Chereads / Emergency Marriage 2 : On My Heart / Chapter 9 - Happy Birthday, Bang!

Chapter 9 - Happy Birthday, Bang!

Bukan hanya Andra. Ternyata keenam anak mereka juga berada di sana. Seperti sengaja berkumpul. Mereka menyambut kedatangan Rea dan Satria antusias. Ini hal yang luar biasa. Kalau tidak di jam pagi, mereka akan berkumpul di jam makan malam. Sangat jarang mereka berkumpul di jam makan siang. Tapi kali ini demi apa mereka semua berkumpul dalam meja yang sama?

"Wah! Ada apa ini? Tumben banget kalian mau makan siang di luar?" tanya Satria menarik kursi untuk Rea. "Apa kamu, Ndra, yang jemput anak-anak?"

"Siapa lagi memangnya?" jawab Andra.

"Dad senang banget bisa makan siang bareng kalian. Udah pada pesan makanan?"

"Udah dong, Dad." Aarash menyahut. Dan memang benar, setelahnya menu makanan keluar.

"Wah, kita makan besar!" seru Serena.

"So, kamu harus makan yang banyak, Girl," sahut Satria.

"Of course."

Serena benar. Menu yang dihidangkan bervariasi dan lengkap. Tidak salah kalau dia menyebutnya makan besar. Menit berikutnya, semua sudah tenggelam pada piring masing-masing.

"Ada apa ini, Sayang? Tumben banget mereka datang?" bisik Satria mencondongkan badan ke arah Rea. "Kalau kamu mau bikin kejutan buatku, kamu berhasil."

Rea terkekeh mendengar itu. "Kita kan jarang makan siang bareng mereka. Udah, sih, nikmatin aja kebersamaan kita."

Ya, itu memang lebih baik. Satria menurut dan kembali fokus dengan kebersamaan yang hangat ini.

"Cakenya ready!" teriak Ceera, ketika mereka selesai makan siang. Meja sudah kembali kosong. Begitu anak lima tahun itu teriak, spontan mereka semua menyanyikan lagu selamat ulang tahun.

Satria tidak menutupi keterkejutannya. Dia tertawa dan tidak menyangka akan ada kejutan seperti ini. Lagu selamat ulang tahun terus dinyanyikan seiring seorang pelayan yang membawa sebuah troli berisi cake mendekat.

"Happy Birthday, Dad," ucap Ceera dan langsung melompat ke pelukan Satria.

"Thank you, Baby." Satria mencium anak gadisnya, sayang.

"It's time to slice your cake."

"Okay."

Sebenarnya Satria tidak terlalu suka acara ulang tahun seperti ini. Maksudnya dia jarang merayakannya. Tapi, kali ini beda karena anak dan istrinya yang melakukannya. Begini saja sudah sangat bahagia. Tidak ada banyak harapan, dia hanya ingin semua tetap bersama.

Potongan pertama tentu saja ia berikan pada Rea, istrinya. Yang selama ini selalu ada buatnya.

"Happy Birthday, Bang." Rea mencium pipi suaminya. "I love you."

"Love you too." Kecupan singkat dibibir ia edarkan.

"Happy Birthday, Dad." Bisma dan si kembar kompak mengucapkan itu.

Bukan hanya sekadar nyanyi dan potong kue. Ternyata anak-anak memberinya kado.

"Harusnya kalian nggak perlu repot-repot melakukan ini."

"I have something for you too. Happy birthday, Dad," ucap Nicko memeluk hangat ayahnya.

"Thank you, Son," balas Satria mengecup kening putranya itu.

Anak-anak diantar pulang kembali oleh Andra setelah acara makan siang dan sedikit perayaan itu selesai. Di meja makan, hanya tinggal Satria dan Rea berdua. Mereka saling pandang dan mengulum senyum.

"Apa kamu bahagia, Bang?" tanya Rea.

"Melihat kalian sehat dan bahagia, itu adalah kebahagiaanku. Terima kasih, Sayang." Satria bergerak mencium bibir Rea. Hanya sekilas, karena tidak mungkin mereka melakukan French Kiss di depan umum.

"Aku juga punya sesuatu untuk kamu, Bang." Rea tersenyum lagi.

" Oh ya? Apa itu?" Mata Satria berbinar.

"Tunggu sebentar." Mata Rea mengedar, dia tampak sedang menunggu sesuatu. "Nah, itu dia!"

Serta merta Satria ikut menoleh ke arah pandang istrinya. Senyum yang tadi merekah mendadak surut saat matanya melihat siapa yang datang mendekat. Itukan Abi Permana? Lelaki itu datang dengan membawa sebuah boks.

"Thanks, Bi," ucap Rea begitu Abi meletakkan boks itu di meja. Abi kemudian menjauhi mereka kembali.

"Apa ini?" tanya Satria menunjuk boks berwarna putih itu.

Rea tersenyum. "Ini kadoku buat kamu, Bang. Buka dong."

