Rea mendapati Satria sudah bersandar pada kepala ranjang ketika dia memasuki kamar. Lelaki itu memandanginya tersenyum. Lantas melambaikan tangan menyuruh Rea mendekat. Rea menurut saja. Dia tahu, Satria sedang mode manja menjelang kepergiannya ke Pasuruan dan Makassar.
Satria langsung memeluk Rea, saat wanita itu sudah berada di hadapannya.
"Aku ingin memelukmu sampai pagi."
"Boleh. Kan aku milik kamu."
Jawaban Rea membuat Satria menyunggingkan senyum kembali. Dia melepas pelukannya, lantas memandangi wajah cantik Rea. Bagaimana dirinya masih saja tergila-gila pada Rea, wanita itu semakin cantik seiring bertambahnya usia. Rea pandai merawat diri. Oh, jelas. Wanita mana pun jika bernasib sama sepertinya, juga akan pintar merawat diri.
Tangan Rea bergerak membuka kancing piyama Satria. 'Memelukmu sampai pagi' versi Satria itu artinya, Rea harus melakukan sesuatu untuk lelaki itu. Seperti menidurkannya dalam tanda kutip. Dia menjatuhkan baju piyama Satria ke bawah ranjang. Tubuh atletis Satria terpampang dengan jelas di depan matanya. Rea lantas beringsut merapat. Memainkan perannya. Tangannya terulur mengusap bahu lebar suaminya. Lalu dengan pelan bibirnya mencium bibir Satria lembut.
Melewati bahu, tangan Rea menyusur ke dada bidang Satria. Lalu turun ke area perut dan pinggang. Sementara itu, Satria juga tidak mau tinggal diam. Tangannya menurunkan tali dress tidur yang Rea kenakan, hingga dress itu meluruh jatuh di perut wanita itu. Dada Rea yang membusung tampak menantang. Rupanya wanita itu sengaja tidak menutupnya dengan bra. Sehingga dengan mudah Satria mengeksplor dengan kedua tangannya di sana.
Ciuman mereka terurai. "You are so sexy, Baby," bisik Satria lantas bibirnya mengecup tulang selangka Rea, membuat sensasi tersengat tiba-tiba menyerang.
"And you're so damn sexy," balas Rea tersenyum.
Dan mereka memadu kasih dalam hangatnya selimut malam. Selalu seperti itu, tidak ada yang meminta, tetapi memang saling membutuhkan satu sama lain.
***
Satria memandang Rea sibuk mondar-mandir menyiapkan beberapa pakaian ganti yang akan Rea bawa di perjalanan hari ini. Wajah lelaki itu tampak memelas, sesekali bertopang dagu, menyelonjorkan kaki. Intinya dia gusar. Pasalnya, Rea bilang dia butuh dua hari untuk meninjau dua pabrik di dua kota yang berbeda.
"Apa tidak bisa diwakilkan saja?" tanya Satria sekali lagi berusaha agar Rea tetap tinggal.
"Ya, nggak bisa dong, Bang. Aku harus mastiin semuanya aman." Rea memasukkan beberapa setel baju ke dalam koper kecil.
Bibir Satria maju lima senti. "Nggak bisa sehari aja?"
Rea menggeleng, melihat suaminya yang masih bertahan di atas kasur. Ini bukan Satria yang biasa. Karena biasanya, pagi seperti ini lelaki itu sudah berdandan rapi. Kali ini Satria masih betah dengan piyama tidurnya. Belum mandi pula. Sementara Rea, dia sudah siap untuk berangkat.
"Kamu mau sampai kapan di atas kasur terus, Bang? Mandi sana, emang nggak ngantor?"
"Males." Satria meraih guling dan memeluknya. Lelaki itu ngambek, Rea paham.
Rea mengulum senyum dan menghampiri Satria. Bibir lelaki itu mencebik lucu minta diperhatikan.
"Bang, aku cuma dua hari. Nggak lama. Kamu udah kayak mau ditinggal setahun aja."
"Memang. Tapi kamu ke sana sama sekretaris itu, berdua."
Rea mendesah. "Kita kerja, Bang. Bukan bersenang-senang."
"Tetap saja, aku nggak suka."
Rea menengok jam tangannya. Pagi ini dia terbang menggunakan pesawat komersial. Jadi, tidak boleh terlambat.
"Bang, aku harus berangkat sekarang." Rea beranjak berdiri. Namun, dengan manjanya Satria mencekal tangan wanita itu.
"Ikut...."
"Jangan kayak anak kecil, deh. Malu sama anak-anakmu yang udah pada gede."
Satria menghela napas panjang. Dia kemudian turun dari ranjang dan menarik koper Rea. "Ya, sudah. Ayo," katanya, berjalan keluar kamar. Di belakangnya, Rea menahan senyum. Satria mode manja itu lucu banget. Dia segera menyusul, lalu melingkari lengan besar suaminya.
