Sekembalinya ke penginapan, Clara sekali lagi di interogasi. Dia dan paman duduk saling berseberangan dengan trio pengawal mengelilingi mereka.
Clara merasa enggan karena ia sudah muak di interogasi pak tua Darton. Namun berbeda dari insiden sebelumnya, kali ini paman menolak untuk mundur dan dengan tegas menuntut jawaban dari gadis mungil ini.
"Clara, kamu gadis cerdas, paman tahu itu. Jadi berhenti bermain bodoh dan katakan yang sebenarnya, apa yang sedang mengganggumu? Apa karena menghilangnya Henry?" tanya Paman, serius.
Melihat tidak ada jalan mundur Clara mendesah lalu memutuskan untuk menceritakan masalah yang sangat mengganggunya sejak lama.
"Itu juga. Tapi ya~ ... Paman tahu penyakit Clara, kan? Hidup Clara sudah tidak lama lagi."
Tubuh paman menegang, begitu pula trio pengawal.
"T-tunggu ... serius?"
Rhino menatap Clara dengan tidak percaya. Ia adalah yang paling terperangah dari berita mendadak ini. Kebersamaan mereka memang singkat. Namun dalam waktu yang singkat itu mereka telah membuat banyak kenangan bersama.
"Tapi bohong! ... Ya~, maunya sih Clara jawab begitu ... Jangan masang wajah sedih gitu." Clara tetap riang seperti biasanya seolah sedang membicarakan masalah orang lain. "Walau dibilang tidak lama tapi masih ada waktu sekitar sepuluh tahun sampai efek obatnya habis."
Paman memejamkan matanya. "Obat apa? Di mana kamu membelinya?"
"Tidak ada yang menjual. Mungkin juga tidak ada yang bisa membuatnya. Ini adalah sebuah mukjizat Tuhan dari rasa kasihan pada gadis kecil ini."
"Jangan mulai bicara omong kosong pada saat begini ...." Tapi melihat keseriusan Clara, paman menelan kembali apa yang ingin ia katakan.
Paman tidak mengerti apa yang di ucapkan gadis ini. Mungkin itu adalah obat mujarab dari reruntuhan kuno yang ditemukan Henry sewaktu berpetualang dan cara membuatnya sudah terlupakan. Ia kembali menatap Clara yang entah mengapa memiliki atmosfer berbeda.
"Ada sebuah kelainan langka dimana seseorang terlahir tetapi tidak dapat, hm, menerima mungkin? Intinya ada ketidakharmonisan mana dengan tubuh. Diam-diam mana menjadi racun mematikan yang tidak ada obatnya."
Mana adalah energi yang menyelimuti seantero dunia. Singkatnya, tidak ada tempat di dunia ini yang tidak ada mana-nya. Kecuali satu atau dua tempat khusus seperti Gurun Mazda.
Nyatanya, mana sebenarnya sangat berbahaya bagi tubuh.
Menurut Raph, sekitar 90% populasi dunia mati saat mana pertama kali muncul di muka bumi jutaan tahun silam.
Untuk bertahan hidup, mau tidak mau makhluk hidup di dunia ini harus beradaptasi untuk dapat hidup harmonis dengan energi tak terbatas ini.
Waktunya kuis!
Pertanyaannya, apa jadinya jika makhluk hidup tidak lagi bisa menerima mana?
Ding! Ding! Ding!
Yak. Mereka akan menjadi sama seperti 90% fosil makhluk hidup di masa lampau.
Itulah kondisi tubuh Clara saat ini.
Mungkin beberapa akan berpikir kenapa tidak mengisolasi tubuh dari mana? Misalnya seperti sebuah ruang khusus di mana tidak ada mana.
Tidak semudah itu Ferguso.
Mana dapat berasosiasi dengan hampir segala hal, termasuk udara. Itu artinya Clara harus hidup di ruang hampa yang pastinya mustahil.
Tinggal di tempat khusus seperti Gurun Mazda juga bukan sebuah pilihan.
Singkatnya, kecuali ada sebuah keajaiban, kematian gadis bernama Clarina Amaryllis Pragdina sudah di ukir di atas batu.
Dan keajaiban itu adalah sesuatu yang Clara kejar.
"Kelainan ini mulai muncul setelah insiden 300 tahun lalu. Penderitanya tidak ada yang pernah menikmati masa remaja. Dan dari jutaan manusia di dunia Clara kebetulan lahir dengan kelainan itu."
Shina memeluk gadis malang itu dengan erat, seolah tidak ingin membiarkannya pergi. Walau berpenampilan seperti gadis nakal tapi sebenarnya Shina berhati lembut.
"Jadi ruam pada tubuhmu-"
"Nah, itu lain penyebabnya," tukas Clara. "Mungkin ya~ surga iri pada wanita cantik dengan bakat tak tertandingi ini."
"Jangan mulai bercanda."