Satria mengangguk sangsi. Boks berwarna putih dengan pita merah di atasnya. Semoga ini tidak buruk. Satria menarik simpul pita, dan seketika benda panjang itu terurai. Lalu, dia membuka tutup boks itu sehingga netranya langsung melihat isi di dalam boks itu.

"Wow, puding rumput laut?"

Rea mengangguk. Kemudian dia membantu Satria untuk memotong puding itu dan meletakkannya pada sebuah wadah.

"Makan, ya."

"Terima kasih, Sayang."

Dan secepat kilat, Satria menghabiskan sepotong puding itu. "Suruh seseorang membawakan sisanya ke mansion, Sayang." Satria tidak rela kalau hanya makan sepotong. Tapi saat ini perutnya sudah cukup banyak makan.

"Tapi Sayang, kayaknya ini saja belum cukup, deh. Aku mau minta kado lain dari kamu boleh?" tanya Satria.

"Apa? Asal nggak menyusahkan."

"Bahkan aku belum mengatakan apa pun."

"Iya. Ayo, katakan."

Satria mendekatkan duduknya pada Rea. "Aku minta adik untuk Ceera."

Kontan itu membuat mata Rea melotot. "Maaf, Bang. Untuk yang satu itu aku belum bisa mengabulkannya."

Satria memasang tampang kecewa. "Kok gitu sih?"

"Ceera baru lima tahun. Dan anak kita sudah banyak. Yang bener aja, kamu mau minta anak lagi."

Satria mendesah. "Aku kan belum bikin kesebelasan."

"Kamu pikir melahirkan anak itu gampang? Nggak ya, Bang. Udah cukup. Aku nggak mau nambah-nambah lagi."

Dasar laki-laki bisa main tancap, belum tahu saja rasanya mengandung, melahirkan, dan merawat. Lagi pula, astaga enam anak saja sudah ramai dan heboh, Satria masih minta nambah lagi.

"Ada permintaan lain?" tanya Rea.

Satria terlihat mengerutkan kening. "Kalau gitu besok aku ikut perjalananmu. Pokoknya setiap ada perjalanan bisnis kamu, aku harus ikut serta."

Hmm, ini pasti masih perkara kecemburuannya dengan Abi. Rea berdeham sebelum kembali menatap lurus suaminya.

"Pertama memang kamu nggak ada kerjaan ngikutin perjalanan bisnis istri kamu? Kedua, besok kamu harus ke sekolah Nicko, atau Axel yang akan menggantikannya."

Satria menggeram. Sebagai seorang pimpinan yang masih aktif tentu saja dia banyak kerjaan. Dan soal ke sekolah Nicko? Dirinya hampir lupa.

"Oke, sepulang dari sekolah Nicko, aku akan menyusulmu."

Rea menghela napas. "Terserah kamu saja, Bang." Dia menengok jam tangannya. "Sepertinya ak–"

"Bu Rea sudah ditunggu meeting dengan Pak Surya." Abi lebih dulu mendahului ucapan Rea. Lelaki itu sudah berdiri tidak jauh darinya.

Melihat itu Satria spontan berdecak sebal.

"Oke, Abi. Tunggu sebentar." Rea mencolek hidung suaminya yang tampak cemberut. "Ini hari ulang tahunmu. Nggak baik kalau terus cemberut. Kamu mau wajah tampanmu hilang 9 persen?" goda Rea.

"Aku akan menunggumu sore ini. Kita makan malam bersama," ujar Satria mengabaikan godaan Rea.

"Baiklah." Rea berdiri. "Aku pergi dulu, ya."

Satria pasrah saja ketika melihat Rea berjalan menjauhinya dengan Abi yang mengikuti. Dari posisinya Satria bisa melihat Abi memperlakukan Rea dengan sangat baik. Lelaki itu membukakan pintu untuk Rea. Bahkan tas milik Rea, lelaki itu yang bawa.

Alis Satria tertaut. Apa harus seperti itu seorang sekretaris? Sekretaris Satria di kantor nyaris tidak pernah mengikuti ke mana pun dia pergi. Yang diizinkan membuntutinya hanya Ruben. Iya, Ruben asistennya. Apa Rea berniat menjadikan Abi asistennya juga? Satria menggeleng. Itu tidak bisa dibiarkan.

Tidak lama, Ruben muncul dari dalam restoran, dan menghampiri bosnya.

"Sudah selesai, Pak?" tanya lelaki itu.

"Ruben, besok setelah ke sekolah Nicko, kosongkan semua jadwalku."

Ruben langsung mengecek tablet. "Maaf, Pak. Sepertinya tidak bisa. Bapak harus ke Malaysia bertemu dengan Datuk Ali Mustafa terkait kerjasama pembangunan tower kita di sana."

Satria memejamkan mata. Kenapa dirinya harus ada perjalanan juga pada hari itu sih?

"Apa itu sangat penting?" tanya Satria seperti orang mengigau.

"Sangat penting, Pak." Ruben meringis lebar.

Detik itu juga Satria menjatuhkan kepalanya ke atas meja. Dia tidak bisa berbuat apa pun sekarang.

__________***___________