Chereads / Selaras Rasa (The Same Love) / Chapter 12 - Bagian 11

Chapter 12 - Bagian 11

Viona sedang melakukan inspeksi rutin per bagian-bagian koleksi museum ketika ponselnya berdering. Viona mengangkatnya.

"Hal..."

"Teman baru? Kau ingin menikmati sesuatu yang seru???"

"Steve apa yang kamu..." Viona menoleh keluar museum. Ia melihat Steve melambai-lambaikan tangannya ke atas membuat Viona melongo tak percaya. Pria itu tersenyum lebar, tak lama pandangan Viona beralih pada pria kecil disamping Steve. Viona terdiam sejenak.

.

Mereka bertiga duduk di kursi panjang halaman museum sambil makan ice cream. Menikmati pemandangan yang teduh karena hari mulai sore.

"Kamu punya anak?" tanya Viona sambil menyuapkan ice cream dimulutnya. Ia melihat anak kecil itu makan ice cream dengan lahap.

"Bukan anakku. Dari clien Pinkan. Mereka sedang membicarakan bisnis dan nanti malam wanita itu memiliki fashion show."

"Dan kamu berniat bersama anak ini sampai malam?"

Steve menggelengkan kepalanya.

"Besok pagi,"

"Kau gila???" Viona tak percaya.

"Hentikan Viona..." Steve kesal.

"Aku belum mengatakan ini padamu? Kau harus mengurangi sifatmu yang satu ini. Kau selalu ada saat orang-orang membutuhkanmu. Aku membencinya,"

"Aku hanya bersenang-senang, Viona..." Steve mencoba menenangkan wanita itu.

Viona menggeleng, "sifatmu yang seperti ini yang akan membuat orang-orang memanfaatkanmu!"

Viona melihat ke depan. Steve tersenyum. 'Aku tahu semua itu, tapi kau tidak memanfaatkanmu seperti orang lain.'

"Ahhhh...aku suka berada disini..." Steve menutup mata dan menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi dan menikmati semilir angin sejuk yang bertiup ke arahnya.

"Ck..." Viona mengabaikan Steve.

.

"Bintang, bilang bye ke Tante Viona?"

"Bye bye..Tante Viona!" katanya sambil melambai-lambaikan tangannya yang kecil. 

"Bye bye, Bintang!" Viona juga melambaikan tangannya dan tersenyum ramah.

"Bye, teman!" Steve melambaikan tangannya. Viona tersenyum.

Steve dan Bintang berjalan berdua menyusuri trotoar. Jika melihatnya seperti itu bagaimana bisa dia adalah seorang playboy. Dia sangat lembut dan terampil dihadapan anak kecil. Lihat tangan mereka yang bergandengan. Viona berbalik,

Bukkkkkkk

"Agh,"

"Waaaaaaaaaaaa...."

Mata Viona membulat. Ia berbalik dan melihat Steve yang sudah ambruk dan seorang pria membawa Bintang masuk ke dalam mobil. Steve tampak kesusahan untuk bangun. Viona berlari mengejar mobil itu.

Brummmmmmmm

"Viona berhenti...berbahaya!!!" Steve ikut mengejar Viona sambil mengambil ponsel dari dalam jasnya. "Halo polisi???"

Viona berhasil memegang body mobil ini, situasi macet cukup membantunya.

"Wanita bodoh...menyingkir dari mobil!" hardik seseorang dari belakang kemudi.

"Uwaaaaaa, Tante Viona!!!" Bintang menangis disana. Lalu lintas sedikit lancar, mobil itu menambah kecepatannya.

"Berhentiiii!" teriak Viona kelelahan, ia tidak menyerah. Ia terus berlari.

Tiba-tiba,,,Bukkk crashhhh

Sebuah motor ninja menyambar tubuh Viona. Viona terpental dan berguling berkali-kali. Dukkk, kepalanya menghantam aspal.

"Vionaaaaa!" Steve sangat terkejut. Ia bergidik melihat Viona yang mencoba bangun dengan luka disekujur tubuhnya. Setelah kesadarannya pulih ia berlari menghampiri Viona.

Dua buah mobil polisi datang dengan sirine khasnya. Mereka mengejar mobil yang membawa Bintang. Dan dari arah yang berlawanan polisi dengan motor sport hitam dan helm hitam menghadang mobil penculik itu. Sssseettt...mobil sang penculik terperangkap. Suara klakson menggema disepanjang jalan, dan orang-orang di trotoar terhenti.

