Chereads / Selaras Rasa (The Same Love) / Chapter 18 - Bagian 16

Chapter 18 - Bagian 16

POV Gibran

Pinkan mempunyai teman baru. Namanya Viona. Pinkan memperkenalkan kita enam bulan yang lalu. Catat. Orang yang baru bertemu selama enam bulan belum bisa dibilang teman. Dia masih orang asing bagiku.

Dan orang yang begitu asing bagiku mulai merambat masuk ke dalam persahabatan kami bertiga. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan, aku tidak tahu bagaimana Pinkan dan Steve bisa begitu tertarik dengannya. Bagiku, dia hanya seperti wanita kebanyakan. Menganggu.

Aku dibesarkan di lingkungan panti asuhan. Disana aku bertemu Steve saat berusia tujuh tahun dan Pinkan ketika empat belas tahun. Hidupku telah teratur dengan rapi semenjak aku berusia lima belas tahun. Aku tahu setiap langkah apa yang harus aku lakukan karena cerita kehidupanku terungkap saat tidak ada yang lain selain ambisi dalam kehidupanku. Steve mengetahuinya dan Pinkan lebih mengetahuinya. Mereka adalah kekuatanku namun juga kelemahanku. Mereka menjaga rahasiaku, namun tidak menutup kemungkinan mereka bisa mengungkapku kapan saja.

Aku...

.

.

.

*

Beberapa tahun yang lalu

Tiga mobil hitam mewah memasuki halaman panti asuhan secara berurutan. Semua anak-anak yang sedang bermain seolah terhenti bersamaan dengan para pria berjas keluar dari dalam mobil. Mereka berjalan menuju kantor ketua yayasan.

Steve remaja yang sedang duduk di pagar beton dan menggantungkan kakinya langsung meloncat dan berlari keluar dari panti asuhan.

.

Kita kembali ke ruang kantor ketua yayasan. Para pria berjas berdiri disamping pintu keluar dan ketus yayasan beserta seorang pria tua duduk berseberangan di sofa ruangan. Suasana dingin mencekam dan hanya beberapa kali suara dehaman yang terdengar. Ketua yayasan nampak gemetar berhadapan dengan seseorang berkedudukan tinggi sepertinya dan tanpa seizinnya ia tidak berani bersuara.

"Benar, Zagarino berada disini?" tanya pria tua itu dengan suara rendahnya.

"Benar, tuan!" jawab salah seorang berjas yang diketahui sebagai ketua bodyguard.

"Ah, ya ya..." pria tua itu menerawang sambil mengetuk-ketukan tongkat penyangga tubuh ketika beliau berdiri. Ketukan yang membuat bulu kuduk merinding. Mereka tidak berani menebak apa yang ada dalam pikiran pria itu.

"Lima belas tahun lalu keluarga kami sedang dalam keadaan sulit. Tender yang mempertaruhkan semua kekayaan kami kalah telak karena lawan perusahaan menggunakan cara yang licik. Aku kehilangan putraku dan menantuku. Dan aku kira aku juga telah kehilangan cucu laki-laki ku. Anda... berperan besar dalam menyelamatkan keturunan keluarga kami."

Beliau melambaikan tangan dan salah seorang bodyguard meletakkan tas hitam yang ketika dibuka berisi banyak uang. Ketua yayasan terkejut bukan kepalang.

*

"Gibran... Gibrannnn!!!" Steve berlari-lari di antara tanah berbatu dan gedung-gedung yang masih setengah berdiri. Teriakannya menghentikan aktivitas Gibran yang sedang mengaduk semen dan pasir di proyek pembangunan. Gibran mengusap peluhnya dan melihat Steve yang sudah berada dihadapannya sambil memegang kedua lutut dan terengah-engah.

"Ada apa?" tanya Gibran yang tengah berusia lima belas tahun. Steve mengatur napasnya lalu berdiri tegak.

"Orang-orang dari bank itu datang lagi. Mereka ingin mengancam ketua yayasan lagi."

Tak lama setelah ucapan Steve sebuah mobil hitam mengkilap memasuki area pembangunan tersebut. Semua pekerja termasuk Gibran dan Steve menoleh hingga pria berjas hitam keluar, ia berkacamata bening dengan frame tipis dan memiliki bentuk wajah oriental.

Pria itu mendekati Gibran dan menawarkan sebuah sapu tangan. Memang wajah Gibran sedang penuh dengan debu akibat semua material bangunan disekelilingnya. Gibran menatap pria dewasa itu sementara Steve membisikkan sesuatu ditelinganya.

