Semua kisah berawal sejak Gibran jatuh cinta terlalu dalam.
Musim panas yang cerah, enam bulan yang lalu.
*
Ssssssshhhh, kran air di wastafel mengalir deras. Gibran membasuh wajahnya berkali-kali hingga rambutnya juga ikutan basah saking semangatnya ia menyiram air kewajahnya. Mulutnya komat-kamit melafalkan sesuatu.
"Aku nggak tahu bagaimana menyampaikannya kepadamu...kamu ingat nggak kita dulu..."
"Kamu ingat nggak kita dulu, Pinkan bakal ngira kau memberinya soal sejarah,"
Gibran melirik ke belakang. Sial, ia lupa Steve mengawasinya sejak tadi pagi. Ia menyiram wajahnya dengan air lagi.
"Steveeee, Gibrannnn kalau kalian nggak keluar dari toilet sekarang juga bakalan aku tinggal. Aku sudah sangat lapar!" suara Pinkan membuat Gibran tambah gugup.
Steve menggelengkan kepalanya.
"Kau selalu percaya diri saat mengalahkan lawanmu di persidangan. Kenapa jadi chicken begini begitu menghadapi wanita. Sebaiknya kau menyiapkan mental mu atau kau akan kehilangan kesempatan untuk mengatakan kepadanya."
Steve menepuk pundaknya.
Mereka keluar dari kamar mandi dan berangkat bersama menuju kantin yang tak jauh dari sana.
"Biasa ya, Bu!" teriak Steve.
"Siap, pak pengacara..." kata ibu-ibu penjual nasi uduk langganan mereka.
Steve tersenyum ramah kepadanya.
Gibran memandang Pinkan yang sedang membicarakan kasus bersama Steve. Bola mata yang indah, hidung kecilnya, dan bibir yang lembut yang selalu mengucapkan kata-kata yang manis. Rambutnya yang dikucir satu ke belakang menampakkan kesan tegas dan cerdas. Gibran menyukai wanita yang cerdas. Dahulu, Ia tidak berpikir Pinkan akan lulus dan menjadi pengacara. Ia selalu memperlakukan Pinkan dengan lembut dan tidak akan membiarkan bahaya sedikit pun terjadi kepada gadis itu. Tapi kemudian Pinkan menjadi pribadi yang kuat dan pintar. Dia tidak membutuhkan perlindungan dari siapapun. Tapi Gibran tetap ingin melindunginya.
Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka semakin dekat. Tidak ada jarak diantara mereka. Tidak ada rahasia. Hal itu membuat Gibran khawatir akan kehilangan kesempatan untuk memberikan status antara dirinya dan Pinkan. Karena seiring bertumbuhnya usia, tumbuh pula rasa cinta Gibran untuk Pinkan. Dan malam ini ia bermaksud untuk mengungkapkan perasaannya kepada Pinkan.
"Kau tidak bisa memetakan Kasus seperti itu..." debat Pinkan. Steve mendengus kesal.
"Kamu datang malam ini, Pinkan?" Gibran menyendok nasi uduknya. Mencoba untuk bersikap tenang. Steve mengusap-usap kedua telapak tangannya.
Pinkan menoleh ke arah Gibran. Ia tersenyum.
"Tentu saja, kita berjanji akan mengajak anak-anak panti asuhan untuk bermain di pasar malam. Ah rasanya sudah lama sekali aku tidak pergi ke pasar malam. Kalian ingat dulu kita...."
"Ehem..." Steve mencoba menahan tertawanya. Gibran menendang kaki Steve dari bawah meja.
"Ahhhh, Gibran kau mati?" Steve mengelus kakinya yang kesakitan.
Pinkan melihat kedua temannya.
"Kalian kenapa?"
"Tidak apa, kamu bisa melanjutkan kata-katamu...dulu kita, " Gibranter senyum manis sambil menangkupkan kedua tangannya dengan siku di atas meja.
