Viona menatap area persawahan yang luas melalui jendela kereta. Hampir petang diluar sana. Usai bekerja Viona langsung pergi ke stasiun kereta api dan membeli tiket keberangkatan menuju luar kota. Ia ingin tahu bagaimana keadaan Pinkan dan Gibran karena percuma saja ia berada dirumah jika yang ada dipikirannya hanya sahabat dan kekasihnya yang sedang mengalami musibah. Ia masih berada dalam kontak dengan Steve, pria itu mengatakan bahwa Pinkan telah melewati masa kritisnya dan kini dipindahkan di kamar pasien biasa.
Entah kenapa Viona takut untuk menghubungi Gibran. Ia merasa harus menekan sedikit rasa khawatirnya agar tidak terlalu membebani pria itu.
Salah...ia takut diabaikan lagi. Viona menyandarkan kepalanya di kaca kereta. Tangannya meraba kotak berwarna navy yang berada di pangkuannya.
*
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Ia masuk ke dalam rumah sakit rumah sakit dan berjalan mengikuti tulisan-tulisan yang tertempel di setiap ujung tikungan. Kemudian ia melihat Steve yang sedang menelpon di depan pintu kamar pasien. Viona merasa sangat lega, seakan beban berat terlucuti dari badannya.
"Viona?" Steve sangat terkejut begitu berbalik dan melihat Viona ada dibelakangnya.
Ia tidak mengira gadis itu akan benar-benar datang kemari. Butuh sembilan dua jam untuk sampai kemari menggunakan pesawat. Dan...
Viona tersenyum ke arah Steve dan berjalan menghampirinya. Langkahnya timpang,
"Ada apa dengan kakimu?" tanya Steve ketika wanita itu sampai dihadapannya. Viona melihat kakinya,
"Kakiku...baik-baik saja hehe..."
"Langkahmu timpang bagaimana kau bisa baik-baik saja." protes Steve.
"Ah, aku tidak menyadarinya. Mungkin terluka ketika aku naik kereta tadi sore."
"Kau naik kereta????" suara Steve meninggi.
"Iya, aku pikir kereta transportasi tercepat untuk sampai kemari. Tapi kurasa aku sudah sangat terlambat."
"Ch,,,Anak bodoh ini...!"
Viona melihat ke dalam kamar pasien melalui kaca pintu. Pinkan tertidur di sana.
"Pinkan, apa dia sudah baik-baik saja?"
"Masih pemulihan dari operasi. Aku kira dia tidak bisa pulang kurang dari satu Minggu."
"Pinkan pasti sangat kesakitan,"
"Dia tidak berpikir panjang saat menolong orang lain. Sangat berani, padahal dulu aku mengira dia hanya gadis lemah yang akan menjadi foto model dengan kecantikannya. Aku bahkan mencarikan referensi tantang cara berpakaian dan informasi audisi model ketika kita SMA. Dan nantinya dia akan memperkenalkan aku dengan teman-temannya yang cantik..."
"Bukankah kamu hanya playboy sejak lahir, Steve..." Viona tak percaya. Tapi mereka tertawa.
Viona memberikan satu tas makanan pada Steve.
"Aku membelinya di restoran depan rumah sakit barusan. Masih hangat, kamu bisa memakannya dengan Gibran."
Steve menerimanya. Ia tidak tahu Viona bisa selembut ini. Ia sedikit tersentuh.
"Kita bisa makan bersama nanti," kata Steve. Viona mengangguk.
"Oh ya, dimana Gibran?"
"Dokter memanggilnya tadi. Mungkin sebentar lagi dia akan datang."
"Aku ke kamar mandi sebentar,"
"Baiklah..."
"Sebelah sana?" tunjuk Viona.
"Iya, sebelah sana..."
.
.
.
"Sudah kubilang berkas dengan map warna biru di laci mejaku kenapa masih tidak mengerti? Hanya satu map berwarna biru disana. Kalian membuatku sakit kepala." Steve melihat Gibran datang kearahnya.
"Iya, laci nomor tiga..." Ia menyerahkan tas makanan yang ia bawa pada Gibran.
"Bagaimana...aku tidak mendengar mu..." Brukkkk...
Otak Steve seperti tersengat aliran listrik ketika mendengar suara jatuh dilantai. Ia menoleh kebawah secara pelan-pelan, kemudian melihat Gibran yang memundurkan rambutnya dengan cuek.
"Kenapa kau tidak menerimanya?" tanya Steve datar.
