Bagian 18
Tok tok tok
Viona mengalihkan pandangan ke pintu keluar, Steve masuk dengan dua tas besar belanjaan yang Viona yakin isinya cemilan semua. Ia tidak tahu bagaimana jalan pikiran Steve yang menganggap baik-baik saja memberi pasien cemilan sebanyak itu.
Steve meletakkan cemilan itu di atas meja yang terletak di samping tempat tidur.
"Nah...sekarang kamu nggak akan merasa berada di rumah sakit lagi. Semua yang kubeli hasil rekomendasi teman-teman perempuan ku jadi kau pasti suka." Steve tersenyum ceria dihadapan Viona. Yang disenyumin membalas dengan cengiran.
"Bukankah lebih mudah jika kau bertanya kepadaku? Secara aku yang memintamu membelikan cemilan..." Kata Viona. Steve menatap Viona, wanita itu balas menatapnya.
"Hehe..." Steve tertawa, Viona nyengir lagi. Tiba-tiba ponsel Steve berbunyi, ia merogoh saku celananya.
"Brian..." kata Steve sambil mengangkat panggilan itu. Viona melihat Steve.
"Kau sudah sampai?" Tanya Steve, Viona mengerutkan keningnya. "ok, aku segera keluar. Jangan godain perawat di sana ya.... Tanpa aku.. Hehe." Steve menoleh Viona yang menatapnya kesal, ia mengangkat tangannya meminta Viona untuk tenang. Panggilan berakhir.
Steve mengeluarkan sebuah kunci mobil dan menyerahkannya pada Viona. Viona menerima kunci miliknya itu.
"Mendadak Gibran ada urusan dengan kliennya jadi memintaku menjemputmu. " terang Steve ramah.
Viona hanya mengangguk lalu menatap kunci yang berada dalam genggamannya.
"Dia sangat sibuk. " gumam Viona muram. Tiba-tiba Steve merasa bersalah melihat raut wajah Viona yang seperti itu.
"Dia tidak punya pilihan... dia ingin menjemputmu. Beneran." Pria itu mencoba menghibur.
Viona tersenyum, "aku nggak pa pa, Steve. Bener" elak Viona, Steve mengangguk. Ia tidak bisa mengatakan hal lain lagi kalau Viona sudah berkata seperti itu.
"Kamu yakin tidak ingin memberitahu Gibran? Kondisimu sepertinya lebih serius dari ini. "
"Aku akan pulang besok pagi, ada temanku yang menjemput jadi kamu nggak usah khawatir. "
"Ok, aku pergi..."
Viona mengangguk.
Ia menatap punggung Steve yang menghilang dibalik pintu. Memandang keseluruh ruang kamarnya kemudian memutuskan untuk tidur.
***
Viona pernah berpikir bahwa ia sangat mencintai Gibran. Apapun rintangannya ia akan menghadapinya karena mendiang papanya pernah mengatakan bahwa Viona harus mengejar apa yang dia inginkan dengan percaya diri, satu-satunya ucapan yang ia ingat sepuluh tahun yang lalu.
*
Malam itu,
Kraasshhh...
Suara gesekan keras terdengar di simpang empat jalanan. Tepat seratus meter dari Museum Indrayan. Tabrakan beruntun yang melibatkan dua mobil hitam dan silver beserta keempat kendaraan dibelakangnya. Asap putih mengepul di mana-mana, air hujan tidak mampu menutupinya.
Kedua mata Viona terbelalak menatap kecelakaan yang terjadi di depan matanya, cairan gelap mengalir disela-sela kendaraan. Ia bisa menebak apa itu melalui bau amis yang menyeruak walau air hujan mencoba menyamarkannya.
Kepala Viona berdengung dan bayangan-bayangan peristiwa mulai menjejali memorinya seperti sebuah film. Ia mendengar suara dentuman keras, suara klakson kendaraan yang tidak ramah dan berbagai suara lainnya yang mulai Viona ingat.
10 tahun yang lalu.
Viona dan papanya berada dalam mobil, antara puluhan mobil lainnya yang juga terjebak kemacetan. Matahari bersinar terik siang ini dan mobil yang mereka kendarai hanya bergerak sejengkal sejak tiga puluh menit yang lalu.
"Papa yakin Adi mau menemui Ona?" Gadis yang baru saja lulus sekolah menengah atas itu bertanya dengan nada lirih. Papa menoleh Viona.
"Kenapa Adi tidak mau menemuimu?"
"Terakhir kita bertemu aku sangat marah kepadanya dan menyamakan dirinya seperti mama yang tidak pernah punya waktu untuk Ona. Aku mengatakan hal-hal yang buruk kepadanya, dia pasti sangat marah."
"Kalian berteman dengan baik selama dua tahun, Adi anak yang baik dan selalu menuruti kemauanmu. Kalau dia marah kenapa? Artinya giliran Ona yang harus membujuknya. Asalkan meminta maaf dengan tulus papa yakin Adi akan memaafkanmu." Papa tersenyum kearah anak semata wayangnya. Gadis itu membalas senyuman papanya.
"Jangan takut." Hibur papa.
