Chereads / Emergency Marriage 2 : On My Heart / Chapter 8 - Lupa Ultah

Chapter 8 - Lupa Ultah

"Wajah Anda hari ini cerah sekali, Bu," ujar Abi saat Rea memasuki kantor. Pasalnya, bosnya itu dari semenjak datang selalu mengumbar senyum. Candaannya dengan Satria pagi ini menyisakan senyum di bibirnya. Mengatai suami sendiri tua, dan ditanggapi seperti itu oleh Satria membuat perutnya geli sendiri.

Sebenarnya, Satria belum tua-tua banget. Usianya memang sudah menginjak angka 43, tapi tidak menggeser sedikit pun ketampanannya. Pola hidupnya yang sehat membuat lelaki itu lebih muda dari usianya sekarang.

"Masa, sih? Gue rasa biasa aja." Rea meletakkan tas kerjanya.

"Anda kelihatan bahagia."

Mau tak mau Rea mengulum senyum. "Anggap aja gitu. Oh iya, Bi. Apa hari ini ada jadwal makan siang di luar?" tanya Rea.

"Sepertinya kosong, Bu. Ibu tidak memiliki janji dengan siapa pun."

"Good! Gue mau makan siang sama suami."

Abi mengangkat kedua alisnya mendengar itu. Sepertinya makan siang kali ini ada hubungannya dengan kebahagian wanita itu.

"Apa perlu saya reservasikan tempatnya?" tanya Abi.

"Nggak perlu, Bi. Kami akan makan di restoran hotel Wijaya."

"Oke, baiklah. Kalau begitu saya permisi." Abi undur diri dan menghela langkah keluar. Namun, ketika langkahnya hampir mendekati pintu, Rea memanggilnya kembali.

"Gue bingung mau ngasih kado apa buat Satria, hari ini dia ulang tahun."

Abi menoleh, dan kembali memutar badannya.

"Dia itu punya segalanya. Sementara gue istri yang payah. Masak aja nggak bisa."

Abi berjalan mendekat. "Apa yang Pak Satria sukai?" tanyanya.

"Sepertinya nggak ada. Semua hal terlihat biasa bagi dia. Nyaris nggak ada yang dominan dia suka."

Namun, tiba-tiba Rea teringat sesuatu. Puding rumput laut. Selain suka merumput, ( astaga lu kira kambing) Satria juga suka puding rumput laut.

"Gue ingat, dia suka puding rumput laut."

Kening Abi berkerut. Mungkin dia tidak menyangka seorang bos besar seperti Satria menyukai puding. Apa tidak ada yang lebih berkelas sedikit?

"Bu Rea yakin?"

"Sangat yakin. Lo bisa atur itu agar pas makan siang ada, Bi?"

Abi mengangguk ragu. "O-oke. Terus Bu Rea sendiri mau kasih kado apa?"

"Ya, itu. Puding rumput laut."

Abi kembali memandang aneh pada atasannya itu. Masa memberi kado puding rumput laut? Yang benar saja!

Tapi melihat Rea senyum-senyum sendiri rasanya tidak tega memberitahunya kalau kado puding itu terdengar aneh.

"Baiklah, kalau begitu saya permisi, Bu."

Rea mengangguk, dan membiarkan Abi keluar dari ruangannya. Sebenarnya Rea sama sekali tidak ingat ulang tahun Satria. Di lobi tadi, saat dia dan Satria sedang berjalan menuju lift, mereka berpapasan dengan seorang kolega.

Rea merasa tertampar di tempat saat tiba-tiba orang itu memberi ucapan selamat ulang tahun pada Satria. Bagaimana dirinya bisa lupa ulang tahun suaminya sendiri?

***

Abi sedang membereskan beberapa fail saat Satria masuk. Dia mendongak ketika mendengar suara dehaman dari arah pintu masuk. Lelaki itu buru-buru berdiri saat netranya melihat sosok Satria mendekat.

"Selamat siang, Pak," sapa Abi ramah.

"Siang. Rea di dalam?" tanya Satria melirik pintu ruangan Rea.

"Ada, Pak. Mari saya antar."

"Tidak perlu."

Abi yang hendak beranjak, urung. Dia mengangguk dan mempersilakan lelaki itu masuk. Entah cuma perasaannya atau bukan, Satria tampak memandang tak suka padanya. Abi tidak peduli, justru itu lebih baik. Artinya, Satria merasa terancam dengan keberadaannya. Diam-diam Abi menyunggingkan senyum. Big bos ternyata pencemburu akut.

Satria langsung menangkap keberadaan Rea begitu dirinya memasuki ruangan istrinya. Wanita itu sedang serius menatap layar laptop, sampai-sampai tidak menyadari kedatangannya.

"Sudah lo pilih, Bi? Letakkan saja di atas meja nanti gue tanda tangani," ucap Rea tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari layar laptop.

Satria memutar bola mata. Bisa-bisanya Rea mengira yang datang itu Abi. Dia bergerak meraih benda apa pun, lalu meletakkannya di atas meja Rea.