Gibran berkacak pinggang, "Kenapa kau membeli makanan sampah itu? Aku sudah mengatakan aku tidak suka ayam goreng..."
Steve menarik kerah kemeja Gibran dengan agresif..."Tapi bukan berarti kau tidak bisa memegangnya sebentar, dan Viona..."
"Berhenti menyebut namanya...membuatku sakit kepala."
"Heiii Gibrannnn!!!" Steve berteriak.
Sssskkk...Ekor mata Steve menangkap sesuatu, Ia melepaskan kerah Gibran. Gibran memegang lehernya yang kesakitan.
Steve menoleh, Ia tidak melihat siapapun. Ia yakin ada seseorang disana tadi.
"Ada apa denganmu. Kau tahu aku tidak suka ayam goreng. Dan berhenti membalas pesan Viona. Dia tidak akan berhenti jika kau membalasnya satu kali...dia hanya ingin kau memperhatikannya dan marah jika kau mengabaikannya,"
Ekspresi wajah Steve berubah sedih, "Kau tidak seharusnya mengatakan itu, Gibran..."
Gibran menoleh pada kaca pintu kamar pasien dan terbelalak. Ia membuka pintu kamar pasien dengan lebar dan berhambur duduk disamping Pinkan yang telah sadar.
"Gibran," Pinkan memanggil namanya dengan suara lirih, pria itu menggenggam tangan Pinkan erat.
"Aku disini...Pinkan," Katanya lembut, senyuman manis terus melekat diwajahnya.
Steve melihat kesekeliling. Tidak ada tanda-tanda Viona akan kembali. Ia mengambil tas makanan yang terjatuh dan membawanya masuk ke kamar pasien.
.
Pintu kamar pasien tertutup, Perlahan Viona keluar dari tempat persembunyiannya. Pipinya telah basah oleh airmata dan kedua tangannya memeluk tubuhnya erat. Ia meremas lengannya kuat hingga kukunya seolah menembus blouse putihnya yang tipis. Viona mengintip dari kaca pintu dan melihat senyuman dipipi Gibran. Pria itu pasti sangat bahagia. Ia tersenyum dan mengulurkan tangan kanannya ke gagang pintu...
~Berhenti menyebut namanya...membuatku sakit kepala~
Viona melepaskan gagang pintu itu. Ia mundur perlahan dan berbalik. Kepalanya tertunduk seiring ia mengusap airmata dikedua pipinya. Ketukan heels-nya menggema di dinding rumah sakit yang mulai sepi karena semakin larutnya malam.
***
Pinkan melihat sekeliling ruangan, wajah cemas Gibran dan Steve yang bersandar di dinding rumah sakit tanpa tenaga. Maya...?
"Maya!!!" Pinkan hendak beranjak dari tempat tidur tapi luka diperutnya terasa sakit..."Ahhhhhhhh!"
Steve terperanjat sementara Gibran merangkul bahu Pinkan.
"Apa yang kamu lakukan? Jangan bergerak tiba-tiba. Lukamu,"
"Aku harus menemukan Maya, dia berada dalam bahaya..."
"Kau harus tenang!" Steve mendekat. "Maya sudah berada ditempat yang aman."
"Aku ingin bertemu dengannya!" pintanya cepat.
Gibran mengelus kepalanya. "Kau akan mengganggunya jika kau mengunjunginya sekarang. Biarkan dia istirahat, Kau juga harus istirahat."
Pinkan melihat Gibran, pria itu mengambil segelas air putih di meja. Ia membantu Pinkan meminumnya. Setelah Pinkan agak tenang, ia membantunya berbaring dan menyelimutinya. Gibran menepuk-nepuk ujung kepala Pinkan. Berharap hal itu bisa membantunya tidur.
Steve menggelengkan kepala. Ia keluar dari ruangan kamar. Ia menyusuri lorong dan berdiri didepan toilet wanita. Ia mengetik pesan untuk Viona, namun tiba-tiba pesan masuk muncul. Dari Viona, Steve membukanya...
"Shit!!!" Steve berlari keluar dari rumah sakit. Rasa bersalah dan rasa cemas bercampur menjadi satu. Ia keluar dari pintu utama rumah sakit dan merasakan angin bertiup kencang menggerakkan daun-daunan di atas pohon.
Mata Steve menjelajahi setiap orang dan setiap tempat yang berada di dalam jangkauannya. "Ponsel..." gumamnya seakan tersadar sesuatu. Ia menghubungi Viona. krckkk...tersambung. Steve sedikit lega.