"Apa Adi akan menerima cinta Ona" tanya gadis itu polos. Papa tertawa, Viona segera memukul lengan papanya kesal.
"Aduh"
"Viona serius, pa!"
Papa berpikir sejenak kemudian menatap putrinya dengan serius.
"Jika Ona benar-benar mencintai Adi maka kamu harus mengejarnya dengan percaya diri. Jangan menyerah...karena sakit hatinya kehilangan cinta yang ditolak tidak akan sesakit kehilangan cinta yang tidak diungkapkan sama sekali. Mengerti?"
Viona tersenyum, energi positif seperti mengalir di dalam darahnya. Ia mulai membayangkan pertemuannya dengan Adi lagi. Menatap wajah tengil dan ekspresi bodoh saat mengetahui Viona mengejarnya ke bandara. Membayangkannya saja sudah membuat Viona sangat bahagia.
"Tapi dia akan segera pergi, apa kita akan sampai tepat waktu?" Viona melihat ke sekeliling mobilnya. Papa melihat jam ditangan kirinya. Ia menyetir mobilnya ke sisi jalan lainnya.
"Kita lewat jalan alternatif saja."
"Tapi kudengar..."
"Suuut, tidak apa-apa. Papa akan berhati-hati."
Ona mengangguk.
Jalan alternatif yang papanya katakan memang lebih sepi dari jalan utama, tapi kondisi aspalnya sudah sangat buruk dan banyak mobil konstruksi dan mobil berat lainnya yang berlalu lalang disana. Jarang ada mobil biasa yang lewat kesana kecuali sudah hafal betul medan jalanan itu. Dan papa Ona baru pertama kali melewati jalan itu dalam kondisi terburu-buru...
BHUUMM, Krashhhh...
Asap mengepul di mana-mana. Viona membuka mata dan terkejut melihat posisinya yang terbalik. Sekujur tubuhnya sakit dan ia tidak bisa bergerak. Ia merasakan sesuatu mengalir di kepala dan pelipisnya. Perlahan ia memaksakan dirinya menatap melihat ke samping, syok segera menyerangnya....
"Papppaaaaaaaa!!!!! " Viona menjerit sekuat tenaga. Kepalanya berdengung keras. Saat itulah semua suara yang mulai hadir berkecamuk di dalam kepalanya. Pandangannya menjadi buram membuatnya mulai menangis...sesaat sebelum kesadarannya benar-benar menghilang.
.
.
.
Tempat ini lagi
Perasaan ini lagi
Ruang tanpa ujung dan hanya bola putih besar yang ada dihadapannya.
Viona mendekati bola itu, tidak seperti sebelum-sebelumnya, kali ini ia hanya menyentuh bola itu dengan sebelah tangannya, tak lama retakan halus membelah bola itu menjadi empat bagian. Sosok wanita serupa Viona membuka mata dan berdiri di dalam puing-puing bola itu.
Ia tersenyum nanar, dibalas senyuman tulus dari Viona, tak terasa airmata Viona meleleh.
"Maaf kamu mengingatnya, Ona. Aku sempat berpikir untuk tidak mengganggumu lagi."
"Bagaimana bisa kamu menggangguku? Kamu bagian diriku, ingatan-ingatan indahku..."
"Tapi kamu akan terluka sekali lagi."
"Aku akan mengatasinya."
.
.
.
*
Brian dan Steve menginjakkan kaki di bar ketika pandangan mereka tertuju pada James yang sedang berbicara dengan Gio, si pemilik bar. Dan disampingnya Gibran sudah sangat mabuk. Pria itu menenggelamkan wajahnya pada meja bar dikelilingi dengan gelas-gelas minuman yang telah kosong. Sesekali wanita-wanita cantik menghampirinya dan mencoba mengajak Gibran berbicara. Namun pria itu sama sekali tak bergeming.
Keduanya saling berpandangan.
James mendekati Gibran dan membisikkan sesuatu padanya, tak butuh waktu lama Gibran langsung berdiri dan berjalan menuju ruangan yang lebih dalam. Steve dan Brian mengikuti.
Mereka memasuki ruangan VVIP di baru tersebut, Gibran langsung melemparkan diri di sofa besar sudut ruangan. James menunduk dihadapan Brian dan Steve kemudian meninggalkan ruangan.
Dua rekan kerja Gibran itu mengambil botol ~champagne~ yang telah disiapkan di meja dan mulai menikmati minuman mereka. Menunggu tuan muda itu bangun sendiri dari tidurnya.
"Apa yang kamu katakan pada Viona?" suara rendah Gibran membuat Steve menoleh. Mata pria tampan itu masih terpejam tapi rupanya ia tidak tidur.
"Aku bilang kau ada urusan pekerjaan, sebenarnya kau ingin menemuinya tapi urusan ini sangat mendesak."
Gibran terkekeh, ia bangkit dari sofa dan mengambil minuman lainnya. Ia menuangkan minuman itu ke gelas dan langsung meneguknya sampai habis.
Brian hanya mengamati mereka tanpa berkata apa-apa.
