Bertolak dari Pasuruan, Rea dan Abi melanjutkan perjalanan menuju Makassar. Tepatnya di Kabupaten Gowa. Pembangunan pabrik baru di sana dengar-dengar sudah hampir seratus persen jadi. Dan siap beroperasi bulan depan. Permintaan pasar dan percepatan distribusi mau tidak mau membuat Rea berpikir untuk membangun pabrik di beberapa daerah agar proses pemasaran bisa merata. Tidak hanya sekitar Pulau Jawa dan Bali saja.
Sesampainya di Bandara Sultan Hasanuddin, mobil yang menjemput mereka langsung menuju ke lokasi pembangunan pabrik. Rencananya akan ada tiga produk yang akan diproduksi di pabrik ini. Semuanya produk minuman kemasan.
Didampingi salah seorang penanggung jawab pembangunan, Rea dan Abi berjalan mengamati beberapa bagian yang sudah siap pakai.
"Bulan depan kira-kira sudah siap untuk produksi enggak, Pak?" tanya Abi pada Pak Rahmat, penanggung jawab pembangunan pabrik.
"Insyaallah sudah bisa, Pak. Mesin-mesin juga sudah berdatangan."
Abi mengangguk. "Safety and Healthy diutamakan ya, Pak. Karena ini produk konsumsi. Jadi, kesterilannya harus selalu dijaga."
"Itu sudah pasti, Pak. Proses semua sesuai standar kesehatan."
"Bagaimana, Bu Rea? Ada lagi yang ingin Anda tanyakan?" tanya Abi pada Rea. Wanita itu sedang mengawasi beberapa pekerja di bawah. "Bu Rea?"
Rea menoleh. Dia terlalu serius mengawasi keadaan di bawah sana. Beberapa buruh sudah bekerja sangat keras demi pembangunan pabriknya. Dalam hati dia sangat berterima kasih.
"Abi, tolong kamu order makan siang spesial untuk para buruh di bawah, ya." Bukannya menjawab pertanyaan Abi, Rea malah menyuruh laki-laki itu memesan makanan. Pak Rahmat sampai mengulum senyum.
"Tapi, Bu—"
"Kasihan mereka sudah bekerja keras."
"Hm, baiklah."
Perintah bos nggak bisa dibantah. Tepat jam makan siang para pekerja berkumpul dan makan menu spesial dari Rea. Wanita itu tampak ikut bahagia melihat wajah penuh peluh itu melahap makan siang mereka.
Rea dan Abi kemudian bertemu kepala HRD untuk menanyakan progres karyawan yang sudah direkrut.
"Mereka yang baru sedang dalam tahap training, Bu. Dan kalau karyawan pindahan dari Jawa sudah mulai bekerja."
Rea mengangguk mendengar penjelasan kepala HRD. "Jadi, nggak ada kendala kan, Pak, soal SDM?"
"Insyaallah enggak, persiapan untuk opening produksi pertama sudah mulai disiapkan dari sekarang."
"Good. Saya suka kerja kalian."
Pukul dua siang, mereka memutuskan untuk ke hotel, istirahat. Rea mengecek ponselnya. Ada lima puluh lebih panggilan tak terjawab dari Satria. Astaga, lelaki itu seperti orang kurang kerjaan saja. Tidak mau cari masalah, dia menghubungi balik Satria. Baru deringan pertama sudah langsung diangkat.
"Ya, ampun, Sayang. Kamu ke mana saja? Kenapa teleponku nggak diangkat-angkat?" tanya Satria langsung dari ujung sana.
Rea memutar bola mata. "Piknik. Ya, kerja lah, Bang."
"Apa nggak bisa menyempatkan mengangkat telepon sebentar aja?"
"Sibuk, Bang. Lagi pula nanggung tadi."
"Ya, udah. Sekarang kamu lagi di mana?"
"Aku udah di Makassar, dan ini sedang dalam perjalanan ke hotel, Bang."
"Apa? Hotel? Ngapain?" Satria sedikit histeris mendengar kata hotel.
"Bajak sawah. Ya, ampun kamu kenapa, sih, Bang? Aku tuh, dari Bandara langsung ke pabrik, dan ini baru kelar. Aku butuh istirahat," terang Rea sedikit geram.
"Kenapa nggak langsung pulang aja, sih, Re? Ngapain juga kamu berlama-lama di sana?"
Rea mendesah. Dia mengusap-usap keningnya. Semakin tua kecemburuan Satria malah semakin menggunung. Padahal dia dan Abi murni kerja. Lagian, astaga. Rea masih waras untuk menyukai berondong.
"Aku udah sampai hotel, Bang. Aku tutup dulu, ya, Bang. Nanti sambung lagi."