"Dimana kamu?" Steve tidak berusaha menyembunyikan rasa cemasnya.
"Aku menuju hotel, aku akan beristirahat disana satu malam."
"Baiklah, kirimkan alamat dan nomor kamarmu aku akan..."
"Jangan beritahu Gibran aku datang kemari,"
"Kenapa?"
"Aku tidak ingin menambah rasa cemasnya," suara Viona terdengar parau. Wanita itu jelas-jelas menangis. Steve meremas telapak tangannya.
"Kamu mendengar semuanya?"
Viona tidak menjawab,
"Jangan dengarkan orang gila itu..."
"Aku tahu dia sedang panik, aku tidak menyalahkannya."
"Kau harus menyalahkannya, kau mau aku meninjunya?"
"Hahaha," Viona tertawa.
"Aku serius."
"Tidak perlu. Aku akan menyelesaikannya saat kita pulang."
"Kau tidak ke rumah sakit besok?" Steve terheran.
"Aku harus bekerja,"
"Kau tidak bisa melakukan itu."
"Steve, tiba-tiba aku sangat ingin terang bulan."
"Kau ingin aku membelikannya? Di mana kau menginap."
"Lupakan...aku hanya berbicara, aku sangat lelah Steve. Bisa kamu matikan telepon nya?"
Dengan berat hati Steve menurutinya. Ia mematikan panggilan telponnya.
Steve berbalik ke arah rumah sakit dan melihat Gibran berjalan dengan langkah panjangnya ke arah Steve. Angin malam sedikit meniupkan rambut spikenya.
"Ah seorang pria tampan pergi meninggalkan wanita cantik hanya untuk mencari pria tampan lainnya, bagaimana aku harus menjelaskannya?"
Steve menatap tajam ke arahnya.
"Pinkan sudah tidur?"
"Tentu saja, aku tidak akan membiarkan sendirian saat dia terbangun."
"Membiarkan sendirian your ass..." gumam Steve kesal.
"Sedang apa kau disin..." BukkKKKK
Steve menonjok Gibran tepat diwajahnya. Darah segar keluar dari hidungnya. Gibran mengusapnya.
Steve mengatur napasnya.
"Hei, apa yang kau lakukan?" Gibran keheranan.
"Tanganku sangat gatal, aku mencari apotek untuk membeli obat tapi tidak menemukan nya. Thanks to you, I'm cured!" Steve berlalu meninggalkan Gibran untuk kembali masuk ke rumah sakit. Meninggalkan Gibran yang masih bengong.
"Hei Steve, kau mau mati!!!"
.
Terdengar announcement petugas bandara agar para penumpang pesawat segera boarding dari pintu A12. Viona terkesiap sebentar. Ia tertawa tak percaya.
~ "Ah, aku tidak menyadarinya. Mungkin terluka ketika aku naik kereta tadi sore."
"Kau naik kereta????" suara Steve meninggi. ~
Ia masih mengingat wajah shock Steve yang tampak begitu bodoh dimata Viona. Ada pesawat yang begitu mudahnya dan Viona memilih naik kereta dan berdesak-desakan dengan banyak orang. Bukankah lebih cepat dan aman naik pesawat? Pasti Viona lebih bodoh dari ekspresi Steve tadi. Ia sudah cukup mempermalukan dirinya hari ini dan sekarang lecet dikakinya terasa sangat sakit.
"Agh...setidaknya aku harus merasakannya saat aku sampai rumah. Kenapa disini?" Viona mengomel kesal. Tapi akhirnya ia berjalan juga menuju lapangan udara dan menikmati angin malam yang sejuk...atau dingin. Dia tidak tahu. Yang terpenting sekarang ia harus sampai di rumah dan beristirahat.
"Aku tidak ingin bekerja besok."
Suara mesin pesawat berdengung keras meninggalkan bandar udara. Dengan cahaya kelap-kelip kecilnya, menembus awan dan terbang diantara bintang-bintang di langit. Viona mencari bintang melalui jendela kecil pesawat. Tidak ketemu, ia cemberut. Lalu ia memperbaiki posisi duduknya dan mencoba lebih bersantai. Ia terdiam.
Gibran, apa kamu merindukanku?
Entah kenapa tiba-tiba Viona teringat senyuman Gibran tadi malam. Senyuman yang pertama kali Viona lihat dan membuat jantungnya berdetak tak beraturan. Namun senyuman itu bukan untuknya.
Aku penasaran apakah Gibran bisa tersenyum seperti itu dihadapanku?
***