.
.
"Ona, kau mendengar suara Papa?"
Tiba-tiba suara yang ia rindukan terdengar ditelinganya.
"Papa..."
"Iya, Viona. Ini Papa."
Viona merasakan sebuah pelukan. Rasanya sangat hangat hingga airmata meleleh dipipinya.
"Aku ingin bersama papa terus,"
"Lalu siapa yang akan bersama mamamu, kakekmu?"
"Tapi Viona capek." Viona mengerjapkan kedua matanya. Bulir airmata berjatuhan dipipi.
"Apa Viona akan terus menjadi pengecut? Bersembunyi dibalik papanya?"
Viona hanya memeluk papa semakin erat.
"Papa akan terus mengawasimu dari sini. Selama Viona tidak menyerah maka segalanya akan membaik. Jangan sedih, sayang!"
Cinta sejati akan datang kepadanya yang tidak menyerah. Kau harus bertahan hingga akhir. Dan bila akhir itu akhirnya datang, maka menjadikan bijak dan selamatkan hatimu.
Cinta
Dan
Bahagia
Bisakah
Aku
Mendapatkan
Keduanya?
.
Viona membasuh wajahnya di kamar mandi karyawan. Terdengar suara jerit dan tawa anak-anak dari luar sana.
Ia mengeringkan kedua tangannya lalu keluar dari kamar mandi. Ponselnya berdering, Viona mengambil ponsel dari saku blezer nya dan melihat ada panggilan masuk dari Gibran. Ia hanya menatap layar ponselnya datar beberapa saat kemudian menerima panggilan tersebut.
"Demammu sudah turun?" suara Gibran dari seberang sana. Viona tidak bersuara.
"Ada apa? Kau selalu kesal jika aku tidak menghubungimu terlebih dulu, sekarang kau diam saja. Beberapa hari ini aku benar-benar sibuk.
Mendadak tenggorokan Viona menjadi kering, ia menelan ludahnya.
"Viona, kamu mendengarku? Apa kamu berniat tidak menjawabku hanya karena aku tidak menghubungimu. Hei kamu juga tidak menghubungiku," suara Gibran meninggi.
"Gibran..."
"Ya?" jawab pria itu cepat.
"Bagaimana kondisi Pinkan?"
"Apa?"
"Aku dengar dia tidak enak badan. Sekarang bagaimana kondisinya?"
"...dia mengalami gugup dengan kasusnya saat ini jadi berdampak pada perutnya. Tapi dia sudah mendapatkan penanganan dan sekarang sedang rutin minum obat. Aku rasa dia sudah mendingan. Kamu mau bertemu dengannya?"
"Aku tidak ingin mengganggu istirahatnya..."
"Apa yang kamu bicarakan?"
"Gibran, kamu bisa melanjutkan pekerjaanmu sekarang. Aku juga akan kembali bekerja..."
.
"Viona...hei," Gibran melihat layar ponselnya dengan heran.
"Apa dia marah? Apa yang aku lakukan kali ini?"
***
Suara keceriaan anak-anak bermain di taman kota terdengar meriah. Pukul satu siang ketika anak-anak TK baru pulang dan kini mereka bermain di komplek mainan anak di taman itu. Ada ayunan, jungkat-jungkit dan lain sebagainya.
"Nino, sudah mama bilang lihat sekeliling ketika berlari..." Saras membantu anaknya bangun dari jatuhnya. Setelah mengusap kedua lututnya anak itu kembali berlari. Saras hanya menggeleng, ia menoleh ke arah lain dan melihat Viona yang berjalan ke arahnya. Ia terpaku. Viona sampai dihadapannya. Mata mereka bertemu dan Saras langsung tahu, ini bukan tatapan mata Viona yang dulu ia kenal. Ia telah berubah menjadi Viona yang sangat asing baginya. Apa yang terjadi?
"Ibu Saras? Saya Viona yang menghubungi anda tadi pagi..."
