namun sama sekali tak membalasnya. Chika sebenarnya merasakan hal yang sama dengan Raymond.
"Ray, gue sebenarnya kesepian. Gue pingin lo disini, tapi gue benci dengan kebiasaan merokok lo," katanya dalam hati.
Dia genggam handphonenya, dan meletakkanya di dadanya.
"Gue kecewa sama lo, tapi rasa kesepian ini justru menyiksa gue. Apakah gue harus jalani siksaan ini supaya kebal?" lanjutnya dalam hati.
Chika berusaha menguatkan tekadnya. Dia akhirnya meletakkan handphonenya di atas bantal, dan bangkit dari ranjangnya. Dia duduk ke meja belajarnya dan membaca sebuah buku.
Begitu pula dengan Raymond. Di kamarnya, dia akhirnya berfikir untuk mengusir perasaan itu. Raymond langsung duduk ke meja belajarnya, dan mulai mengulang peajaran matematika. Dengan segala upaya, dia pelajari catatan dari Chika, dan mulai mencobanya.
"Aneh. Cara yang pernah di berikan Chika ini menarik," katanya sambil mencoba mempraktekkan cara menyelesaikan soal matematika yang dibuat Chika.
Kendati masih belum begitu memahaminya, Raymond terus mencobanya. Lambat laun, dia akhirnya menguasai cara itu. Tak terasa malam semakin larut. Raymond yang merasa mengantuk akhirnya terlelap di atas meja belajarnya.
Keesokan paginya, Chika yang hendak berangkat ke sekolah terkejut ketika melhat Raymond yang tiba-tiba sudah di depan rumahnya.
"Ray, ngapain lo kemari? Kenapa lo gak pergi sekolah?" tanya Chika.
"Chik, gue mau ngomong sama lo," kata Raymond sambil menatap Chika.
Chika haya menggelengkan kepalanya. "Udah, Ray. Gak ada yang perlu di bicarain. Lo ingat tugas lo sebagai pelajar. Sekolah, ngerti!"
"Tapi, Chik. Gue hanya mau tahu kenapa lo segitu ngambeknya?" tanya Raymond dengan nada sengit.
Chika tak menggubrisnya. Dia langsung beranjak ke jalan untuk mencegat angkot. Raymond mengejarnya, dan memegang tangannya.
"Chik, jelasin dulu kenapa lo ngambek. Please," pinta Raymond.
"Lepasin gue, Ray!" bentak Chika sambil menepis tanganya.
Chika menatap tajam Raymond. Dia begitu marah karena diriya menjadi pusat perhatian tetangganya.
"Raymond! Tugas kita ini sekolah, bukan pacaran. Dan, lo mau tahu jawaban kenapa gue ngambek?" kata Chika sambil melotot.
Chika menghela nafasnya. Dia mengelengkan kepalanya sambil berkacak pinggang.
"Itu gak penting! Sudah, gue mau berangkat ke sekolah. Lo fokus aja belajar, paham?!" lanjutnya sambil mempercepat langkahnya.
Raymond terdiam. Dia ingin marah, namun dia sadar saat ini berada di mana. Dengan langkah gontai, dia naiki motornya dan beranjak pergi dari sana. Raymond yang tak semangat sekolah memutuskan untuk pergi ke suatu tempat. Dia pergi ke sebuah taman, dan duduk di sana.
"Chika, kenapa lo semarah itu sama gue? Salah gue apa sih?" katanya dalam hati.
Dia mengambil sebatang rokok, dan menghisapnya. Raymond terus memikirkan kesalahannya. Sambil merokok, dia ingat kata-kata terakhir Chika.
"Uhm, gue kan pelajar. Tugas gue sekolah. Tapi kenapa gue sakit ya dengar kata-kata Chika?" tanyanya dlam hati sambil menghisap rokok itu dalam-dalam dan menghembuskannya.
Raymond kembali terdiam. Di renungkan kata-kata Chika. Dia kembali menghisap rokok di tanganya. Dan, setelah beberapa saat, akhirnya Raymond tersadar. Dia lihat jam di handphonenya.
"Yah, sial. Udah masuk kelas nih. Bakal di jemur gue ama sikakek cangkul. Waduh, gimana nih? Sekolah kagak?" tanyanya dalam hati.
Tiba-tiba, pundaknya di tepuk seseorang di belakangnya. Raymond terkejut, ternyata seorang ada waria yang menjahilinya. Raymond terbelalak melihatnya.
"Hai, Ganteng. Duuuh, kok dari tadi ngelamun aja sih? Mau Eike temanin? Di jamin deeh, gak puas duit kembali," kata Waria itu dengan nada merayu.
"Uhm … m – maaf. Gu—gue harus cabut," kata Raymond dengan nada ketakutan.
Dia langsung beranjak dari tempat itu dengan setengah berlari. Waria itu kembali berteriak.
"Hai, mas ganteng. Tungguin Eike," jeritnya yang tanpa sengaja mengeluarkan suara lelaki.