"Jangan salah paham, kami bukan berasal dari bank seperti yang teman anda teriakkan." katanya sambil melirik Steve yang menatapnya penuh waspada, "saya James, sekretaris dari tuan Arya Saksena. Dan ada beberapa hal yang perlu saya diskusikan dengan anda. Tentunya tidak ditempat seperti ini dan dihadapan anak yang tidak memiliki kepentingan dalam hal ini." Kata pria itu angkuh. Ekspresi wajah Gibran tetap dingin.

"Dan kenapa aku harus menurutimu?" tanya Gibran masih datar.

"Karena hal ini akan sangat menguntungkan bagi anda," kata pria itu yakin.

Mereka berpandangan. Gibran tidak menjawabnya dalam waktu yang cukup lama seolah ia sedang men-scan segala bentuk ekspresi dan tingkah laku pria itu hingga ia memutuskan untuk mempercayainya. Kening James berkerut.

"Permisi..."

"Akan mendapatkan keuntungan atau kerugian aku yang akan memutuskan. Dan Steve adalah sahabat yang kupercayai jadi tidak usah khawatir. Kau bisa mengatakan apapun itu sekarang juga, di tempat yang seperti ini...atau kita tidak perlu bicara sama sekali."

"Disini?" sekretaris itu tidak yakin. Gibran mengangguk mantap.

"Aku tidak akan mendapatkan hajiku hari ini jika tidak menyelesaikan pekerjaanku." Gibran mengungkapkan kekhawatirannya dengan polos.

James tersenyum tipis. Ia membungkukkan badannya sembilan puluh derajat tepat dihadapan Gibran membuat kedua remaja itu melonjak kaget.

"A...apa yang kau lakukan?"

James menegakkan tubuhnya kembali. Ia memperbaiki letak kacamatanya.

"Maaf tuan muda, saya tidak mempertimbangkan situasi anda. Saya akan menunggu hingga anda selesai bekerja."

.

James benar-benar menunggu Gibran disamping mobilnya. Berdiri tegak sembari Gibran mencangkul-cangkul adonan semennya. Ia juga meyakinkan tidak ada yang terjadi di panti asuhan jadi Gibran bisa bekerja dengan tenang. Steve tidak henti-hentinya merasa heran dan hanya memperhatikan mereka bergantian.

Baru setelah beberapa jam bahkan berhari-hari Gibran menyadari apa yang James terangkan malam hari itu. Selama beberapa hari Gibran masih merasa berada di awang-awang.

James mengatakan bahwa ia adalah cucu satu-satunya yang telah menghilang lima belas tahun yang lalu. Waktu kekacauan terjadi dalam keluarga Saksena. Lawan bisnis kakeknya menyerang mereka secara bisnis maupun personal hingga kedua orang tua Gibran menjadi korban. Selama lima belas tahun Arya Saksena membangun kembali bisnisnya hingga menjadi perusahaan raksasa dan menyebar hingga ke beberapa negara. Hitam dan putih kehidupan berhasil ia lalui. Dan selama itu tidak hentinya ia tetap mencari cucunya yang menghilang. Seperti kedua anak-menantunya, Arya Saksena tidak akan berhenti mencari hingga ia menemukan cucunya baik hidup atau mati. Ia harus melihat dengan mata kepalanya sendiri.

"Kau tahu apa yang kau katakan? Kau pikir bisa membodohi anak berusia lima belas tahun?" tanya Gibran. Kepalanya mendadak sangat sakit tapi ia harus tetap tenang dihadapan orang dewasa bernama James.

"Semuanya sesuai," James menjabarkan semua bukti yang ia miliki di meja di depan Gibran. Bulan kehilangan, bulan ditemukan, bukti fisik dan tingkah laku, karakteristik, jejak, DNA..."

"Bagaimana kau bisa mendapatkan DNa ku?"

"Kami memiliki cara sendiri."

"Kau harus mengatakannya!"

"Saya meminta maaf!"

Mereka saling menatap dengan tajam.

Gibran mengalihkan pandangan dan tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah foto. Ada pria yang memeluk wanita yang sedang menggendong bayi. Ragu Gibran mengambil foto itu. Ia menatap nanar walau sekuat tenaga ia menyembunyikan emosinya.

"Tuan Freddie dan Nyonya Daisy Saksena." Ucap James lembut. Ia sedikit tersentuh melihat Gibran yang bersikap keras dihadapannya kemudian mengurangi kewaspadaannya setelah menatap foto itu.

