Chereads / Selaras Rasa (The Same Love) / Chapter 13 - Bagian 12

Chapter 13 - Bagian 12

Viona masuk ke dalam rumahnya dan langsung mengunci pintu. Ia membekap mulut dengan kedua tangannya demi menahan tangis yang mulai tak tertahankan. Dadanya sesak, ia tidak bisa bernafas saat menyadari lampu ruang tamu belum dinyalakan. Ia hanya melihat kegelapan disegala arah. Suara dering di telpon rumahnya berbunyi. BIP.

"Halo, sayang...mama sudah sampai di Italia. Tante-tante mu mengajak mama untuk berlibur setelah acara fashion show berakhir. Mungkin mama akan menetap disini selama dua Minggu. Jaga diri ya, sayang. Jangan sampai sakit atau mama tidak akan segan-segan memberi pelajaran kepada pengacara berandalan itu! Bye sayang...love you!"  BIP

Viona mempererat bekapan tangannya. Airmata meleleh membasahi jemarinya. Ia ambruk berbaring di lantai. Ia meraba-raba dalam kegelapan. Mengais-ngais sisa harapan terakhirnya. Harapan yang tentu bisa membuatnya kembali kuat dan menerima apa yang telah terjadi seperti mimpi buruk seperti biasanya. Asalkan orang itu bersamanya. Asalkan dia bersedia datang, maka... Viona akan menerimanya.

Tuk.

Ponsel Viona terlepas dari genggamannya. Ia meletakkan kepalanya di lantai dan memejamkan mata, aliran air mata membasahi hidungnya.

.

Drrrrrrrtttt, drrrrrrrtttt

From : Viona

Gibran, apa kamu bisa datang sekarang?

Aku merindukanmu.

***

"Ada apa?" Gibran meletakkan dua cangkir teh di atas meja ruang tamu. Pinkan hanya tersenyum dan menggeleng. Gibran mengambil ponsel di atas meja dan mulai memeriksanya.

Pinkan terus memantau pergerakan Gibran sembari meminum tehnya. Ia tampak gugup. Ya, ia berharap Gibran tidak menyadari apapun karena baru saja Pinkan menghapus pesan dari Viona setelah ia membacanya. Beraninya Viona memerintah Gibran seperti itu.

Benar saja, Viona sama sekali tidak mengenal Gibran dan membuat pria itu bahagia. Ia hanya akan terus menempel kepada Gibran tanpa tahu kapan ia harus berhenti. Hal itu sangat membebani Gibran.

Jika Gibran melihat pesan itu mungkin suasana hatinya yang dari tadi pagi baik akan segera memburuk. Pinkan tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Ia tahu Gibran terpaksa menerima cinta Viona hanya demi dirinya. Tiga bulan yang lalu begitu bodohnya ia meminta Gibran untuk membuka hati untuk wanita. Ia tidak tahu jika Gibran akan menerima sarannya secara mentah-mentah dan lagi wanita itu adalah Viona. Dan sekarang Pinkan menyesalinya, Viona bukan wanita yang pantas untuk Gibran.

*

Adi berdiri di depan rumah Viona. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku jaket berwarna hitam yang ia kenakan.Lampu rumah besar berlantai dua itu masih belum dinyalakan.

Ia melihatnya, Viona yang menangis dengan sangat sedih di rumah sakit. Mencoba bersembunyi dibalik polisi wanita yang canggung tentang apa yang harus ia lakukan. Seakan hati Adi juga ikut tersayat.

Melihatmu menangis disana, aku juga ingin menangis bersamamu.

.

.

"Tante ke mana, om? Aku belum pernah bertemu mama Ona."

"Dia wanita yang sibuk. Kau tidak akan bertemu dengannya sebelum tengah malam."

"Ha? Bahkan Ona juga harus menunggu sampai tengah malam?"

Papa Viona mengangguk. Ia menuangkan air lemon dari panci ke dalam gelas. Adi mengamatinya.

"Itu apa, om?"

"Air lemon, tanpa es tanpa gula...suhu sekitar 36 sampai 37 derajat celsius. Bagus untuk tenggorokan yang sakit."

"Bagaimana kita tahu kalau suhunya sudah sampai 36 atau 37 derajat celsius?"

"Bertahun-tahun lalu seseorang menemukan alat bernama termometer." Papa Viona mengaduk air lemon dan meletakkannya ke nampan.

"Aku calon dokter tetapi kenapa aku belum tahu resep air lemon itu?"

"Kalau begitu kau harus terus belajar untuk tahu lebih banyak." Pria paruh baya itu memberikan nampan kepada Adi.