***
Aku tahu cuaca dapat berganti begitu cepat. Tapi bukan berarti kau dapat berganti disaat yang penting seperti ini...Haaa, Gibran menghela napas panjang menatap hujan diluar jendela. Ia baru saja membayangkan bersama Pinkan di malam hari dengan cuaca yang cerah.
"Apa ada masalah pengacara Gibran?"
Gibran tersentak, ia berusaha tersenyum ramah. "Ah tidak," katanya berusaha setenang mungkin. Ia lupa bahwa sedang berada di dalam meeting. Kau sudah gila Gibran.
*
Pukul delapan malam. Meeting baru berakhir. Gibran menyalami para klien dan berbasa-basi dengan mereka di depan kantor pengacara. Para klien tampak menyukai karakter Gibran. Mereka bisa tertawa lebar saat berbicara dengannya. Itu keahliannya, Gibran bisa membuat orang yang baru saja bertemu dengannya menjadi sangat menyukainya. Hingga mobil klien Gibran sampai di depan kantor, mereka akhirnya pergi.
Gibran berbalik dan mengemasi barang-barangnya. Sebuah panggilan masuk terlihat di layar ponselnya. Gibran menerimanya.
"Ada apa?"
"Kapan kau datang? Aku dan anak-anak sudah hampir menghabiskan permainan disini."
"Aku akan kesana. Aku baru saja selesai." Gibran membawa tas dan jasnya lalu keluar dari gedung perkantoran.
"Baiklah...oh iya ada perubahan rencana."
"Perubahan rencana? Lokasi pindah atau bagaimana?"
"Bukan. Bukan seperti itu..."
"Lalu apa? Jangan sok misterius begitu."
"Pinkan mengajak temannya kemari."
"
Gibran berhenti sejenak, " Teman? Pria.?"
"Wanita."
Hufff...Gibran memegang tiang penyangga yang ada disampingnya.
"Lalu kenapa, aku akan tetap mengungkapkan perasaanku kepada Pinkan. Biarkan dia menjadi saksi juga."
"Bukan begitu, bro. Kau tidak bisa bertindak gegabah. Kita tidak pernah tahu bagaimana wanita. Dia bisa saja menghasut Pinkan untuk menolakmu."
"Apa maksudmu?" Gibran masuk ke dalam taksi. Taksi itu melaju sesuai dengan alamat yang Gibran sebutkan.
"Tidak ada waktu menjelaskan. Besok aku akan mengajarimu secara detail. Langkah pertama yang harus kita lakukan...."
Gibranendengarkan dengan sungguh-sungguh apa yang hendak Steve katakan.
.
Kata Steve...langkah pertama yang kita lakukan saat mendekati wanita adalah kita harus mendekati sahabat-sahabatnya terlebih dahulu dan membuat mereka senang. Karena dengan begitu kita akan mendapatkan sisi baik dari temannya. Teman Pinkan akan memberikan masukan - masukan yang positif tentang Gibran kepada Pinkan.
.
Tapi, seumur hidupku. Aku tidak pernah merasa sebodoh ini. Semua pelajaran sekolahku seakan tak berarti apa-apa. Gelarku yang kuperjuangkan mati-matian sirna.
Dan aku tersadar segala permasalahan ini terjadi karena aku memilih untuk mendengar kata-kata Steve sebagai pedoman pernyataan cinta yang telah kupendam selama empat belas tahun.
*
Gibran sampai di depan gerbang pasar malam ketika ia melihat seorang ibu menggunakan kursi roda berada tepat disebelah galah dengan permen kapas yang tergantung disana. Gibran mendekatinya.
"Ibu menjual ini semua?" tanyanya lembut.
"Benar tuan!"
Gibran tersenyum sambil berjongkok.
"Jangan panggil saya tuan. Saya mungkin hanya sebesar anak anda."
"Baik, nak...kamu ingin membeli permen kapas?"
Gibran merogoh saku jasnya. "Kebetulan saya kemari dengan banyak teman. Saya akan membeli semua permen Ibu!" Gibran menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan kepada ibu itu.