Angin sore kembali bertiup bercampur dengan sinar matahari yang menyilaukan. Asap kendaraan bermotor memenuhi lokasi tersebut.

Para penculik diringkus petugas dan polisi bermotor sport hitam itu melepaskan helmnya.

Seorang petugas menghampirinya, "Komisaris Anjani!"

"Bawa mereka ke kantor polisi dan lakukan investigasi. Jangan ada masalah!"

"Siap!"

Ia menuju mobil dan mengeluarkan Bintang yang menangis sangat keras.

"Jangan takut!" katanya lembut.

"Om Steve...om Steve..." anak itu memanggil Steve ditengah isakannya.

"Aku akan membawamu kepada, om Steve. Tidak apa, keluarlah!" Anjani mengulurkan tangannya. Perlahan anak itu merambat keluar dan Anjani menggendongnya begitu anak itu sampai pada jangkauannya. Mereka berjalan mendekati Steve yang memapah Viona. Anjani prihatin melihat kondisi wanita itu. Ada luka di pelipis kedua siku dan lututnya. Entah masih ada berapa luka lagi.

"Aku bisa sendiri, Steve!" kata Viona, ia meringis menahan kesakitan.

"Bagaimana bisa!!!!" Steve berteriak...

"Huaaaaaaa," tangis Bintang semakin kencang.

"Aku akan membantu temanmu, kamu tenangkan dulu anak ini," Anjani bersuara. Dengan berat hati Steve melepaskan tangannya dari Viona. Anjani langsung memapah Viona begitu Steve melepaskannya.

"Kau harus ke kantor polisi untuk memberikan keterangan,"

"Kau!!!"

"Steve kau harus tenang!" Viona menengahi. Steve menepuk-nepuk punggung Bintang yang berada digendongannya.

"Aku akan ke rumah sakit bersamanya. Penculik itu mungkin tidak sendiri kau harus menjaga anak itu."

"Baiklah, aku meminta tolong padamu untuk menjaga temanku. Jangan biarkan dia terluka lagi!"

"Aku berjanji!"

Mereka berpandangan.

Burung-burung hitam beterbangan di cakrawala. Langit berubah menjadi nila dan sang kegelapan perlahan menghampiri.

Hari seperti enggan berakhir, Mungkin mereka tidak akan terlelap malam nanti. Pengalaman ini terlalu mengerikan. Dalam sekejap semuanya terjadi dan Viona dan Steve sama sekali tidak tahu situasi apa ini. Tapi mereka harus bertahan, karena tidak ada yang dapat mereka andalkan selain kesadaran mereka sendiri.

***

"Ini adalah bagian dari tugas kami sebagai satuan polisi. Untuk memastikan Anda dalam keadaan baik-baik saja. Anda mengedampingkan keselamatan anda demi menyelamatkan seorang anak. Kami sangat mengapresiasi apa yang anda lakukan."

"Tapi CT Scan...apa itu tidak terlalu berlebihan?"

"Itu berada dalam peraturan kami tentang sanksi dan reward. Sanksi diberikan kepada masyarakat sipil yang..."

"Ok ok, aku mengerti..."

"Baik. Perlu saya temani..."

"Tidak, kamu bisa tunggu disini!"

"..."

Viona menjalani pemeriksaan lengkap termasuk CT Scan yang mereka bicarakan karena kepala Viona terbentur aspal. Viona merasa sedikit gugup tetapi hal ini bukan masalah besar dibandingkan dengan ia harus mendengarkan sanksi dan reward yang mungkin tidak ada habisnya.

Kini ia duduk dihadapan dokter yang mungkin akan mengatakan hal-hal yang tidak kalah rumitnya.

"Apa anda pernah mengalami kecelakaan sebelumnya?"

Viona melihat dokter itu.

"Apa maksud dokter?"

"Ada gumpalan darah pada bagian otak yang mengakibatkan terkuncinya sebagian memori anda. Salah satu kemungkinan yang bisa saya prediksi karena benturan keras pada kepala anda. Oleh karena itu saya bertanya, apakah anda pernah mengalami kecelakaan sebelumnya?"

Viona sedikit linglung. Kecelakaan?

"Sepuluh tahun yang lalu," Viona bergumam.

"Maaf?"

Viona mengangkat wajahnya.

"Kecelakaan terjadi sekitar sepuluh tahun yang lalu."