"Kamu mau ke Malaysia pukul berapa, Bang?" tanya Rea. Mereka sedang melewati lorong kamar untuk turun ke bawah.
"Sebentar lagi."
"Dan kamu belum siap apa-apa? Nggak takut kena omel Ruben?"
"Kalau dia mengomel, ya, aku omeli balik."
Mereka menuruni anak tangga. Di bawah, anak-anaknya tengah berkumpul. Rea ingin menyapa mereka sejenak sebelum berangkat ke bandara.
"Aku nggak mau pas pesawat take off kamu memeluk sekretaris itu."
Kening Rea berkerut samar dan terkekeh. "Tenang, Bang. Aku udah bawa headset, untuk mengalihkan fobiaku."
"Ini menyebalkan," dengus Satria lagi.
"Tersenyum di hadapan anak-anak," ucap Rea sebelum menuruni anak tangga terakhir.
"Anak-anak, mom izin pergi sebentar, ya. Nggak lama kok, cuma dua hari. Kalian nggak boleh nakal," ucap Rea pada anak-anaknya.
"Mom mau ke mana? Aku ikut!" teriak si kecil Ceera. Tubuh mungilnya memaksa keluar dari kursi makannya. Pengasuh di sebelahnya dengan sigap membuka kursi itu. Lalu Ceera turun dan berlari memeluk kaki Rea.
"Ceera ikut, Mom." Anak itu mendongak, menatap Rea. Dia benar-benar Satria kedua. Di saat kakak-kakaknya acuh tak acuh akan kepergian Rea, Ceera malah ingin ikut pergi bersama.
Rea berjongkok melepas tangan mungil Ceera dari kakinya. "Ceera, Sayang. Mom itu kerja, bukan jalan-jalan. Kalau jalan-jalan pasti Mom akan ajak kamu."
"Tapi Ceera mau ikut!" Anak itu merajuk.
Rea menatap Satria minta tolong. Lelaki itu malah menatap sedih pada anaknya, membuat Rea mendesah. Anak dan bapak sepertinya bersekongkol.
"Oke, nanti habis ini, Mom akan ajak Ceera jalan-jalan. Tapi kali ini, izinkan mom kerja dulu, oke?"
"Nggak mau!" teriak Ceera lagi. Repot kalau sudah seperti ini.
"Ceera, Sayang. Nanti Kak Serena bacain buku baru, deh." Serena yang lebih peka daripada bapaknya. Anak itu berusaha mengalihkan perhatian adiknya.
"Nanti kita main bola bersama," ujar Bisma.
"Nggak mau!" Ceera masih kekeh dengan pendiriannya.
"Atau mau nonton Kak Aarash dan Kak Aariz main bisbol?" Kali ini Aarash berusaha membujuk.
"Enggak!" teriak Ceera lagi. "I wanna go with you, Mom!" tangan kecilnya memeluk leher Rea.
Rea sampai menghela napas panjang. Kalau begini ceritanya, dia akan ketinggalan pesawat. Dia melirik Satria yang sepertinya dengan sengaja membiarkan kejadian ini. Menyebalkan.
"Gimana kalau ikut Kak Nicko lihat sapi dan domba?" Nicko bersuara. Perhatian Ceera teralihkan.
"Nanti naik kuda," tawar Ceera.
"Oke, boleh."
Ceera langsung turun dari gendongan Rea, dan berlari mendekati Nicko.
"Aku mau sarapan pagi bareng Kak Nicko," ucapnya naik ke pangkuan anak sulung Rea.
Seketika itu Rea bernapas lega, dan tersenyum menghadap Satria. "Masalah teratasi." Dia lantas menghadap anak-anaknya kembali. "Thank you, Nicko."
"You're welcome, Mom."
"Anak-anak, Mom udah terlambat. Terima kasih, kalian mau saling jaga satu sama lain. Mom berangkat dulu, ya." Satu per satu Rea mencium pipi anak-anaknya.
"Take care, Mom."
Rea berjalan keluar mansion diikuti Satria di belakangnya.
"Terus aku gimana?" tanya Satria. "Kamu beneran tega ninggalin aku?"
Astaga! Rea memutar bola matan. Lihat, lelaki itu manjanya sudah melebihi Ceera. Supir sudah menunggu Rea begitu mereka sampai di teras. Dia mengambil alih koper yang Satria bawa. Hampir saja Satria rebutan koper dengan si supir seandainya Rea tidak melotot. Rasanya Satria tidak rela saja melihat koper milik Rea masuk ke bagasi mobil.
"Bang, aku berangkat, ya." Rea mencium pipi suaminya sekilas lantas berbalik. Namun, sebelum itu Satria lebih dulu menahan pergelangan tangannya, dan serta merta mencecahkan ciumannya pada bibir wanita itu.