Paman mendesah pelan. Dia menatap gadis di depannya. Fitur indahnya identik dengan sang ibu. Tapi wataknya yang sembrono dan bertindak sesuka hati seperti salinan hidup sahabatnya Henry sewaktu muda dulu.
Dia kembali mengenang musim panas tahun lalu. Entah kenapa Henry mengundangnya untuk mampir.
Di sana, pada bangunan di sudut kota, Henry terlihat sepuluh tahun lebih tua dari usia aslinya. Ia duduk sambil membelai Clara yang sedang tertidur pulas di pangkuannya. Tidak, tunggu. Kelihatannya dia memantrai putrinya sendiri agar tertidur pulas.
Walau ekspresinya sangat jinak tapi dia masih saja sama seperti dahulu.
Melihatnya seperti itu paman sangat ingin mengejek tapi menahan diri.
"Jadi ada apa tiba-tiba mengundangku?"
"Huh, apa tidak boleh mengundang sahabat sendiri untuk mengobrol santai?"
"Kalau orang lain sih tak apa, tapi yang sedang kita bicarakan ini dirimu, Henry si Penipu," ucap paman, mengejek.
Henry terkekeh pelan. "Tidak bohong aku ingin mengobrol denganmu. Tapi memang ada hal lain yang ingin kukatakan. Tepatnya sebuah permintaan."
"Jika ingin meminjam uang maka lunasi dulu hutangmu!"
"Ai. Betapa perhitungan pada teman sendiri."
Kedua sahabat itu tertawa lepas. Mereka mulai mengenang masa muda mereka. Dari masa-masa sekolah hingga ketika mereka pergi berpetualang bersama.
"-Ngomong-ngomong, bukankah di dungeon 99 lantai itu pertama kali kau bertemu Daisy?"
"Ah, ya. Kalau diingat-ingat tingkahku waktu itu sungguh memalukan. Jika aku bisa memutar waktu ku ingin mencekik diriku waktu itu sampai mati," ucap Henry, nostalgia.
"Kehehe. Itulah kehebatan cinta. Siapa sangka orang sepertimu bisa jatuh cinta."
"Aku sendiri juga tidak mempercayainya."
"Hey, Henry, mari berpetualang lagi kapan-kapan."
"Ya, kapan-kapan. Tapi belakangan ini aku sangat sibuk."
"Itu benar." Paman menatap gadis kecil di pangkuan sahabatnya. "Jika kau butuh bantuan maka katakanlah," ucapnya, tulus.
"Kalau begitu pinjami aku uang," sahut Henry, cepat.
"Tentu, tentu. Aku bisa pinjami berapapun yang kau butuhkan. Tapi sebelum itu lunasi dulu hutangmu dari satu dekade lalu!"
"Kehehe. Dasar pelit."
Mereka kembali tertawa sebelum keheningan menelan keduanya.
"Aku memang butuh bantuanmu ...." Henry mengangkat kepalanya sebelum akhirnya memandang sahabatnya dengan sungguh-sungguh. "Bisakah kau menjaga Clarina untukku?"
"Hah?"
Paman terkejut. Untuk sesaat dia tidak mengerti apa yang disampaikan lawan bicaranya ini.
"Clarina masih kecil. Tapi aku sering bepergian meninggalkannya sendiri."
"Jika kau tahu maka berhenti berpetualang dan fokus menjadi dokter," saran paman, namun di tolaknya mentah-mentah.
"Masalahnya aku tidak bisa. Kau tahu, kesehatan Clarina sangat buruk. Jika ... Jika suatu hari nanti aku tidak kembali-"
"T-tunggu dulu," tukas paman. "Hey, jangan mendadak membuat surat wasiat seperti itu."
"Nah, kau tahu sendiri seperti apa kehidupan seorang petualang. Selain itu, sepertinya ada orang yang dengan gigih menginginkanku mati. Ini hanya untuk jaga-jaga. Aku tidak bisa mengandalkan keluarga Pragdina, apalagi keluarga Daisy yang tidak pernah kutemui. Satu-satunya yang bisa ku andalkan hanya dirimu seorang, sobat," ujar Henry penuh kesedihan.
"... Tentu, sobat. Kau bisa mengandalkanku."
Melihat seorang anak emas berakhir menyedihkan seperti ini mau tidak mau paman mendesah.
Menilik ke belakang, semenjak jatuh cinta pada pandangan pertama kehidupan sahabatnya ini mulai mengalami kemalangan. Tidak berlebihan jika dibilang alasan dia berada pada titik ini karena seorang wanita.
Paman menyesap kopinya, lalu berkata dengan penasaran, "Katakan, Henry, apa kau menyesal?"
"Tidak ...," balas Henry, mantap. Ia lalu menatap Clara dengan penuh kasih sayang. "Bahkan jika ada kesempatan untuk mengulang, pilihanku tidak akan berubah. Pria kesepian sepertimu mana mengerti perasaanku."