"Kau tidak berbohong kepadaku bukan?" tanya Gibran lagi.

"Saya tidak berani melakukannya."

"Kapan aku dilahirkan?"

"Pada tanggal 27 di awal musim panas."

"Apa ini aku?" Gibran menunjuk anak kecil itu dengan hati-hati seolah takut akan meninggalkan noda difoto itu.

James mengangguk.

"Aku akan memutuskan mempercayaimu atau tidak. Ceritakan apa yang terjadi kepada keluargaku dari awal sampai akhir!"

"Dari mana aku memulai cerita ini?" James membuka kacamatanya.

"Kau bisa mengatakan nama pemberian orang tuaku terlebih dulu"

"Marvel Zagarino Saksena."

"Penyebab kematian mereka?"

"Kecelakaan mobil."

"Siapa yang melakukannya?"

"Lawan bisnis terbesar kakek anda,"

"Siapa mereka?"

"Pemilik perusahaan besar, penguasa paviliun termegah dan pendiri Museum terbesar di kota ini."

"Indrayan..." ragu Gibran mengatakan nama pria paling terkenal di kota ini.

"Ah...kau juga mendengar tentangnya?"

Sekali lagi, Gibran yang berusia lima belas tahun mengelus foto itu dengan lembut. Kepalanya bertambah sakit dan tidak terasa airmata membasahi pipinya.

Gibran yang hanya dipenuhi rasa dingin dan ambisi seumur hidupnya tiba-tiba menemukan kehangatan dari sebuah foto. Kini ia bisa memamerkan kepada teman-teman dan lawan berkelahinya dijalan bahwa dia juga memiliki ayah dan ibu. Ia bisa ikut bercerita ketika para pekerja di proyek menceritakan tentang anak dan istrinya di rumah. Dan ia bersumpah akan melindungi foto dan kisah masa lalunya dengan sepenuh hati hingga tidak ada seorangpun yang bisa merebutnya kembali.

Ia telah kehilangan kedua orang tuanya.

Ia tidak ingin kehilangan foto itu.

***

Masa sekarang.

Senja.

Lima ratus meter dari Museum Indrayan.

Dua mobil hitam mengkilap menghadang laju mobil milik Viona yang Gibran kemudikan. Gibran mengurangi kecepatan mobilnya dan menatap beberapa pria berjas keluar dari dalam mobil. Terakhir James juga ikut keluar. Mobil Viona berhenti.

Mereka menunggu Gibran keluar dari dalam mobil lalu membungkukkan badan mereka sembilan puluh derajat tepat sebagai rasa hormat. Pandangan Gibran menjadi dingin.

James menegakkan tubuhnya.

"Tuan muda, Tuan besar ingin bertemu dengan anda."

Ranting pohon besar di pinggir jalan bergerak perlahan, dedaunan bergesekan menyebabkan suara-suara gemerisik yang menenangkan. Gibran menutup kedua matanya. Merasakan semilir angin sore menyentuh kulitnya.

.

.

.

Mata Viona dan Gibran bertemu. Gibran mendekati mereka dan bersamaan dengan langkah kakinya, jantung Viona berdetak semakin kencang. Viona memegang dadanya, ia takut jantungnya akan meledak. Gibran mengulurkan permen gulali ditangannya pada Viona. Viona menerimanya.

"Kura-kura mainan kayu..."

"Cakep," bisik Steve dan Pinkan.

"...Nice to meet you," sambung Gibran.Mereka bertatapan, Viona terpana dan hampir tidak mendengar tawa geli Steve dan Pinkan. Ia melangkah kebelakang saking gugupnya.

"Ahh..." Ada genangan air dibelakangnya. Ssstt...tapi dengan cepat Gibran meraih pinggangnya.

.

Viona seperti mendengar alunan musik yang menenangkan, ia tenggelam didalam bola mata gelap itu. Dan tawa anak-anak kecil yang samar-samar. Dan lampu-lampu hias. Dan bianglala dibelakang mereka.

Malam itu pertama kalinya Viona dan Gibran bertemu.

[Bagian 1]

.

.

"Aku akan menjemputmu pukul tujuh." Kata Gibran bersemangat.

"Baiklah, sampai jumpa!" Viona melepaskan sabuk pengamannya, Gibran segera keluar dan memutari mobilnya untuk membukakan pintu untuk Viona.

Viona keluar dari mobil. Tiba-tiba Gibran mengecup keningnya.

"Gibran?" Viona terpekik. Ia melihat sekeliling kalau-kalau ada yang melihat mereka. 

***