"Ini, dokter Adi...mulai sekarang kau yang bertanggung jawab atas kesehatan tenggorokan Viona."

"Siap, om!!" Adi berbalik menuju tangga. Papa Viona menggeleng dan tersenyum.

.

.

Drrrrtt

"Hei, Saras..."

"Adi...benar ini kau?"

"Benar, ini aku..."

"Wah...sudah lama sekali. Apa kabar?"

"Baik,"

"Kau masih berada di Amerika?"

"Aku kembali."

"Apa??? Kau kembali? Kenapa? Bukankah kariermu bagus disana?..."

Adi terdiam...

"Saras...apa Viona menghubungi mu?"

"...tidak. Semenjak kelulusan aku tidak mendengar kabar darinya."

"Apa kamu tidak menghubunginya?"

"Aku tidak bisa menghubungi nomor teleponnya. Dan akun sosial nya semuanya tidak aktif. Kita sudah tidak mendengar kabar darinya sejak kelulusan sekolah."

Mereka terdiam,

"Aku pikir kamu masih berhubungan dengannya, Adi karena kau yang paling dekat dengannya."

.

.

"Permisi, ibu!!" Adi melangkah cepat menyusul seorang ibu yang baru saja keluar dari ruang periksa. Wanita paruh baya itu berbalik.

"Ya?"

"Dompet anda," Adi menyerahkan dompet ibu itu.

"Astaga, aku tidak menyadarinya. Terimakasih dokter," Ibu itu akan memasukkan dompet ke dalam tas nya tapi...

"Maaf saya melihat foto di dalammya anda ketika tak sengaja dompet anada terjatuh. Itu...suami anda?"

"Ah, dia sangat benci saat difoto. Tapi waktu itu dia menahannya demi bisa berfoto dengan putri kami." Ibu itu ikut melihat foto pada dompetnya.

"Pasti beliau sangat mencintai putri kalian,"

"Sangat, bahkan di hari terakhirnya dia sedang bersama putri kami," Ibu itu menerawang.

Adi memejamkan matanya tak percaya. Seluruh tenaganya seakan tersedot keluar. Ibu itu telah berbalik pergi tapi Adi tidak bisa berjalan untuk masuk ke ruangannya kembali. Kedua kakinya terasa lemas.

.

"Kau selalu mengatakan kepadaku kita akan selalu bersama. Kamu tangan kananku dan aku bosnya. Mama juga seperti itu, dia janji akan bersamaku saat ulang tahunku tapi dia tidak pernah datang. Dan semua orang memandang sinis kepadaku karena kakekku sangat menyayangiku. Mulai sekarang aku tidak akan percaya pada kalian. Aku hanya akan hidup dengan ayahku saja. Sudah...cukup!"

.

.

Kedua mata Adi memerah dan dadanya terasa nyeri. Segalanya masih terasa segar diingatannya. Tapi Viona seperti tidak mengingat semua itu. Apa yang terjadi setelah aku pergi?

Adi berbalik menuju mobilnya, tiba-tiba jendela lantai dua terbuka. Adi terkejut dan berbalik. Rumah menjadi terang benderang karena cahaya lampu menyala dimana-mana. Viona muncul dari jendela dengan piyama tidurnya.

"Kau terlambat?" hardik Viona dengan dingin.

Adi buru-buru menghapus airmatanya dan tersenyum. Ia baru maju selangkah tapi tiba-tiba seorang anak laki-laki bercelana abu-abu, memakai jumper dan tas gendong dipunggungnya melangkah mendahuluinya.

Adi terdiam.

Anak itu melompati pagar rumah dengan lihai seolah dia sudah terbiasa melakukannya.

"Sorry, bos! Aku ada les sampai larut malam. Lihat aku belum mengganti seragamku. Bos harus percaya kepadaku."

"Emmm," Viona terlihat berpikir. Anak laki-laki itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya lalu mengangkatnya tinggi-tinggi.

"Lihat ayam goreng!"

Viona langsung melongok ke bawah dan tersenyum lebar.

"Tunggu apalagi, cepat ke atas. Jangan sampai papaku bangun!"

Anak laki-laki itu sangat senang. Ia kembali memanjat hingga sampai balkon lantai dua dan masuk ke dalam kamar Viona. Terdengar bisik-bisik dari atas.

Adi mengerjapkan matanya yang penuh air mata. Ketika tiba-tiba segalanya menjadi gelap. Jendela lantai dua juga tertutup dengan rapat. Airmata meleleh dipipinya.

"Aku datang, Bos. Maaf, aku terlambat."

***