"Viona apa yang kamu katakan..." Saras terkejut ketika melihat airmata mengalir dipipi Viona. Entah kenapa airmatanya juga ikut mengalir.
Viona mengusap airmatanya, "Apa boleh aku...memelukmu?"
Saras langsung memeluk Viona dengan erat. Airmata Viona kembali membanjiri pipinya.
"Apa yang terjadi kepadamu Viona?"
Mereka berdua duduk di kursi panjang sambil berpegangan tangan memperhatikan Nino kecil yang bermain bersama babysitter nya. Setelah cukup puas melihat Nino, Saras kembali melihat Viona.
"Apa yang terjadi, Viona?" tanya Saras penuh perhatian.
Viona menarik napas panjang, "Aku datang ke SMA kita dulu, bertanya pada guru disana. Untung saja ada wali kelas kita yang masih mengenaliku. Kata beliau, dulu kita selalu bersama..." keharuan meluap menyeruak di rongga dada Viona. Saras buru-buru memeluk dan mengelus punggung Viona.
"Pelan-pelan Viona, aku disini. Ambil semua waktu yang kamu perlukan."
"Aku mengi...ra...tidak ada yang tersisa dari masa...laluku. aku tidak mengingat apapun Saras. Aku tidak mengingat apapun dari waktu aku masuk SMA. A...aku tidak mengingat bagaimana aku merayakan ulang tahunku yang...ke tujuh belas. Aku....tidak mengingat bag...gaimana papaku mengalami kecelakaan!! Aku tidak mengerti apa yang terjadi, Saras...tidak tahu apa-apa."
Airmata kembali membanjiri pipi mereka.
.
Adi berteriak menyetop taksi yang berada di jalan. Ia berhambur memasuki taksi itu dan menyebutkan nama tempat yang ia tuju. Jantungnya berdetak kencang karena ia berlari dari lantai dua rumah sakit menuju jalan raya. Ia masih mengenakan jas dokternya karena rasa terkejut dan kekhawatiran nya.
Sepuluh tahun yang lalu saat hari kelulusan kita, bertepatan dengan hari keberangkatanmu ke Amerika Viona dan papanya mengalami kecelakaan mobil. Papanya meninggal dalam kecelakaan itu dan Viona terbangun dari coma nya setelah tiga bulan. Hal terakhir yang ia ingat adalah disaat Papanya mengantarkan Viona dihari pertama ia masuk SMA. Dengan tawa lebar ayahnya, dan keceriaan Viona. Lalu semuanya berubah menjadi putih seperti kertas kosong, putih yang membuatnya frustasi karena semua orang mengatakan...tiga tahun sudah berlalu semenjak ia tertawa dengan papanya seperti itu.
Tiga puluh menit kemudian Adi berlarian kencang mengelilingi taman kota yang ditumbuhi pohon-pohon besar nan rindang. Napasnya memburu dan tidak ia pedulikan keringat yang mengucur dipelipisnya.
Tiba-tiba ia bersembunyi dibalik pohon, napasnya terengah-engah. Perlahan-lahan ia mengintip pada taman bermain di seberang pohon tempatnya bersembunyi.
Apa dia sudah mengingat sesuatu?
Belum, dokter menyarankan nya untuk melakukan operasi. Tapi kau tahu...jika Viona menjalani operasi maka kemungkinan besar ingatannya akan pulih... termasuk ingatan bagaimana ia mengalami kecelakaan bersama papanya. Dia belum siap untuk mengingat kejadian itu kembali.
Adi menggenggam batang pohon didepannya. Hatinya sudah sangat lega ketika ia melihat Viona baik-baik saja. Bagaimana ia bisa meminta lebih. Tidak apa, mereka bisa bertemu kapan saja.
Ia mengintip kembali, kali ini dengan senyum yang merekah melihat Viona dan Nino bermain dan tertawa bersama.
"Kau tidak pernah berubah. Selalu puas dengan kebahagiaan kecil. Kadang aku ingin kau bisa sedikit serakah dan meminta semua kebahagiaan untuk dirimu sendiri."