Saras mendekati anaknya yang sudah basah dengan keringat karena permainan tangkap bola dengan Viona. Ia berjongkok dan mengelap keringat di kening anaknya. Tak lama ia berdiri.
"Viona, kamu ingin makan siang dengan kami?" Saras menawarkan. Viona tersenyum kemudian melihat Nino.
"Nino mau Tante ikut makan sama mama sama Nino?"
Nino terlihat berpikir sebentar kemudian mengangguk menggemaskan, "mau,"
Mereka tertawa.
*
Hidup adalah serangkaian kebetulan. Kebetulan adalah takdir yang menyamar. (FiersaFiersa Besari, Garis Waktu)
Viona berjalan santai menuju lokasi pemesanan ayam goreng kriuk. Kedua tangannya sibuk mengetik di keyboard ponselnya. Sebentar, ia memperbaiki tali tas dibagi kanannya.
"Viona?" suara merdu yang sangat ia kenali menembus gendang telinganya. Membuatnya seperti membeku tak dapat bergerak. Dan sosok bergerak disudut matanya. Sosok yang juga ia kenali.
Viona memberanikan diri mengangkat wajahnya. Benar dugaannya. Pinkan dan Gibran ada dihadapannya sekarang. Mereka berdiri dengan sangat dekat seperti tidak ada celah untuk lewat diantara mereka berdua. Ingin tertawa rasanya. Viona memutar kedua bola matanya dan benar-benar tertawa.
"Haha... Kebetulan sekali?" Viona mengawali pembicaraan dengan riang. "Kalian sedang makan siang?"
"Viona aku menghubungimu beberapa kali," pria disebelah Viona mulai berbicara dengan nada suara yang tegas. Ya, nada ini yang sering ia dengar dari Gibran. Suara mengintimidasi atau memerintah. Entah kenapa Viona merasa sangat muak.
Viona melihat ke arah Pinkan. Wanita itu tampak sedikit pucat. Viona menenangkan diri secara diam-diam.
"Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya Viona lembut. Ya, bagaimanpun Pinkan adalah teman Viona. Persahabatan mereka lebih penting daripada urusannya dengan Gibran.
"Aku sudah lebih sehat sekarang. Aku jadi merasa malu karena terlihat begitu lemah."
Viona tersenyum dan menggeleng.
"Pekerjaanmu sangat berat. Wajar saja jika kamu sakit. Oh ya bagaimana keadaan Bintang?"
Pinkan tampak terkejut, Gibran mengangkat alisnya.
"Kau tahu Bintang?"
"Ya, aku bertemu dengannya sekali,"
"Dia lebih baik sekarang. Terimakasih sudah mengkhawatirkannya."
"Bukan apa-apa." Viona kembali melihat Gibran yang masih memandangnya dengan heran. Lalu kembali melihat Pinkan.
Ia menepuk lengan kekar Gibran yang terbalut kemeja hitamnya. Pria itu mengarahkan pandangan kepada tangan lembut Viona. Lalu melihat ke wajah Viona yang sekarang tersenyum ke arahnya. Gibran merasakan sekujur tubuhnya membeku. Ia belum merasakan hal ini sebelumnya. Meski wanita cantik itu tersenyum tapi kedua matanya tampak dingin, sedingin es. Itu bukan tatapan Viona yang ia ketahui.
Viona melirik arloji ditangan kirinya.
"Kalian harus bergegas. Waktu makan siang hampir berakhir."
"Selanjutnya..."
Mereka menengok ke penjaga counter. Perlahan Viona melepaskan jemarinya yang lentik dari jas yang membalut lengan kekasihnya. Ia berjalan melewati Gibran dan mendekati counter.
"Vi..." Gibran hendak meraih tangan Viona tapi Pinkan lebih cepat menahannya.
"Gibran ayo..." suara merdu Viona membisikkan sesuatu ditelinga Gibran kemudian mereka pergi.
Viona menyebutkan pesanannya kepada penjaga counter tanpa menengok kembali ke belakang. Ia sangat takut. Ia sangat ketakutan.
.
.
