Chapter 5 - Kesal

Hanya dalam waktu enam bulan, permintaan pasar akan produk baru yang Rea luncurkan semakin meningkat. Bahkan dia berencana membuka pabrik baru lagi di Makassar dan Jawa Timur. Untuk mempermudah percepatan distribusi.

Dia bisa mengangkat dagu tinggi-tinggi sekarang ketika rapat direksi atau rapat bulanan diadakan. Kurva penjualan yang semakin naik, membuatnya optimis untuk bisa membuat Surya Gemilang semakin maju. Sangat pantas jika sekarang dia mendapat applaus besar.

"Kamu nggak akan menjual SGA 'kan Bang?" tanya Rea saat makan siang bersama dengan Satria. Dia bisa tersenyum bangga sekarang.

"Waktumu masih kurang beberapa bulan lagi. Dan dalam beberapa bulan itu kita nggak akan tahu apa yang terjadi. Jadi, jangan senang dulu, Sayang."

Rea berdecak. Kesal karena tidak merasa dihargai usahanya. "Di saat orang lain bangga dengan hasil yang aku dapat. Kamu, suamiku sendiri malah bicara begitu."

Satria terkekeh. "Ini bisnis, Sayang. Apa saja bisa terjadi. Naik turun itu hal yang biasa."

"Gue tau, tapi bahkan SG belum bangkrut lo udah mikir buat ngejual," tandas Rea kesal sampai-sampai berlo-gue di depan Satria.

"Hanya soal waktu. Daripada aku menjual pas dia bangkrut? Itu malah semakin merugikan."

"Lo bener-bener nggak ngehargai usaha gue banget." Rea membanting sendoknya. Nafsu makannya hilang seketika. Dia raih gelasnya, dan meneguk isinya hingga tandas. "Gue balik kantor."

"Habiskan makananmu dulu, Rea," tekan Satria menatap lurus istrinya. Yang ditatap tidak peduli, dan terus bergerak berdiri, lantas beranjak meninggalkan Satria. Rea sudah kadung jengkel.

"Bu Rea, sudah selesai makannya?" tanya Abi begitu melihat Rea beranjak, ia cepat-cepat menyusul atasannya itu.

"Sudah. Kita kembali ke kantor, Bi." Rea buru-buru menuruni tangga keluar restoran.

"Blazer Anda, Bu."

Rea menerima dan menyampirkan di kedua pundaknya. Urusan Satria yang pasti akan mengomel, biarlah nanti saja. Kepalanya terlalu penuh untuk meladeni Satria sekarang.

"Kita ke Ciawi, Bi," titah Rea begitu memasuki mobil.

"Baik, Bu."

Akhirnya mobil Rea bertolak, meninggalkan parkir restoran. Ruben yang berdiri tidak jauh dari restoran sempat mengawasi kepergian istri big bos. Dia lantas beranjak memasuki restoran. Dilihatnya Satria membuang tisu ke piring di hadapannya. Punggungnya bersandar pada kursi, tampak lelah. Ruben menghampiri tuannya.

"Anda ribut lagi dengan Bu Rea?" tanya Ruben.

Satria meliriknya sekilas. "Sebenarnya tidak. Dia saja yang terlalu sensitif."

"Mungkin Anda terlalu menyinggungnya."

Satria mengangkat bahunya. "Dia sudah pergi?"

"Sudah, beberapa menit yang lalu bersama sekretarisnya. Dengar-dengar lusa mereka akan meninjau pabrik di Makassar dan Pasuruan."

Satria langsung menoleh mendengar laporan Ruben. "Rea bahkan tidak memberitahuku."

"Apa Anda akan ikut?"

"Tentu saja, aku nggak mungkin membiarkan istriku pergi berdua dengan sekretarisnya." Satria menggeram kesal. Bisa-bisanya Rea hendak pergi tanpa seizinnya. Dia segera berdiri, dan meninggalkan mejanya.

"Urus pembayarannya, dan kembali ke kantor," ucap Satria lagi sebelum beranjak.

"Baik, Pak."

Sungguh, Satria semakin muak dengan sekretaris itu. Ingin rasanya dia menendang jauh-jauh lelaki itu dari sisi Rea. Namun, dirinya belum mendapat celah untuk bisa mengusir lelaki itu dari Wijaya Grup. Satria janji, akan melakukan itu. Lihat saja nanti.

"Mobil Bu Rea menuju Jagorawi, Pak," lapor Ruben.

Satria menggeram. "Sepertinya kita perlu seseorang untuk mengawasinya di sana."

"Anda tidak percaya dengan istri Anda?"

"Aku tidak percaya dengan Abi Permana. Entahlah, aku merasa ada yang aneh dari lelaki itu. Kamu bisa selidiki dia."

"Baik, Pak. Jadi, apa kita perlu menyusul mereka?"

"Tidak perlu, kamu awasi saja mereka. Rea sedang marah padaku. Aku nggak mau ada keributan di sana." Satria membuang napas kasar. Seandainya tidak ada lelaki bernama Abi Permana, dia tidak akan senyirnyir ini pada istrinya. Bagaimana tidak? Lelaki itu nyaris ikut ke mana pun Rea pergi. Bahkan saat dirinya dan Rea sedang makan siang tadi. Selalu saja ada alasan yang Rea lontarkan mengenai keberadaan lelaki itu di dekatnya. Serius, Satria mulai terganggu dengan lelaki itu.