Mendengar itu, Raymond makin takut. Dia berlari kea rah motornyayang terparkir, dan buru-buru menyalakanya. Tanpa berfikir panjang, Raymond langsung tancap gas ke sekolahnya. Dan, gerbang sekolah sudah tertutup. Raymond terlambat. Di depan gerbang, Satpam menyambutnya dengan kuliah pagi.
"Kamu ini, sudah enak di beri alam kemerdekaan, tapi malas sekolah. Mau jadi apa kamu, hah? Di luar sana, banyak anak yang gak bisa sekolah. Paham kamu?!" bentak Satpam sekolah.
Raymond menyesalinya. "Maaf, Pak. Saya tadi terlambat karena macet."
Satpam itu berkacak pinggang sambil menggelengkan kepalanya.
"Macet?! Hei, kalau sudah tahu Jakarta macet, siasati. Pakai akalmu, Nak. Jangan malas. Generasi macam apa kamu? Sudah, sana masuk kelas!" bentak Satpam itu.
Raymond hanya mengangguk. Dia langsung berlari ke kelasnya. Namun, belum sampai ke kelasnya, Kepala Sekolah mencegatnya. Sebagai hukuman, Raymond di suruh menghormat pada bendera merah putih, lalu membersihkan toilet. Ketika tengah melakukan hukuman, Shely yang akan ke belakang melihatnya. Dia terkejut.
"Lho, Raymond kenapa? Kok dia kena hukum?" tanyanya dalam hati.
Shely hendak menyapanya, namun dia urungkan niatnya. Dia langsung pergi ke toilet, dan buru-buru kembali ke kelasnya. Waktu terus berjalan, dan ketika jam istirahat, Shely mendatanginya.
"Ray, lo tadi kenapa? Terlambat sekolah ya?" tanya Shely.
"Iya, Shel. Gue terlambat. Tadi pagi, gue berencana bolos, eeh malah ketemu waria," jawab Raymond dengan wajah bersungut.
Shely tertawa ringan. "Lo ketemu waria? Ketemu di mana?"
"Tuh, di taman sono. Di taman kota. Gue heran deh, kok pagi-pagi ada waria. Mana suaranya kelihatan kalau laki. Iiih, amit-amit dah," balas Raymond dengan ekspresi jijk.
Shely tertawa renyah. "Hahaha. Itu karma lo karena lo pamit ke sekolah, eh malah pingin bolos."
Raymond hanya tersenyum kecut. Wajahnya kembali murung. Melihat kemurungan di wajahnya, Shely berhenti tertawa. Dia begitu prihatin melihat Raymond yang tampak murung Dia menyentuh lembut pundak Raymond.
"Ray, kok hari ini lo kelihatan murung gitu. Gak biasanya deh lo begini," kata Shely.
"Uhm, gimana ya nyeritainnya. Gue bingung mau cerita darimana, Shel. Gue juga heran, kenapa jadi gini sih?" balas Raymond dengan nada sedih.
"Ya udah, Ray. Coba deh lo ceritain masalah yang lo alami," kata Shely.
"Shel, gue gak mau bawa lo ke masalah gue," balas Raymond.
Shely tersenyum. "Ray, gue kan temen lo. Apa salah kalau gue sedikit beri lo bantuan?"
"Uhm, bukan begitu, Shel. Lo selama ini sudah banyak bantu gue," balas Raymond.
Shely hanya tersenyum memandangi Raymond.
"Nah, apa salah kalau gue bantu lo sekali lagi? Ayolah, Ray. Lo gak bisa pendam masalah lo terus menerus. Coba, deh. Gue mau dengar apa masalah lo," balasnya sambil tersenyum memandangi Raymond.
Raymond mengalah. Dia akhirnya mulai menceritakan awal perkenalannya dengan Chika. Panjang lebar dia ceritakan awal perkenalannya dengan Chika di lokasi bimbel hingga suatu ketika masalah itu tiba.
"Sejak dia tahu gue merokok, sifatnya berubah, Shel. Entah mengapa gue akhirnya merasa hidup gue begitu sepi tanpa dia. Padahal, awal perkenalan gue dengan Chika ya, begitu," kata Raymond menutup ceritanya.
Shely tertawa renyah. "Hahaha, Raymond. Itu artinya lo tengah kasmaran."
Raymond keheranan. Dia kernyitkan dahinya."Kasmaran? emang gitu ya rasanya jatuh cinta?"
"Ya iyalah, Ray. Lo ingat lagu lama? Lagu ini," kata Shely sambil memutar sebuah lagu lama yang dinyanyikan Titik Puspa.
Raymond mendengarkan lagu itu. ketika mendengar bagian reff, dia tampak tersenyum dan mengangguk. Rupanya, lagu itu akhirnya kembali membuat Raymond ceria.
"Hahaha, lagu ini udah lama. Kok bisa ceritain rasanya jatuh cinta?" katanya dengan wajah kagum.
"Yaelah, Ray. Namanya cinta itu udah ada dari jaman dahulu," balas Shely sambil tertawa renyah.
Raymond akhirnya tersenyum dan kembali ceria. Shely begitu senang akhirnya berhasil menyemangati sahabatnya. Jam tanda masuk sekolah pun berbunyi. Mereka berdua kembali masuk ke kelas masing-masing dan mengikuti proses belajar menagajar.