"Mengapa kamu menyukai Gibran seperti itu? Dia bukan tipe orang yang bisa memberikan perhatian yang semua wanita inginkan." Tanya Pinkan sambil menyruput pop-cappucino-ice nya di depan stand minuman. Sambil menunggu pesanan yang lain. Viona menatap Gibran yang jongkok di depan komedi putar. Sangat imut.
"Siapa bilang dia harus memberiku perhatian? Jika dia tidak bisa memberiku perhatian maka aku yang akan memberinya perhatian. Asalkan dia ada di sampingku itu sudah cukup."
"Bagaimana kau bisa begitu yakin, Viona? Kalian baru bertemu sepuluh menit yang lalu."
"Kau percaya cinta pada pandangan pertama, Pinkan?"
"Viona, jangan gila..."
"Bagaimana cinta bisa tidak gila, Pinkan..."
"Tetap saja cinta tidak bisa sepihak, Viona." Pinkan kembali dari awal, "Perhatian adalah bukti dari dua orang yang saling mencintai..."
.
.
"Ini, mbak. Tujuh puluh lima ribu..."
"Oh ya,..." Viona menggeledah isi tasnya dan mulai membayar setelah ia menemukan dompetnya.
Dengan nampan ditangannya ia berjalan ke tempat duduk Saras dan Nino. Ia menghela napas lega karena Gibran tidak ada disekitar sini. Mungkin mereka berada di ruangan lainnya.
"chicken wings for Nino!" Viona duduk dihadapan ibu dan anak itu. Mereka mulai makan dan mengobrol bersama. Dalam hati Viona merasa sangat familiar dan luar biasa bahagia. Mungkin karena Saras tidak canggung terhadapnya dan dulu mereka sering melakukan hal ini. Sedikit demi sedikit Viona merasakan hidupnya kembali. Dan ia ingin terus merasa bahagia seperti saat ini. Viona tidak menginginkan hal lain lagi.
Aku bahagia
Hanya dengan melihatnya tersenyum kepadaku
Namun jika, keberadaan ku membuat raut wajahnya begitu terluka
Aku rela meninggalkannya
Aku akan mundur dari sisinya
Aku akan menjauh dari tempat yang sering ia kunjungi,
Agar senyum menawan yang aku rindukan itu
Dapat kembali dipipinya
Tanpa aku harus ikut melihatnya
.
Viona melambaikan tangannya melihat mobil yang menjemput Saras dan Nino pergi menjauh. Senyumnya tidak bisa hilang dari wajahnya bahkan hingga mobil itu tidak terlihat lagi.
Viona berjalan menuju basemen. Ia melihat arloji ditangannya, sudah pukul dua. Ia tidak menyadarinya. Ini pertama kalinya ia bolos bekerja. Rasanya sangat menyegarkan. Ia menarik napas dalam lalu menghembuskannya.
tuk tuk tuk, ia mendengar sendiri suara higheelsnya bersentuhan dengan lantai basemen dan menggema di dinding. Hari masih siang tapi basemen terlihat gelap. Hanya ada beberapa lampu penerangan. Entah kenapa ia sedikit takut terlebih tidak terlihat siapapun selain dirinya yang sedang menggunakan basemen. Ia berjalan cepat dan mulai terdengar suara langkah kaki mengikuti. Langkahnya sangat tegas dan panjang, Viona tidak berani melihat ke belakang.
"Ahhhh..." tiba-tiba ia merasakan tangannya ditarik dan mendadak semuanya berkelebat cepat. Buk... sesuatu dibelakang punggungnya menghantam pilar tebal di basemen dan kemudian tubuhnya seperti terdorong di pilar itu.
Sebuah tangan? Ia merasakan tangan itu melindunginya agar tidak menghantam langsung ke pilar tetapi Viona tetap merasakan seluruh tubuhnya kesakitan.
Seseorang berdiri tepat didepannya dengan jarak yang sangat dekat. Jantung Viona berdetak kencang karena setengah berlari menghindari orang ini, tapi dia tetap dapat mengejar bahkan menahan Viona. Napas mereka memburu.
Viona memejamkan kedua matanya rapat, ia sangat ketakutan.
Tiba-tiba orang itu mengelus rambut Viona lembut,
Viona terkejut dan langsung membuka kedua matanya. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya...