***
Wanita. Adalah makhluk yang paling berbahaya di muka bumi ini. Begitu berurusan dengannya kau akan melupakan segalanya sesuatu kecuali wanita itu sendiri. Tapi bagaimana bisa urusanku dengan wanita lain bisa menjadi rumit karena seorang wanita?
.
.
.
Steve menyandarkan punggungnya pada pagar besi komedi putar sambil mengunyah permen karetnya. Ia melihat Pinkan dan Viona yang sedang mengantri pop ~cappucino~ ice pesanannya sementara Gibran jongkok disampingnya sambil terus mengintai kedua wanita itu seperti macan kumbang yang mengunci mangsanya. Sama sekali tidak match dengan jas yang ia kenakan.
"Kau tidak merasa peristiwa ini aneh? seharusnya kita yang membelikan minuman untuk mereka..." Steve berbicara logika. Gibran menoleh ke atas.
"Aku tidak peduli dengan hal semacam itu...damn!" Gibran berkata dengan nada kesal. Steve mengangguk-angguk. AIa melayangkan senyuman pada gadis-gadis yang lewat di depannya lalu mengedarkan pandangan disekitarnya.
"Lalu apa rencanamu?" tanya Steve lagi.
"Apa lagi, kau harus membantuku. Aku akan membawa Pinkan menaiki bianglala dan kau harus membawa sahabat baru Pinkan menjauh dari Pinkan."
Steve mengangguk-angguk. "Ok, mengerti."
Steve menggelengkan kepalanya melihat ekspresi wajah Gibran yang memang sudah buruk semakin cemberut. Dia sama sekali tidak melepaskan tatapan dari mereka yang tampak semakin akrab. Membuat Gibran cemburu.
.
"Iya...empat cup pop ~cappucino~ ice..." Pinkan mengatakannya pada penjaga stand minuman. Ia berbalik melihat Viona. Wanita itu tampak kelelahan.
"Kamu bekerja lembur lagi?" Tanya Pinkan penuh perhatian. Viona mengangguk sambil tersenyum.
"Kau bukan robot. Kamu harus memberi tubuhmu istirahat. Satu-satunya kandidat terkuat PT Indrayan Group...bersenang-senanglah sedikit." Canda Pinkan. Viona hanya terdiam.
"Jika aku ingin bersenang-senang sedikit aku tidak akan menjadi kandidat terkuat perusahaan kakekku, Kan." Viona mencoba menjaga kata-katanya.
Pinkan jadi merasa bersalah. Ia tahu sedikit tentang latar belakang kehidupan Viona. Ia tidak mendapatkan posisi manager dengan mudah. Ia harus bersaing dengan semua jenis pertalian darah yang berpusat pada Presdir Indrayan. Persaingan secara terbuka maupun tertutup. Tidak tahu mana yang memperlakukannya dengan tulus atau malah menusuknya dari belakang.
"Ok ok," Pinkan merangkul bahu Viona, Viona menoleh ke arahnya. "Aku mengajak kamu kemari untuk bersenang-senang dan lupakan semua masalah. Come on smile...!"
Pinkan tersenyum lebar ke arah Viona. Viona membalas senyumannya.
"Nah...ini Viona yang ku kenal. Viona nggak akan menunjukkan kelemahannya kepada orang lain." Kata Pinkan berapi-api. Viona tersenyum. Benar...hanya Pinkan yang mengetahui kesedihannya, kelemahannya, dan cintanya...
Viona menoleh pada Gibran yang jongkok di seberang sana dengan outer serba hitam. Sangat imut.
"Pinkan..." Panggil Viona. Pinkan menerima dua cup cappuccino lalu memberikan padanya hingga Viona menerimanya.
"Ya?"
"Bukankah sangat sulit menemukan apa yang benar-benar kita inginkan?"
Pinkan terdiam.
"Dan aku ingat papaku mengatakan untuk tidak menahan diri untuk mendapatkan apa yang aku inginkan.. "
"Apa yang ingin kamu katakan sebenarnya?"
"Pinkan aku, menyukai Gibran!" Viona kembali melihat Pinkan. Ekspresinya sangat meyakinkan hingga Pinkan tidak bisa menemukan lelucon di dalamnya.
.
Gibran berdiri tegap dalam satu gerakan. Ia melihat Pinkan yang berdiri mematung menghadap Viona, kemudian pandangan Gibran beralih melihat Viona. Aneh, ia ingin tahu apa yang sedang mereka bicarakan.
.
.
.
Setelah membawa anak-anak panti asuhan pulang, mereka berhenti di tepi jalan sambil melihat bianglala yang masih terlihat cukup besar. Panti asuhan ternyata tidak jauh dari lokasi pasar malam.
"Terlihat lebih indah di kejauhan seperti ini." Celetuk Viona yang duduk di kap depan mobil. Ia merentangkan telunjuk dan ibu jarinya lalu membuat sebuah kotak kamera dengan tangannya yang lain. Ia menutup sebelah matanya. Ah...Viona tidak membawa kameranya.
"Benar, seperti cinta...memang lebih indah saat dilihat dari jauh." Steve melompat duduk disampingnya sambil mengeringkan matanya.
"Bagus sekali Steve...kamu yang mengajari Gibran dengan pantun semenjijikan itu?" Goda Viona.
Uhuk....Gibran yang duduk di kursi setir tersedak minuman cup nya. Pinkan yang berada disampingnya memberikan tissue. Steve dan Viona menoleh kemudian kembali melihat ke arah bianglala.
"Kau tidak tertarik kepadaku?" Tanya Steve spontan. Viona melihat Steve.
"Apa kamu menanyakan ini kepada semua wanita yang baru kau temui?"
"Tentu tidak, aku mengatakannya hanya kepada wanita yang cantik dan pintar."
"Apakah aku terlihat cantik dan pintar dimatamu?"
Steve mengangguk yakin.
Viona mendecakkan lidahnya. Lalu kembali berkata, "Apa seleramu terhadap wanita sama dengan sahabat pria yang ada di dalam mobil?"
Entah mengapa Gibran menahan napas mendengar kata-kata Viona. Pinkan melihat Gibran dengan pandangan datar.
Steve terlihat berpikir, "Aku tidak yakin, tapi Gibran jelas menyukai wanita cantik dan pintar!"
"Steve kau bisa menutup mulutmu sekarang!" Gibran tidak bisa menyembunyikan nada dingin pada suaranya.
Viona menoleh Gibran.
"Apa benar, Gibran? Kamu menyukai wanita cantik dan pintar?" Serang Viona. Mata keduanya bertemu dan Gibran tidak dapat mengalihkan perhatiannya. Pikiran Gibran kosong.
Tiba-tiba sebuah cahaya besar menerangi mereka. Sebuah truk yang melaju kearah mereka. Gibran melihat rambut panjang Viona yang bergerak tertiup angin malam, begitu syahdu. Dan cahaya lampu truk yang mengelilinginya. Dan tatapan Viona terhadapnya. Tatapan yang akan sangat sulit ia lupakan. Dengan cepat truk melewati mereka. Jalanan kembali remang-remang seiring dengan suara mesin truk yang tidak terdengar lagi. Baru saja, apa itu kembang api?
Aku menyukainya, wanita yang cantik dan pintar.
*