"Orang itu bilang aku harus menjauh dari Viona dan fokus ke perusahaan. Kenapa dia begitu peduli? Aku tidak menginginkan kekayaannya, aku hanya ingin dia membantuku membalas dendam kepada Indrayan."
Steve memandang kosong, "mungkin yang Presdir katakan benar, kamu harus melepaskan Viona."
Gibran melihat Steve tak percaya. Steve menenggak minumannya.
"Apa yang kau katakan?" intonasi suara Gibran menjadi dingin. Steve menoleh ke arahnya tanpa rasa takut.
"Kebenaran."
Gibran menegakkan posisi duduknya, matanya yang tajam menjadi satu karena banyaknya alkohol yang telah ia minum. Dalam kondisi mabuk seperti itu Steve sebenarnya tahu ia tidak boleh memprovokasi Gibran. Gibran menjadi pribadi yang sangat menakutkan saat mabuk. Ia tidak melepaskan siapapun yang menentangnya. Tapi entah kenapa Steve menjadi tidak takut.
"Kau dan Pinkan tahu aku menerima cintanya untuk membalas dendam kepada keluarganya!!!" Suara Gibran meninggi. "Aku ingin mereka merasakan ketidakberdayaan seperti yang selama ini aku alami, rasa sesak yang terus merong-rong dadaku tidak tahu cara mengeluarkannya. Aku ingin menjadi ancaman bagi mereka, setiap saat, setiap waktu. Seperti Duri di tenggorokan yang sangat dibenci namun tidak bisa mereka keluarkan. Viona satu-satunya kesayangan Indrayan, aku harus menghancurkannya..."
"Maka hancurkan dia!" Steve memotong kata-kata Gibran. Gibran memutar kepalanya cepat ke arah Steve.
"Bukankah ini kesempatan paling bagus. Saat ini Viona sedang sangat mencintaimu, Kau bisa langsung menghancurkannya dengan mengatakan kau ingin berpisah, Indrayan juga akan menderita melihat cucunya hancur ditanganmu. Viona akan benar-benar hancur..."
PRANNNNGGGG
Gibran berdiri dan melempar gelas ke arah Steve. Beruntung Steve hanya menerima goresan kecil di pipinya sementara gelas itu pecah berantakan jatuh di lantai. Steve tak bergeming, ia hanya mengusap darah yang terlanjur keluar melalui lukanya.
"Bro..." Brian yang dari tadi mabuk dan santai menjadi waspada. Sepertinya ia berada dalam percakapan yang sensitif dan tidak tahu harus bersikap bagaimana.
Gibran mengambil botol minuman dan langsung menenggaknya. Ia kembali bersandar pada sofa besar dan menutup kedua matanya.
Raut wajahnya berubah sedih.
"Aku benar-benar akan menghancurkannya, percaya padaku Steve!"
Kali ini Steve tidak menimpali.
"Kau tahu," Gibran merubah lagi nada bicaranya, "dalam perjalanan kemari aku melihat seorang anak laki-laki di depan toko permen yang sudah tutup, aku bertanya-tanya apa yang ia lakukan disana? Lalu seorang pria datang, apakah pria itu orang jahat? Tetapi anak itu menoleh kepadanya dan mulai merajuk...rupanya dia ingin makan permen yang ada di toko itu, tapi tokonya sudah tutup. Lucu sekali. " Gibran tertawa kecil.
"Aku juga ingin melakukan hal yang sama kepada ayahku. Ayah akan memarahiku karena aku keras kepala dan ibuku akan datang untuk membela ku" terawang Gibran, cairan bening membasahi rahang tegasnya.
Brian dan Steve melihatnya. Jarang mereka melihat Gibran yang seperti itu. Wajahnya yang kasar berubah menjadi sangat manis membuat Steve merasa bersalah telah memprovokasinya tadi. Gibran pasti sangat tersiksa dengan perasaan semacam ini, dendam yang bersemayam dihatinya mutlak karena kematian mereka yang tidak wajar. Karena peristiwa dimasa lalu Gibran tidak pernah merasakan cinta dari orangtuanya.
"Kita bisa mencari cara lain untuk menghancurkan Indrayan, Viona..."
Mata Gibran tiba-tiba terbuka, pandangannya berubah ganas.
"Jangan katakan apa-apa Steve, aku akan melakukan apa yang telah aku rencanakan selama ini. Kau juga jangan berteman dengannya atau dia juga akan memanfaatkanmu untuk mendekatiku. Kau sangat suka dimanfaatkan bukan?"
Steve kesal dan menenggak minumannya.
"Ya ya, siapa yang bisa merubah keras kepalamu. Aku tidak akan menjadi teman Viona. Aku tidak akan membawanya ke rumah sakit dan membiarkannya tergeletak di jal...Shit..." seperti tersadar akan kata-katanya Steve menghentikan ucapannya, ia menoleh ke arah Gibran yang ternyata sudah lebih dulu menatapnya dengan ekspresi terkejut yang sangat menakutkan.
"Apa katamu?" suara dingin itu seolah membekukan tubuh Steve. Apa yang harus ia lakukan sekarang?