Suasana yang dingin ini,
"Apa aku pernah mengatakan kepadamu bagaimana kedua orang tuamu tiada?"
Di dalam perpustakaan kakeknya, Gibran berdiri tegak dan mendengarkan apa yang orang tua itu katakan semenjak tiga puluh menit yang lalu.
"Di suatu malam yang tenang, sama seperti saat ini. Tiba-tiba suhu tubuhmu sangat tinggi dan mereka segera membawamu ke rumah sakit. Tidak tahu mengapa seorang anak mengalami demam di musim panas. Mereka pergi dengan terburu-buru mengabaikan keamanan mereka sendiri..."
"Aku tahu. James mengatakan nya..." Brakkk. File tebal melayang mengenai wajah Gibran. Sampul buku yang tajam menggores pipinya. Gibran merasakan perih dan darah segar segera mengalir. Sial.
"Kalau kau sudah tahu kenapa kau masih terus bermain-main. Kenapa kau selalu membuat masalah. Kenapa kau mendekati cucu dari orang brengsek itu...!!!"
"Aku punya caraku sendiri untuk membalas dendam kepada mereka."
"Aku tidak peduli rencana bodohmu itu! Aku hanya ingin kau pulang dan meneruskan bisnis keluarga ini. Aku yang akan membalas mereka!"
Gibran menatap kakeknya tanpa gentar.
"Aku akan menghancurkan mereka dengan tanganku sendiri!" Katanya penuh amarah.
"Hah...jangan melakukan sesuatu yang tidak bisa kau kendalikan, Zagar! Atau kau sendiri yang akan kehilangan kendali."
"Aku bisa mengendalikan diriku sendiri."
"Aku memang sudah tua tapi bukan berarti mataku menjadi rabun. Kau pikir bisa membodohiku sementara kau tidak bisa melepaskan pandangan darinya."
Gibran mengernyitkan keningnya, "Kau memata-mataiku?"
"Sekarang kau marah?...kenapa?..karena kau tidak bisa membohongi dirimu lagi?" kakek menatap tajam pada mata Gibran.
Pria tinggi itu terdiam. Suasana perpustakaan besar itu menjadi sunyi. Dua insan, kakek dan cucu berdiri berjauhan terperangkap dalam pikirannya sendiri.
***
Angin kencang berhembus diantara pepohonan dan awan di langit.
Ada yang terus menggelitik pikiranku. Sesuatu yang terasa sangat dekat dan aku tidak dapat menghilangkan segala prasangka buruk.
Aku terus berlari dan menghindar. Berusaha menyelamatkan diri. Hingga suatu waktu, kenyataan itu muncul dihadapanku.
Suara gesekan keras terdengar di simpang empat jalanan. Tepat seratus meter dari Museum Indrayan. Tabrakan beruntun yang melibatkan dua mobil hitam dan silver beserta keempat kendaraan dibelakangnya. Pukul sembilan belas lebih empat puluh lima menit. Bersamaan dengan hujan pertama bulan ini.
Viona yang berdiri di trotoar jalan membeku dengan kedua mata terbelalak. Ia menatap pemandangan yang signifikan, kepulan asap mesin dan air dari langit bercampur digelapnya malam. Cairan gelap mengalir disela-sela kendaraan. ia bisa menebak apa itu melalui bau amis yang menyeruak walau air hujan mencoba menyamarkannya. Orang-orang mulai berkerumun dan beberapa mobil berjalan pelan melewati lokasi kecelakaan.
Seluruh tubuh Viona menggigil. Perlahan ia memeluk tubuhnya sendiri dan mencoba meninggalkan tempat itu. Tapi seolah kedua kakinya terpaku di aspal. Ia tidak bisa bergerak.
Airmatanya meleleh tanpa alasan. Ia merasakan tajamnya air hujan menghujam kulitnya.
"Gibran, kamu dimana..." gumam Viona ditengah isaknya. Pikirannya dipenuhi dengan peristiwa-peristiwa yang tidak ia ingat namun sangat jelas membuat kepalanya sakit.
Sebuah mobil berhenti dan pria berjas menghampirinya. Pria itu memegang bahu Viona. Viona menangkisnya kasar.
"Lepaskan aku!!! Pergi!!!" teriak Viona histeris. Tangisnya semakin menjadi-jadi. Pria itu memegang kedua bahu Viona lagi.
"Viona ini aku!"
"Pergi..."
"Viona lihat aku!" ia mengguncangkan tubuh Viona keras, mencoba mengembalikan kesadaran wanita itu. Viona melihat wajah pria itu. Tapi kemudian tubuhnya menjadi sangat lemah dan ia kehilangan kesadaran. Pria itu segera menangkap tubuh Viona dan membawanya masuk ke dalam mobil.
*
Sesampainya di rumah sakit seorang dokter memeriksa keadaan Viona. Viona datang dengan keadaan basah kuyup jadi seorang perawat mengganti pakaiannya dengan pakaian rumah sakit.
"Bagaimana keadaannya, dokter?" pria itu mendesak dokter yang baru saja memeriksa keadaan Viona.
"Kondisi badannya sangat lemah seperti tidak mengkonsumsi nutrisi yang cukup selama beberapa hari terakhir. Ia juga memiliki banyak tekanan stress. Apa anda keluarganya?" tanya dokter itu.
"Saya temannya, dok. Kami teman dekat!"
"Apakah anda bisa menghubungi salah satu keluarganya?"
"Kenapa? Anda tidak bisa mengatakannya kepadaku?"
Dokter dihadapannya terdiam sejenak.
"Kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap pasien dan kami membutuhkan persetujuan dari keluarganya."
Pria itu menarik kerah dokter dengan tiba-tiba. Para perawat terkejut dan mencoba menenangkannya.
"Apa yang kau bicarakan dokter? Dia hanya kehujanan. Lakukan semua pemeriksaan dan beri dia obat. Dia akan sembuh dalam beberapa hari."
"Tuan, tenang! Ini hanya beberapa prosedur rumah sakit."
"Steve, lepaskan dia!"
Semua pandangan mengarah pada Viona yang berbaring diranjang rumah sakit. Pria itu spontan melepas kerah jas dokter itu kemudian menghampiri Viona.
"Viona, kau baik-baik saja? Apa ada yang sakit? Kenapa kau sangat pucat? Dokter lakukan sesuatu."
"Steve..."
"Iya?"
"Tenanglah," katanya lemah. Steve menjadi diam. Viona menoleh dokter itu.
"Dokter, bisa beri kami waktu?"
"Baiklah, saya akan kembali dalam satu jam."
Viona mengangguk kemudian dokter dan perawat itu pergi. Viona meraih tangan Steve. Pria itu terkesiap seakan terbangun dari pikirannya. Ia tersenyum canggung dihadapan Viona.
"Kau butuh sesuatu?"
"Ya..."
"Kamu bisa mengatakannya kepadaku."
potongnya cepat.
"Duduk lah!" kata Viona lirih. Steve terheran, namun ia tetap duduk disamping Viona.
"Aku baik-baik saja, Steve! Berhenti merasa cemas."
"Tapi kau pingsan dihadapanku. Aku tidak pernah melihatmu selemah itu sebelumnya."
Viona tertawa, "kita hanya bertemu selama enam bulan, Steve. Kau tidak tahu segalanya tentangku."
"Tetap saja, ada apa denganmu? Kenapa dokter itu begitu serius?"
"Semua dokter memang serius, Steve!"
Steve menggeleng, "tidak bisa. Aku akan menelpon Gibran, dia akan tahu apa yang ha..."
Viona menelan ludahnya.
"Jadi kau tidak mau merawatku lagi?" Viona bersikap semanja mungkin dihadapan Steve.
"Kau..." Steve terhenti. Viona menatap Steve dengan mata kittynya yang menggemaskan. Steve menghela napas berat.
"Kalian sedang ada masalah?" tanya Steve. Viona menggeleng.
"Lalu kenapa kau selalu menghalangiku memberi tahu Gibran tentang dirimu?"
"Memangnya kamu apa? Seorang pengirim pesan?"
"Viona..."
"Aku tidak butuh pengirim pesan. Dia bisa mengetahui semua tentangku, tetapi jika dia mau..."
"Kau tidak bisa menyimpulkannya seperti itu. Hubungan antara dua orang ada untuk saling dibicarakan. Kita tidak bisa meminta pasangan kita untuk mengerti apa yang ada dipikiran kita tanpa membicarakannya."
Viona tersenyum, "jadi aku harus mengatakan apa yang ada dipikiranku kepada Gibran?"
"Tepat sekali."
"Tapi bagaimana jika dia tidak ingin mendengarkan?" tanya Viona setengah menggoda. Ia ingin tahu jawaban orang sok bijak ini.
"Gibran memiliki pengendalian diri yang baik. Dia akan mendengarkanmu dan menganalisa keadaan. Keputusannya tidak akan mengecewakanmu." Kata Steve yakin. Viona tertawa.
"Baiklah, aku mengerti. Aku akan bicara kepadanya."
"Bagus." Steve tersenyum. Ia membantu Viona membetulkan posisi duduknya untuk segera makan malam dan minum obat.
Satu jam kemudian dokter datang kembali saat Steve keluar untuk membeli cemilan malam pesanan Viona. Dokter menjelaskan kondisinya dengan detail. Viona mendengarkannya sambil sesekali mengangguk dan menjawab pertanyaan dari dokter.
"Anda yakin dengan apa yang anda katakan?" dokter itu memastikan.
Viona mengangguk, "aku akan lebih berhati-hati dengan kesehatan ku. Tidak perlu mengatakannya dengan anggota keluargaku. Aku bisa menjaga diriku sendiri."
"Tetap, anda tidak boleh sendiri disaat yang seperti ini."
"Aku pernah terdaftar di rumah sakit ini, dokter. Aku juga sudah berbicara dengan beliau tentang kondisiku. Aku akan terus rutin berkunjung kemari, dokter tidak perlu khawatir."
"Baiklah jika itu keputusan anda,"
Dokter itu keluar dari kamar yang Viona tempati.
Viona melihat langit-langit putih diruangan itu. Memandang kosong. Kepalanya juga terasa kosong. Ia tidak dapat memikirkan apa-apa lagi. Ia hanya ingin beristirahat. Sangat lelah.
***