Dua hari berlalu. Sore itu, Raymond tengah menunggu di depan sekolah Chika. Dengan tenang, dia dduk di atas motornya sambil sesekali melirik ke dalam sekolah. Menit demi menit berlalu, namun Chika tak kunjung Nampak batang hidungnya. Raymond tampak risau. Berulang kali dia lihat jam di handphonenya.
"Ugh! Sudah jam segini Chika gak nongol juga. Kemana sih dia? Padahal sebentar lagi waktunya les," kata Raymond dalam hati.
Raymond tetap menunggu dengan sabar. Waktu terus berjalan, dan hingga semua siswa pulang, Chika tak kunjung muncul. Dia tampak resah.
"Ih, nih cewek kenapa sih? Kok gak kunjung nongol juga?" gumamnya dalam hati.
Dan, tak lama kemudian muncullah Windy dan Uji. Raymond langsung mendatanginya.
"Eh, Windy. Uji. Kalian tahu kemana Chika?" tanya Raymond.
Sejenak, Windy dan Uji saling pandang. Windy tampak memberikan isyarat pada Uji. Dengan gugup, Uji akhirnya menjawab.
"Uhm, gue … nggak lihat Chika tuh dari tadi," kata Uji dengan nada gugup.
Raymond mengenrnyitkan dahinya. Dia memandangi Windy.
"Win, lo kan temen sekelasnya Chika. Uhm … lo tahu gak Chika kemana?" tanya Raymond.
Windy terdiam. Dia pandangi Raymond dengan wajah bingung. Sejenak, dia tampak berfikir.
"Ehem. Uhm, gue … gue tadi lihat Chika sih. Tapi … dia tiba-tiba pergi. Entah ke mana," kata Windy dengan nada gugup.
Raymond tampak kecewa, namun dia berusaha tersenyum.
"Ya udah. Mungkin nanti dia udah ada di lokasi bimbel. Jujur, gue hanya mau tahu apa sih salah gue? kenapa dia tiba-tiba begini," kata Raymond sambil menahan rasa kecewanya.
Windy memandang iba pada Raymond. Dalam hati, sebenarnya dia tahu permasalahan di antara mereka. Namun, dia memilih diam. Dengan langkah gontai, Raymond langsung menyalakan motornya dan tancap gas. Sepeninggal Raymond, Windy dan Uji bercakap-cakap.
"Win, jujur. Gue gak tega sih mendiamkan Raymond," kata Uji.
"Iya, Ji. Gue juga demikian, tapi gimana lagi. Gue juga gak enak mau ngomongnya," kata Windy.
Uji manggut-manggut. Dia mengajak Windy untuk pulang. sementara itu, di lokasi bimbel Raymond telah tiba. Dilihatnya kelas masih sepi. Dia langsung masuk ke kelasnya dan melakukan rutinitasnya. Namun, perasaan yang mengganjalnya membuatnya sulit tidur. Sambil berbaring, dia merenung.
"Gue salah apa sih, kenapa kok Chika mendadak marah gitu? Padahal, selama ini gue selalu ngikutin kemauannya," keluhnya dalam hati.
Raymond memandangi langit-langit kelasnya. Pikiranya berkecamuk.
"Chik, setelah kejadian itu, jujur gue baru ngerasa begitu sepi. Tak ada yang bawel, gak ada yang merhatiin gue," keluhnya.
Dia kembali berfikir. "Uhm, apa gue mulai jatuh cinta ya? Ah, nggak. Nggak mungkin. Gue kan masih remaja. Masa depan gue panjang."
Raymond kembali menguap. Perlahan, dia pejamkan matanya dan mulai terlelap. Ketika itulah, Chika datang ke lokasi bimbel. Namun, dia langsung menuju ke ruang tata usaha. Di sana, Chika langsung berbicara dengan bagian tata usaha.
"Bu Nindy, saya mau pindah bimbel, terhitung mulai hari ini," kata Chika sambil membayar uang les yang terakhir.
