*
Uhuk uhuk...
Gibran terkesiap mendengar suara batuk Viona. Ia membuka panci di atas kompor dan ternyata sudah ada sup disana. Ia mematikan kompor dan menyendok sup ke dalam mangkuk. Ia berjalan ke ruang tengah lalu membantu Viona bangun dan meminum sup yang ia bawa. Viona meminumnya dengan patuh sembari air mata yang keluar dari kedua sudut matanya. Gibran mengusapnya dengan hati-hati.
"Tidak ada orang dewasa yang menangis ketika ia memiliki demam." Gibran menggoda Viona.
Kau yang mengabaikan panggilan telponku selama beberapa hari ini dan sekarang kau yang menangis tanpa henti. Ck.
Gibran meletakkan mangkuk sup di meja. Ia hendak pergi ketika dengan tiba-tiba Viona memeluknya. Gibran mematung.
"Apa sekarang?"
"Jangan pergi..." Kata Viona dengan suara parau.
"Heh, aku belum selesai memasak. Bagaimana kita akan sarapan?"
Viona menggeleng kuat.
"Kamu sudah pergi terlalu lama. Aku masih sangat takut..."
Jika kamu benar-benar tidak kembali padaku.
Gibran menunduk melihat Viona. Ia baru menyadari seiring berjalannya waktu hubungan antara dirinya dengan Viona bertambah dekat. Gibran bahkan hampir lupa tentang status mereka. Ia terlalu mengikuti arus dan bertindak seperti kekasih yang sebenarnya.
Sebenarnya Viona bisa menjadi teman yang sangat baik. Ia bisa sangat beradaptasi dengan sifat Gibran yang sulit.
Tapi wanita yang ia cintai hanyalah Pinkan. Cintanya selama empat belas tahun. Ia harus menemukan cara untuk putus dengan Viona sebelum wanit ini terlalu bergantung padanya.
"Gibran, kamu percaya cinta pada pandangan pertama?"
"Tidak."
"Mengapa?"
"Karena aku tidak bisa memahaminya. Aku memahami segalanya di dunia ini jadi sesuatu yang tidak aku pahami tidak benar-benar ada di dunia ini. Itu hanya akal-akalan para produser sinetron untuk menjerat penyuka sinteron sepertimu." Gibran mengelus kepala Viona dengan lembut.
"Kau pernah menonton sinetron 'hati yang telah kau sakiti'?" Tanya Viona. Gibran tertawa geli.
"Tentu saja belum pernah, aku tidak menonton sinetron."
"Aku ingin menontonnya bersamamu,"
"Kamu bercanda kan? Aku nggak suka nonton sinetron lho"
Viona mengeratkan pelukannya.
"Bercanda kan?"
***
Gibran melewati para staff yang sedang sibuk bekerja menuju ruang kerjanya. Seorang staff mendekatinya dan mereka mulai membicarakan beberapa urusan pekerjaan.
"Baik, Pak terimakasih!"
Gibran menepuk bahunya, staff yang tadinya menunduk mulai menoleh ke wajah Gibran dan betapa terkejutnya ia melihat Gibran tersenyum dengan sangat manis. Gibran melihat ke sekeliling.
"Kerja bagus semuanya, keep up!" pujinya lantang. Settttttt. Semua mata staff yang lainnya tertuju ke arah Gibran.
Ia kembali berjalan menuju ruang kerjanya dan saat itu juga kesibukan kembali seperti semula.
Seorang staff wanita mendekati pria yang baru saja berbicara dengan Gibran. "Kau tidak melihat ada sesuatu yang aneh disini?"
Pria itu menoleh, "Apa yang aneh?"
"Aku merasa Pengacara Gibran sedikit...em...ceria."
"Ha....kau jangan menakutiku seperti itu. Dia bukan orang yang seperti itu. Haha...ceria? Ada-ada saja..." pria itu menolak kejadian yang baru saja yang baru saja terjadi dan berlalu pergi begitu saja.
Steve yang melihat adegan itu hanya menggelengkan kepala. Ia berjalan menuju ruangan Gibran.
.
"Perlu sesuatu?" Steve melihat Gibran yang sedang memeriksa file di atas meja. Ia duduk di atas meja Gibran. Steve hanya mengamati wajah Gibran. Memang benar, wajah pria tampan itu sedikit bercahaya.
Gibran menoleh Steve, "Apaa yang kau lakukan?" Gibran tidak dapat menyembunyikan senyumannya. Kedua sudut bibirnya selalu tertarik ke atas. Steve menyipitkan kedua matanya yang memang sudah sipit.
"Terjadi sesuatu di rumahmu?" selidiknya.
Gibran kembali melihat file-nya.
"Berhenti bicara omong kosong. File yang kuberikan padamu sudah selesai?" Gibran mengalihkan pembicaraan. Steve hanya mengikuti arus saja. Ia memegang-megang miniatur black panther di meja Gibran.
"Sudah, aku memberikan kepada sekretarismu tadi pagi karena kau belum ada di kantor..." Steve mengintip ekspresi wajah Gibran yang benar saja menjadi tersipu dan tersenyum lagi. 'Ahhh orang ini membuatku gila.'
***
"Aku melakukan segala usaha agar dia masuk ke dalam penjara, tapi bagaimana dia bisa bebas." Ia melepaskan tangannya dari kepala dan melihat Pinkan yang duduk dihadapannya.
"Kamu harus melakukan sesuatu Viona, kamu berjanji kepadaku untuk membuatku terbebas dari berandalan itu."
"Bagaimana dia bisa bebas?"
"Aku tidak tahu, dia tidak pernah mengungkapkan rahasianya kepadaku jadi aku hanya menyelidikinya dengan koneksiku yang sangat buruk."
Mungkinkah ada seseorang yang berada di belakangnya? Pinkan berpikir. Tapi bagaimana ia bisa menemukan seseorang itu?
"Kamu tidak perlu khawatir, aku akan menemukan cara bagaimana memasukkannya kembali ke dalam penjara."
"Bagus, aku harap kamu tidak terluka lagi seperti terakhir kali."
"Tentu saja, aku akan lebih berhati-hati."
"Oh ya...aku ada fashion show nanti malam. Bisa aku meminta tolong temanmu untuk menjaga Bintang untukku?"
"Siapa, Steve?"
Wanita dihadapan Pinkan tersenyum.
"Kamu bisa memanfaatkannya. Aku tidak peduli." Mata Pinkan berubah dingin.
"Bagus sekali,"
*
Pukul dua sore hari. Matahari lebih condong ke barat namun masih menyebarkan panas yang membara. Steve menyeka keringat dikeningnya dengan sebelah tangan. Ia melihat ke bawah. Seorang anak laki-laki kecil berusia enam tahun menggandeng tangannya yang satu lagi. Steve tidak bisa untuk tidak tersenyum kepadanya. Yang paling ia sukai di dunia ini adalah anak kecil, walau tidak sebesar rasa sukanya pada wanita.
"Bintang, kau ingin ice cream?"