"Kehehe. Setidaknya aku bebas."
Kalau di pikir-pikir waktu itu Henry sepertinya memang membuat wasiat terakhirnya.
Mengingat sudah hampir satu tahun tidak ada kabar berita darinya, kemungkinan besar ia tidak akan kembali.
Paman menghela napas panjang.
Dan saat ini warisan paling berharga dari sang sahabat sedang menapaki jalan kematian.
Sekarang semua sudah jelas.
Alasan gadis ini sangat ngotot ingin berpetualang, antara ingin jadi seperti ayahnya, atau ingin mencari obat untuk dirinya sendiri, atau mungkin hanya ingin menikmati sisa waktu terakhirnya. Yah, sepertinya karena semua alasan di atas.
"Apa tidak ada cara untuk menyembuhkanmu?" tanya paman, tidak berdaya.
Clara mengangguk lalu mulai menjelaskan, "Ada banyak, sih. Katanya. Tapi yang memiliki peluang tertinggi itu ya~ ngumpulin bahan buat ritual kelahiran kembali. Sayangnya ya~ bahan yang dibutuhkan sangat langka dan susah dicari."
Clara mengeluarkan buku catatan kecil lalu menyerahkannya. Paman membaca sedikit buku itu dan langsung membelalakkan matanya. Neet yang mengintip juga ikut terkejut.
"Oi, oi. Bahkan orang sekelas kaisar mungkin juga kesusahan nyari bahan-bahan ini."
Paman menatap Clara dengan tidak percaya. "Apa kamu yakin bisa mengumpulkan semua ini?"
"Enggak," jawab Clara, lugas. "Clara juga enggak terlalu berharap. Kalau berhasil ya~ syukur kalau enggak ya~ sudah."
Paman tidak percaya dengan jawaban asal-asalan anak ini. Ini kaitannya hidup-mati mu, loh.
Tapi gadis ini mungkin sudah lama berputus asa dan Paman sendiri tahu betapa tipisnya peluang untuk bertahan hidup.
"Jika kematianku adalah mutlak, maka aku lebih baik mati saat melakukan sesuatu yang kusukai."
Mungkin itu yang ada di pikiran Clara saat memutuskan untuk berpetualang.
Paman hanya bisa mendesah tidak berdaya.
"Satu-satunya keinginan Clara adalah menikmati sisa waktu semaksimal mungkin. Karena itu ya~, paman, Clara punya sebuah permintaan."
"Paman akan bantu sebisanya."
Dan sekarang gilirannya untuk membuat keputusan.
"Clara bertemu seorang petualang bernama kak Pedro. Dia menawarkan Clara untuk melakukan perjalan dua hari ke wilayah utara. Tolong izinin Clara pergi ya~."
Akankah ia membiarkan warisan berharga temannya pergi melakukan apapun yang ia mau dan mungkin mati saat melakukannya, ataukah ia akan menyeretnya kembali ke Zariya untuk menikmati sisa hidupnya yang terbatas.
"Apa kamu yakin? Itu sangat berbahaya. Lagian siapa pula Pedro itu?"
Sebuah pilihan sulit.
Melihat keraguan paman, Clara buru-buru menjelaskan, "Kak Pedro bukan orang jahat, kok. Rhino sudah bertemu dengannya. Lagian Kak Pedro sudah punya surat izin langsung dari Wali Kota."
Paman mengerutkan kening. Clara mungkin tidak mengetahuinya ... Tidak, sepertinya Clara sudah tahu. Proposal ini tidak sesederhana kelihatannya. Mengingat situasi kota saat ini izin Wali Kota membuat semuanya terasa mencurigakan.
"Jika berjalan lancar ya~ Clara bisa mendapatkan pengalaman didampingi petualang veteran. Jikalau pun ada masalah, mengingat sifat Wali Kota pasti ada orang yang mengawasi dari belakang. Jadi keadaan tidak akan jadi tak terkendali. Mungkin?"
"Walau begitu tetap saja masih berbahaya," paman menghela napas. "Tapi sepertinya apapun yang paman katakan akan percuma."
"Ehehehe."
Sepuluh tahun kedengarannya waktu yang sangat lama namun kenyataannya sungguh singkat. Buktinya Paman hampir lupa seseorang pernah berhutang besar padanya, dan sudah hampir satu dekade berlalu.
Jadi meski enggan, Paman menyetujui permintaan Clara. Sebuah peluang walau sekecil apapun lebih baik dari pada pasrah dengan keadaan.
"Haa ... Kalau begitu bawa Rhino bersamamu."
"Eh! Kenapa aku," keluh Rhino tapi tetap menerimanya.
"Dasar Tsundere."
"Bentar, bilang apa kau tadi, Clara?"
"Ya~, karena pembicaraan rumitnya sudah selesai mari turun dan makan malam."
"Serius, diam-diam kau suka mengejekku, 'kan!"
"Malam ini makan apa ya~."
"Oi!"