"Thanks, Bi." Rea memandangnya sekilas, lalu kembali memantengi layar laptop. Sejurus kemudian dia kembali mendongak.

"Bang Satria?"

"Sibuk banget ya?" Satria mendekat dan duduk di depan meja Rea.

Wanita itu serta merta menengok pergelangan tangan. "Ini belum jam makan siang. Kok kamu udah ke sini?"

"Emang kenapa? Nggak boleh?"

"Ya, nggak gitu. Aku selesaikan ini dulu." Rea kembali fokus pada laptopnya.

Selagi Rea menyelesaikan pekerjaannya, Satria berkeliling ruangan Rea. Ada sebuah partisi yang menghalangi antara tempat penerima tamu dan meja kerjanya. Di sisi bagian kiri ada lemari arsip serta lemari kaca berisi beberapa penghargaan yang pernah di dapat Surya Gemilang. Satria mengakui memang banyak prestasi yang perusahaan Rea raih, dia juga tidak pernah berpikir untuk menjual perusahaan itu sebenarnya. Hanya saja, kesibukan Rea membuatnya terpaksa melakukan itu. Dia lebih baik kehilangan satu perusahaan, daripada tidak mendapatkan waktu luang dari perempuan itu. Tapi sekarang? Perusahaan itu malah semakin maju saja sejak terakhir kena masalah.

"Sekretarismu itu dulunya bekerja di mana?" tanya Satria.

"Aku nggak tahu," jawab Rea sambil lalu.

Satria mengernyit. "Bagaimana kamu bisa nggak tahu? Memangnya kamu nggak mengecek CV-nya?"

"Belum sempat, Bang. Lagi pula selama bekerja dia baik-baik aja."

"Rea kamu terlalu ceroboh. Apa jadinya seandainya lelaki itu kiriman pesaing kita?"

Rea terkekeh. "Ya, nggak mungkinlah, Bang. Kamu nggak lihat? Surya Gemilang semakin maju berkat pemikiran marketing dia? Mana mungkin pesaing kita memberi poin-poin penting untuk kemajuan perusahaan musuhnya?" Rea menggeleng tidak menganggap serius ucapan Satria.

"Ya, siapa tau kan?"

Rea menatap Satria, kedua sikunya bertumpu pada meja, sementara kedua tangannya menyangga dagu. "Kamu kayaknya sentimen banget sama Abi? Masih cemburu sama dia?"

"Menurut kamu?"

Rea menghela napas jengah. "Aku udah tua, Bang. Sementara Abi masih muda. Apa yang kamu cemburui? Dia pasti pilih-pilih dong kalau mau naksir seseorang. Nggak juga wanita bersuami yang umurnya udah jelas beda jauh."

"Lagi-lagi dalam hal ini kamu kurang peka." Bahu Satria meluruh.

"Jadi, kamu pikir dia menyukaiku? Nggak masuk akal banget."

Bagian mana yang tidak masuk akal? Rea saja yang bebal dalam urusan ini. Tidak cukup sekali dia mendapat perhatian lebih dari klien laki-laki. Namun, lagi-lagi wanita itu tidak pernah paham. Sekarang, ditambah lagi sekretarisnya. Kenapa Rea tidak pernah berpikir bahwa dirinya itu istimewa?

Suara ketukan pintu terdengar, Abi masuk ke dalam tanpa lebih dulu Rea persilakan masuk. Ini sudah hal biasa. Lelaki itu menebar senyum pada Satria sebelum mulai lapor pada Rea.

"Ini beberapa dokumen yang perlu Anda approval, Bu." Abi meletakkan tiga map dengan warna berbeda.

"Oke. Kamu sudah melihat isinya?"

"Sudah, Bu."

"Baik. Kamu boleh keluar." Rea menarik dokumen yang Abi letakkan mendekat.

Menuruti perintah Rea, Abi beranjak keluar. Namun, baru dua langkah berjalan dia memutar badan kembali.

"Oh, ya, Pak Satria. Selamat ulang tahun. Semoga umur Anda selalu dilimpahi keberkahan," ucapnya menatap Satria seraya tersenyum.

"Terima kasih," balas Satria datar.

Abi melanjutkan langkah menuju pintu keluar.

"Hari ini banyak banget yang ucapin selamat ulang tahun. Memangnya hari ini aku ulang tahun?" Satria saja lupa, apalagi Rea.

Wanita itu mengangkat bahu acuh tak acuh. Setelah membubuhi tanda tangan, dia meraih blazernya. "Kita makan siang sekarang saja."

"Pekerjaanmu sudah selesai?"

"Sudah. Kita ke restoran hotel saja. Ada Andra juga di sana," kata Rea mengenakan blazernya.

"Memangnya kamu janjian juga sama dia."

"Enggak, kebetulan dia juga di sana." Rea beranjak diikuti Satria. Dia sempat menawari Abi untuk ikut bersama. Namun, lelaki itu menolak. Abi hanya memberinya kode bahwa semua yang Rea minta sudah beres.