"Benarkah, nak. Syukurlah!" ibu itu hampir menangis. Ia menerima uang itu."
"Betul, Ibu. Sekarang Ibu bisa pulang lebih awal."
"Terima kasih nak..."
Gibran mengangguk. Ia menatap ibu tua itu pergi dengan memutar roda kursi rodanya sendiri. Gibran merasa sedih, di dunia ini masih sangat banyak orang yang menghabiskan masa tuanya berjuang, apalagi dengan segala keterbatasannya.
Gibran berbalik, ia melihat anak yang ia kenal. Ia memanggilnya.
"Kamu...panggilkan semua teman-temanmu dan bagikan permen-permen ini." Gibran mengambil dua bungkus permen dan membawanya dengan kedua tangan.
"Om Gibrannnn...!!!!"
Serbuan anak-anak mengagetkan. Mereka berlari ke arahnya dengan sangat cepat membuatnya sedikit takut. Meski dia sering bersama-dengan anak-anak ia masih sedikit takut. Tapi ia mencoba mengendalikan diri. Ia tidak ingin merusak kebahagiaan mereka.
"Hari ini kalian bebas bermain apa saja. Om traktir. Tapi ingat, hati-hati...jaga diri kalian. Mengerti?"
"Siap...misi dilaksanakan, Pengacara Gibran!!!!" sahut mereka serentak sambil mengangkat tangan kanan mereka memberi hormat.
"Bagus, bubar jalan!"
"Yeeeeeeee...."
Anak-anak itu berhaburan pergi.
"Kembali jam sembilan ya, anak-anak. Jangan sendirian!" teriak Pinkan. Namun anak-anak itu sudah sibuk bersenang-senang.
Gibran melihat seorang wanita. Ia langsung tahu bahwa dia adalah sahabat baru Pinkan. Gibran mendekati tempat ketiganya berkumpul dan bersamaan dengan langkah kakinya, ia memantapkan senjatanya. Pengacara Gibran yang paling disukai oleh siapapun meski mereka baru pertama kali bertemu. Langkah pertama untuk menjatuhkan lawannya. Gibran mengulurkan permen gulali ditangannya pada wanita itu. Cheese Girl.
Buat dia merasa diperlakukan spesial.
"Kura-kura mainan kayu..." (pantun yang Steve ajarkan, bisa menebak apa akhir yang seharusnya dari pantun itu?)
"Cakep," bisik Steve dan Pinkan.
"...Nice to meet you," sambung Gibran. Ia tidak berani melihat teman-temannya dan berakhir dengan terus menatap mata wanita yang baru pertama kali ia temui. Ia dapat mendengar tawa geli Steve dan Pinkan. Sangat memalukan. Ini pertama kalinya kata-kata se-cheese itu keluar dari mulutnya.
Tidak sengaja ia melihat wanita dihadapannya melangkah mundur. Gibran tidak berpikir apa-apa.
"Ahh..." Ada genangan air dibelakangnya. Wanita itu akan terjatuh, Ssstt... refleks Gibran meraih pinggangnya.
Jantung Gibran bergemuruh dengan sangat keras hingga telinganya sendiri dapat mendengarnya, ia dapat merasakan lekuk pinggang wanita dihadapannya. Dan secara naluri Gibran menarik tubuh wanita itu mendekat padanya. Ia tenggelam didalam bola mata cokelat itu.
Dan tawa anak-anak kecil yang samar-samar. Dan lampu-lampu hias. Dan bianglala dibelakang mereka.
Dan sesuatu yang urgent mendesak di alam bawah sadar Gibran. Sesuatu yang ingin tahu... bagaimana dia memanggil sesuatu yang indah ini? Yang dapat kita panggil dengan sepenuh rasa...bagaimana kita memanggilnya? Apa yang bisa kita gunakan untuk memanggilnya...apa...nama?
Siapa namanya?
***