***

Sisa jam kerjanya, Rea habiskan di pabrik Ciawi. Bekerja dalam jangkauan Satria sangat tidak menyenangkan. Hampir tiap jam lelaki itu menyambangi ruangannya. Belum lagi bicara lelaki itu yang kadang membuat ubun-ubun Rea mendidih. Satria bisa jadi sangat menyebalkan. Apa lagi setelah adanya Abi, tiap hari ada saja ulah lelaki itu yang bikin Rea kesal.

Saat ini Rea dan Abi sedang dalam perjalanan pulang menuju Jakarta. Masih berlokasi di daerah perkebunan teh, sepanjang mata memandang hanya hamparan tanaman teh di sisi-sisi jalan. Rea sangat menyukainya. Perkebunan teh di sana sudah seperti permadani yang membentang. Kalau tidak ingat umur, ingin rasanya Rea berlarian di sana.

Di tengah keasyikan menikmati pemandangan itu, Rea dikejutkan dengan pergerakan mobil yang aneh.

"Ada apa ini, Bi?"

"Saya tidak tahu, Bu."

Dan pada akhirnya Abi menepikan mobil itu. Dia keluar dari mobil dan langsung membuka kap bagian depan.

Rea yang masih di dalam menyembulkan kepalanya. "Kenapa mobil ini?" tanya Rea.

"Mogok, Bu."

"Hah? Mogok?" sontak matanya melirik pergelangan tangannya. Sudah hampir pukul lima. Dia sepertinya akan terlambat pulang lagi. "Telepon seseorang, Bi."

"Iya." Abi berusaha menghubungi seseorang. Dia sendiri tidak terlalu paham dengan mesin mobil.

"Lo nggak bisa benerin itu sendiri?" tanya Rea mulai bosan, dia memilih keluar.

"Saya tidak paham mesin mobil, Bu. Kalau mesin pabrik agak sedikit paham." Dia tersenyum kecil.

Bola mata Rea berotasi. "Sayangnya mesin mobil dan pabrik itu beda, Bi."

Abi hanya tersenyum dan kembali menghubungi seseorang. Di sekitar sini juga tidak ada bengkel atau apa pun.

"Bu, satu jam lagi mekanik akan datang. Apa nggak apa-apa?" tanya Abi setelah mengakhiri panggilannya.

"Satu jam lagi? Itu lama banget. Apa nggak ada yang lebih cepat? Layanan darurat gitu."

"Ini sudah di luar jam kerja mereka, Bu. Kebanyakan mereka sudah pulang ke rumahnya masing-masing."

"Astaga, gue bisa telat pulang lagi kalau begini." Dan Satria pasti akan mengomel lagi. Rea mendesah pasrah.

"Minta seseorang saja untuk mengirim mobil buat kita, Bi," titah Rea lagi. Pandangannya ia edarkan ke ufuk barat. Matahari saja sudah hendak turun. Ini masih di daerah Bogor, perjalanan ke Jakarta masih sekitar dua jam lagi.

***

Satria pulang ke mansion disambut oleh Ceera dan Bisma. Keduanya sedang bermain bersama pengasuhnya.

"Halo, Sayang," sapa Satria menghampiri keduanya.

"Daddy pulang sendiri? Mana Mom?" tanya Bisma, membuat alis Satria mengerut.

"Mom kalian memang belum pulang?"

Bisma menggeleng. "Kita sedang menunggu Mom and Dad di sini."

"Oke, gimana kalau sekarang kita masuk? Sebentar lagi maghrib datang."

Mereka menurut, berlari-lari kecil memasuki mansion. Satria merogoh sakunya, mencari ponsel. Dia mencoba menghubungi Rea. Tersambung.

"Kamu di mana? Kenapa jam segini belum pulang?" tanya Satria langsung saat panggilannya di angkat.

"Mobilku mogok, Bang. Aku lagi nunggu mekanik dan mobil pengganti datang," jawab Rea di sana.

"Kamu nggak lagi nyari alasan 'kan?"

"Mobil beneran mogok. Buat apa aku nyari alasan? Kamu nuduh aku bohong?" Rea di sana terpancing emosi.

"Nggak perlu ngegas gitu."

"Udah, deh. Jaga anak-anak aku pulang telat. Dan ingat jangan mikir macam-macam."

"Re, aku nggak akan mikir macam-macam kalau kamu langsung membe–halo! Re? Rea!"

Sial, panggilannya diputus. Satria mendebas kasar. Ada apa, sih dengan wanita itu. Sedikit-sedikit marah padahal Satria hanya bertanya. Lelaki itu langsung menghubungi Ruben.

"Di mana lokasi Rea sekarang?" tanyanya begitu tersambung.

"Mobil Bu Rea, ada di kawasan perkebunan teh di Cisarua."

"Ngapain dia ada di sana?! Astaga." Satria lagi-lagi menggeram. Apa yang dilakukan wanita itu sampai ke Cisarua? Piknik? "Ruben, kirim seseorang untuk menjemputnya sekarang, mobilnya mogok katanya."

"Baik, Pak."

Satria mengusap wajahnya setelah menutup panggilan. Dia melangkah masuk ke mansion. Pemandangan anak-anaknya yang sedang asyik bermain langsung menyambutnya. Sejenak rasa kesalnya pada Rea terlupakan melihat anak-anaknya saling bertukar canda. Dia lantas ikut bergabung bersama mereka sebelum menuju lantai atas. Melepas sedikit penat yang dia rasakan.