Aku penasaran apakah Gibran bisa tersenyum seperti itu dihadapanku?
***
Enam hari berlalu semenjak peristiwa penusukan itu terjadi. Pinkan sudah kembali ke apartemennya juga Steve dan Gibran yang esok hari mulai bekerja di kantor pengacara. Gibran memijat ujung hidungnya untuk mengurangi sakit kepalanya. Ia menutup kembali pintu rumah kemudian menaiki tangga menuju kamar. Langkahnya terhenti sejenak sebelum ia membuka pintu kamar.
Pandangannya beralih pada dua guci keramik dengan corak timbul black panther warna melanistik dan floral black tea. Posisi mereka berubah. Gibran berjalan menghampiri dan memperbaiki seperti posisi semula. Ia menoleh pintu kamarnya.
Gibran mengurungkan niatnya untuk masuk kamar dan merebahkan diri di sofa depan kamar. Perlahan tapi pasti kedua matanya terpejam.
Ceklek, suara pintu kamar terbuka. Viona keluar dengan membawa selimut dikedua tangannya. Ia melihat Gibran tertidur di sofa. Pasti dia sangat kelelahan. Viona melihat dua guci yang dipajang sudah kembali seperti semula. Viona tersenyum. Setiap ia datang ke rumah Gibran, ia akan menggeser posisi awal guci atau menukar kedua guci tersebut, tapi ajaibnya Gibran selalu tahu ketika mereka bergeser atau tertukar sehingga ia menikmati mempermainkan Gibran. Tapi pria itu tidak pernah mengeluh atau menegurnya, itu part terserunya, seolah mereka sedang memainkan teka-teki atau hide and seek.
Ia menyelimuti tubuh Gibran dari ujung kaki sampai hampir menutupi kepalanya dan kemudian bersimpuh dihadapannya. Dielusnya rambut hitam pendeknya. Rasanya sudah sangat lama ia tidak menyentuh wajah ini. 'aku merindukanmu'
"Mungkin kamu belum merindukan aku, mungkin kamu belum menyadari kepentinganku di dalam hidupmu. Aku yakin kamu hanya tidak tahu karena terbiasa sendirian. Jangan khawatir, aku akan membuat kamu merasakan seseorang hadir di sampingmu. Aku akan memberikanmu banyak kenangan manis sehingga kamu tidak akan berhenti tersenyum hanya dengan mengingatnya. Aku akan mewarnai harimu... karena kamu telah menerima pernyataan cintaku. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan darimu."
Viona menyandarkan kepalanya ditepi sofa tempat Gibran tertidur. Viona yang memang masih mengantuk juga mulai memejamkan mata. Ia tertidur dilantai dan kepalanya berada ditepi sofa.
.
.
.
Viona merasakan sebuah sinar. Tapi ia tidak bisa membuka kedua matanya. Tidak seperti biasanya, apa karena aku terlalu kecapekan? Tapi aku ingin tahu apa yang ingin ia katakan. Aku hanya ingin sedikit membantunya melepaskan beban dihatinya. Dia sangat kesepian dan kelihatan sedih. Aku ingin membantunya. Mataku sangat berat...
"Apa yang harus aku lakukan, kau sudah menyukainya begitu dalam. Mungkin akan lebih baik jika kita tidak bertemu."
.
.
.
***
"Uhuk...uhuk..ugh,"
"Hatci..."
Seettt
Gibran tersentak dan bangun dari tidurnya.
"Uhuk..."
Gibran menengok kesana-kemari. Ia membuka selimutnya dan berjalan menuruni tangga menuju dapur. Ia melihat Viona mengenakan apron dan masker sedang memotong-motong bahan makanan. Ia mendekatinya.
"Kau ingin ke bulan?" tanya Gibran sambil membuka pintu pintu kulkas. Ia mengeluarkan kotak susu dari sana dan meletakkannya di meja. Ia mengambil gelas.
Viona menoleh,
"Kamu mengatakan sesuatu?"
Gibran menuangkan susu ke dalam gelas.
"Kau memakai masker dan apron yang kebesaran. Disamping itu kau juga mengenakan jaketku di dalam apronmu. Jadi kupikir kamu ingin jadi astronot."
Disamping itu, sangat terlihat menyesakkan.
"Aku tidak punya pilihan lain, sejak pagi aku kedinginan."
"Kenapa kau tidak menjaga kesehatanmu?" Gibran melepaskan masker dan apron yang Viona kenakan. Ia melihat Viona dari ujung atas sampai bawah.
"Kenapa semua yang kamu kenakan adalah milikku?"
"Hehe...aku kemari begitu selesai bekerja. Aku tidak punya pakaian untuk ganti."
"Kamu benar-benar,"
Gibran menggandeng tangan Viona menuju ruang tengah. Ia mendudukkannya di sofa. Tangannya menyentuh kening wanita itu.
"Kamu hangat." Gibran menarik tangannya, "tunggu disini!"
Viona melihat Gibran kembali ke lantai atas.
"Uhuk," ia kembali terbatuk.
Gibran turun dengan selimut ditangannya. Ia membantu Viona membaringkan diri di sofa dan menyelimutinya.
" Gibran, aku sedang memasak..." Viona hendak bangun tapi Gibran membuatnya berbaring kembali.
"Aku akan memasak. Kamu istri saja."
Gibran berberbalik tetapi Viona bangun dan menarik ujung belakang sweater pria itu. Gibran menoleh. Ia berjongkok di depan Viona. "Ada apa kau pusing? mau kuambilkan obat?"
Viona menggeleng, ia menatap Gibran.
"Boleh aku memelukmu?" tanyanya hati-hati.
"Gadis bodoh, kenapa kamu bertanya?" Gibran memeluknya. Viona merasakan kebahagiaan menyeruak memenuhi rongga dadanya. Ia balas memeluk Gibran dengan sangat erat seolah takut kehilangan. Wanita itu tidak menyadari seberapa besar rasa rindunya selama beberapa hari ini. Segalanya terasa seperti mimpi. Ia seperti berjalan di atas awang-awang. Tidak ada yang nyata. Air mata menggenang di kelopak matanya.
"I love you...i love you..." bisiknya sangat lirih. Gibran mengelus kepala Viona lembut.
"Aku tahu."
Mereka berpelukan. Cukup lama. Namun rasanya tidak akan cukup untuk mengobati kerinduan Viona. Tapi setidaknya Viona menjelaskan perasaannya. Ia merasakan kerinduan yang panjang. Seolah-olah ia ingin mengungkapkan segala isi hatinya tapi tidak pernah menemukan kata yang tepat untuk semua rasa itu. Ia takut kata-kata itu akan membebani Gibran dan merasa lelah karenanya.
.
Gibran melepaskan pelukannya dan membaringkan Viona di sofa setelah ketiduran dibahunya.
Ia beranjak menuju dapur dan mulai memasak. Terbiasa hidup sendirian membuatnya mandiri dalam segala hal terutama memasak. Semua orang menyukai masakannya, apalagi Pinkan...
tuk
Aktivitas Gibran terhenti.
.
.
.
Semua kisah berawal sejak Gibran jatuh cinta terlalu dalam.
Musim panas yang cerah, enam bulan yang lalu.