"Baiklah, Chika. Tapi menurut kamu, apa yang kurang dari tempat bimbel ini?" tanya Bu Nindy.
Chika diam sejenak. dia berfikir, lalu kembali menjawabnya.
"Tempat bimbel ini bagus, Bu. Banyak cara baru yang saya pelajari di tempat ini. Namun, karena sesuatu hal, saya memutuskan untuk keluar dari bimbel. Mungkin karena jadwal saya di rumah semakin padat," kata Chika mengutarakan alasanya.
Bu Nindy mengerti. "Baiklah, Chika. Semoga kamu sukses ya."
Bu Nindy berjabat tangan dengan Chika. Dan, tak lama kemudian datanglah Pak Imam, mentornya. Chika berpamitan sebelum akhirnya pergi dari tempat bimbel itu. waktu terus berjalan. Dan, tanpa terasa hari telah sore. Raymond perlahan membuka matanya. Dilihatnya, Windy duduk di kelas.
"Ugh! Lega," kata raymond sambil menggeliat.
Dia memandangi sekitarnya. Dilihatnya, Chika tak ada. Raymond berjalan mendekati Windy.
"Eh, Windy. Lo tahu di mana Chika?" tanyanya.
Windy terkejut. dia pandangi Raymond dengan wajah keheranan.
"Lho, Ray. Lo udah disini? Kirain belum datang," kata Windy dengan wajah terkejut.
"Yee, pakai lupa segala. Kan gue biasanya ngejalanin ritual rutin. Anggap aja tugas negara. Jelaslah gue udah sampai," kata Raymond sambil nyengir.
Windy tersenyum simpul. "Eh iya. Gue lupa. Uhm … gue juga dari tadi belum lihat Chika. Kan gue baru aja datang."
Raymond menggut-manggut. "Ya udah, Win. Thanks ya atas infonya. Gue mau cuci muka dulu."
Windy mengangguk. Raymond segera beranjak ke toilet dan mencuci mukanya. Di dalam kamar mandi, dia sempat termenung. Namun, dia segera tersadar.
"Ah, ngapain sih kok gue mikirin Chika mulu? Emang gue naksir dia apa?"katanya dalam hati.
Namun, satu sisi hatinya justru berkata lain. "Tapi, kenapa gue ngerasa kesepian ya kalau gak ada Chika? Kenapa gue ini? Haruskah gue nyatakan Cinta?"
"Ah, gue terlalu muda buat bercinta. Masih banyak yang gue kejar," katanya dalam hati sambil memantapkan langkahnya.
Setelah beberapa saat di dalam toilet, Raymond pun keluar. Dia langusng masuk kelas. Di dalam kelas, para peserta bimbel telah berkumpul. Dia langsung duduk di sebelah Uji. Iseng, Raymond kembali menanyakan Chika.
"Uji, lo tadi lihat Chika?" tanya Raymond.
Uji terdiam sejenak. dia pandangi Windy yang tengah sibuk bercakap-cakap dengan peserta lain. Sambil berbisik, Uji akhirnya menjawab.
"Ray, nanti aja gue jelasin. Sekarang, kita fokus dulu aja. Gue janji akan ceritain semuanya," katanya sambil mendekatkan bibirnya ke telinga Raymond.
Raymond mengerti. Dia hanya diam sambil mengangguk. dan, tak lama kemudian Pak Imam masuk dan memulai pross belajar mengajarnya.
Raymond berusaha keras untuk fokus, walau ganjalan itu menggangunya. Waktu terasa berjalan lambat baginya. Namun, dengan tekad kuat, raymond tak menyerah. Dia tetap berusaha untuk konsentrasi.
Sementara itu, di sebuah café, Chika bertemu dengan Mayang. Mereka tengah menikmati es yang mereka pesan. Sambil menikmati minuman itu, Chika dan Mayang terlibat dalam sebuah percakapan.
"May, jujur. Gue ngerasa sakit ngelakuin hal ini. Gue coba menjauh dari dia, tapi gue malah kesiksa," kata Chika dengan nada sedih.