"Anda tidak melakukan pemeriksaan waktu itu?"

"Saya tersadar ketika berada di rumah sakit dan setelah itu saya dibawa pulang."

"Baiklah. Apa ada keluhan setelah itu?"

Viona menatap sang dokter. Airmata menggenang di kelopak matanya.

"Ada sedikit ingatan yang saya lupakan. Apa saya baik-baik saja?"

"Tentu saja. Tapi alangkah baiknya kita menjalankan operasi untuk menghilangkan gumpalan pada otak anda."

"Apa manfaat yang dapat saya terima, maksudku, tadi dokter mengatakan saya baik-baik saja."

"Besar kemungkinan anda dapat memulihkan ingatan yang terkunci, anda bisa kembali mengingat hal-hal yang anda lupakan."

.

Viona keluar dari ruangan dokter. Disana Anjani telah menantinya. Anjani memapah Viona yang masih kesulitan berjalan.

"Maaf saya merepotkan Ibu polwan."

"Tidak apa-apa. Anda sedang kesulitan tentu saya harus membantu anda."

"Bisa kita bicara secara biasa saja? Anda-saya terdengar sangat..."

Anjani tertawa, "Baiklah, aku Anjani!" Anjani mengulurkan tangannya ke samping. Viona menerima uluran tangan itu.

"Viona!"

Mereka kembali berjalan ketika tiba-tiba langkah Viona terhenti. Ia melihat seorang pria tinggi berdiri di depan meja resepsionis. Jarak mereka cukup jauh jadi mungkin pria itu tidak menyadari keberadaan Viona.

"Gi,"

Anjani mengikuti arah pandang Viona yang beralih ke belakang pria itu. Seorang wanita menghampiri sang pria. Tatapan Viona sangat serius dan ia terpaku tak tahu apa yang harus dilakukan.

Pinkan...Gibran...

Pinkan melingkarkan tangannya pada lengan Gibran. Mereka berpandangan.

"Perutmu masih terasa sakit?"

Pinkan menggeleng dan tersenyum.

"Sudah aku katakan jaga kesehatanmu. Sakit perut bukan hal yang sepele. Waktu seminar jika aku tidak membawa obatku apa yang akan kau lakukan."

"Benar, obatmu sangat manjur." Kata Pinkan. Mereka mulai berjalan. Refleks Viona memutar tubuhnya agar mereka tidak melihatnya.

"Jangan mencoba mengalihkan pembicaraan."

"Iya iya, Pengacara Gibran..."

Viona menundukkan kepalanya dan menggigit bibir. Ia berusaha menahan agar airmatanya tidak jatuh. Meski begitu... genangan yang membendung dikelopak matanya sejak tadi bercampur dengan perih hatinya tidak mungkin berhasil ia tahan.  Begitu banyak yang terjadi hari ini ia tidak kuat lagi. Ia meremas tangan Anjani yang digunakannya sebagai penyangga.

"Maafkan aku Anjani...maafkan aku!" suara lirih Viona bercampur airmata. Tapi Anjani masih bisa mendengar perkataannya. Anjani menoleh Gibran dan Pinkan yang sudah keluar melalui pintu kaca rumah sakit.

***

.

.

.

"Ahhhh...aku suka berada disini..." Steve menutup mata dan menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi dan menikmati semilir angin sejuk yang bertiup ke arahnya.

.

Viona kembali menyendok ice creamnya. Ia menggoyang-nggoyangkan kedua kakinya yang tanpa sepatu dan meraba rumput hijau dengan telapaknya. Geli.

"Dengar, Steve! Aku sedang berpikir."

"Hm!"

"Kamu begitu mengenal Gibran, jadi kamu pasti tahu jawabannya. Jika aku dan Pinkan berada di rumah sakit secara bersamaan siapa yang akan Gibran temui terlebih dulu."

"Tergantung, apakah Gibran tahu kalau kalian berdua berada di rumah sakit."

"Aku kan kekasihnya. Aku tahu saat dia masuk rumah sakit karena koletissisis aku tahu."

"it's cholecystitis, Viona! Itu karena kau memang seorang penguntit. Aku yakin kau selalu tidur dirumahnya untuk menyelidiki tentang Gibran. Kalau itu aku, aku akan lapor polisi atas laporan menerobos properti pribadi tanpa izin."

"Apa kamu harus sejahat itu?" Viona kesal.

"Gibran lebih jahat dariku. Kau hanya tidak tahu!"

.

.

.