Mayang hanya menggelengkan kepalanya.
"Chika, kenapa gak lo maklumi kalau Raymond itu merokok? Itu hanya sedikit kesalahan di bandingkan dengan sikapnya ke lo selama ini," balas Mayang.
"Tapi May, gue gak tahan asap rokok," kata Chika.
"Iya, Say. Gue paham. Tapi kan gak harus sebegitunya sikap lo ke Raymond. Lo belum tentu nemuin orang sebaik dia, walau dia tak merokok," balas Mayang.
Chika makin gundah. Dia makin kebingungan. Di satu sisi, dia sangat menyayangi Raymond, namun kebiasaan buruknyalah yang membuatnya ingin menjauh darinya. Untuk menghilangkan kegundahannya, dia terus meminum minuman di depannya.
"Sudah, Chik. Maaf kalau gue salah. Lo musti yakin dengan keputusanmu. Apapun itu, gue akan tetap dukung putusan lo," kata Mayang.
Chika hanya diam sambil mengangguk. tiba-tiba datanglah Ferry.
"Eh, kalian berdua disini?" kata Ferry yang tiba-tiba muncul.
Mereka berdua sedikit terkejtu melihat Ferry yang tiba-tiba muncul. Tanpa berbasa-basi, Ferry langsung bergabung dengan Chika dan Mayang.
"Eh, Chika. Lo kok tuben sendirian. Kemana tuh … uhm … siapa sobat lo?" kata Ferry sambil tersenyum menggoda Chika.
Chika berusaha tersenyum. "Uhm … siapa ya? Kodok?"
Mayang dan Ferry tertawa lepas mendengar perkataan Chika.
"Ya elah, Chik. Masak sobat lo kodok? Udah deh, yang waktu datang nyemangati lo di cerdas cermat itu," kata Ferry sambil tersenyum.
"Uhm … Oh iya, Kak. Dia lagi bimbel sekarang," jawab Chika.
Ferry mengerti. Sejenak, mereka bercakap-cakap di café itu sebelum akhirnya mereka keluar dari café itu. Chika langsung pulang ke rumahnya, sementara Mayang dan Ferry memutuskan untuk berjalan-jalan menikmati udara sore.
Sementara itu, warung dekat lokasi bimbel, Uji dan Raymond tampak bercakap-cakap sambil membeli minuman hangat. Raymond tampak tak percaya ketika Uji menjelaskan bahwa Chika ternyata keluar dari bimbel.
"Uji, lo yakin Chika keluar dari bimbel?" tanya Raymond dengan nada tak percaya.
"Iya, Ray. Gue tadinya ngelihat dia jalan sendirian. Waktu gue ajak masuk, dia bilang kalau dia udah keluar," kata Uji.
Raymond terdiam. Dia tampak lesu. Sambil menyeruput kopi di depannya, dia mengambil sebatang rokok dan menghisapnya.
"Emang salah apa gue? kenapa Chika menjauh?" tanya Raymond dengan wajah lesu.
Uji yang merasa iba akhirnya memberanikan diri untuk menjelaskan.
"Ray, Chika itu sayang sama lo," kata Uji.
Raymond tersentak. Dia langsung tersedak ketika minum kopi. "Uhuk!" Raymond langsung batuk-batuk. Wajahnya memerah. Beberapa kali dia terbatuk. Dan setelah reda, dia pandangi Uji dengan wajah keheranan.
"Apa?! Lo serius, Ji?" kata Raymond.
"Iya, Ray. Gue serius. Chika emang sayang ama lo. Dia marah ngelihat lo merokok, karena itu kebiasaan buruk. Setidaknya, buat kesehatan lo," kata Uji menjelaskan.
Uji akhirnya menjelaskan perasaan Chika yang selama ini tidak di ketahui Raymond. Dari penjelasan Uji itulah, Raymond akhirnya mengerti jika ternyata selama ini Chika benar-benar mencintainya. Ada rasa penyesalan yang tumbuh di hatinya.