"Rea tunggu. Aku bel—"
Rea langsung mematikan panggilannya. Dan mengabaikan Satria yang berusaha menghubunginya kembali.
"Pak Satria menyuruh Anda pulang, Bu?" tanya Abi yang duduk di depan bersama supir.
"Iya. Enggak tau apa kalau gue lagi capek?"
"Kenapa Pak Satria nggak menyusul ke sini saja kalau memang kangen sama Anda?"
Rea menggaruk kepalanya yang tak gatal. Rasanya malu sudah punya buntut banyak tapi masih bicara soal kangen. Rea akui Satria memang terlalu berlebihan. Bukannya semakin percaya, malah semakin posesif saja.
"Biarkan saja, Bi," ujar Rea malas. Mulutnya lanjut bergumam, "udah tua, tapi nggak ingat umur."
"Apa Anda mengatakan sesuatu, Bu?"
"Ah, tidak ada, Bi."
Sesampainya di hotel, Abi memesankan dua kamar hotel untuk Rea dan dirinya. Mereka langsung menuju lantai kamar berada. Nomor kamar mereka berdampingan. Sengaja Abi pilih agar lebih mudah menjangkau bosnya jika Rea menginginkan sesuatu.
"Ini kamar Bu Rea." Abi berhenti pada sebuah pintu kamar. "Kamar saya ada di sebelah, kalau ada apa-apa, Anda bisa panggil saya."
"Oke, Bi." Rea memasukan card ke sebuah alat yang menempel pada dinding kamarnya. Pintu seketika dengan mudah bisa ia buka.
"Bu Rea, sebentar."
Rea yang hendak menutup pintu urung. Abi yang memang masih berdiri di depan pintu kamarnya menahannya.
"Ada apa?" tanya Rea menatap lelaki muda di hadapannya.
"Umm, saya tahu tempat yang recommended di sini. Apa Anda mau makan malam dengan saya malam ini?"
Rea mengerjapkan mata. Abi mengajaknya makan malam? Sebenarnya tidak masalah, sih. Tapi, kenapa wajah Abi harus semerah itu saat mengatakannya?
Rea mengangguk ragu. "Oh, oke. Jam berapa?"
"Tujuh malam," jawab lelaki itu tersenyum lebar.
"Oke."
Abi mengangguk, "selamat istirahat ... Rea." Dia tersenyum sebentar lantas beranjak.
Rea yang belum sempat menutup pintu menelengkan kepala. Tumben sekali Abi menyebut nama Rea tanpa embel-embel Bu di depannya? Rea mengangkat bahu mencoba abai. Anggap aja Abi sudah mulai santai padanya. Bukannya dari awal juga Rea sudah pernah bilang untuk tidak terlalu formil di luar jam kerja?
Rea langsung melempar diri ke atas tempat tidur. Tidur terlentang di tengah-tengah kasur tanpa ada gangguan. Rasanya sangat bebas dua hari ini. Ia bisa mengistirahatkan badannya sejenak. Biasanya setelah seharian bekerja, malamnya Satria juga akan menggarapnya tanpa ampun. Remuk redam? Itu risiko. Kalau Rea ingin tetap bekerja, dia harus tahan banting, dan nggak banyak mengeluh saat Satria menuntut hak darinya. Rasa lelah yang bergelayut mengantarkannya tidur cepat. Terasa nikmat dan nyaman.
Rea dibangunkan oleh suara bel. Dia menguap lebar-lebar sebelum membuka mata. Tangannya terangkat, melihat arloji. Pukul tujuh malam. Dia memejamkan mata kembali. Namun, lagi-lagi suara bel pintu membuatnya terbangun. Dengan sangat terpaksa Rea bangkit dan menyeret langkah menuju pintu.
Begitu pintu terbuka, dia melihat Abi berdiri di hadapannya sudah berpakaian rapi. Pria itu melongo melihat penampilan Rea saat ini.
"Anda baru bangun tidur?" tanya Abi meringis.
Seolah tersadar, Rea celingukan. "Astaga, sekarang pukul berapa?"
"Pukul tujuh."
Rea menepuk jidatnya sendiri. Dia hampir lupa ada janji dengan lelaki ini karena keenakan tidur.
"Sori, Bi. Tunggu bentar, ya." Rea bergegas menuju kamar mandi. Di dalam kamar mandi dia tidak bisa berlama-lama karena Abi sudah menunggunya. Bisa-bisanya dia lupa kalau ada janji.
Setelah mandi, Rea mengambil dress dari kopernya dan segera mungkin mengenakannya. Lalu memoles sedikit wajahnya dengan make up. Tidak terlalu banyak yang Rea lakukan. Penampilannya sangat simpel meskipun tidak memungkiri terlihat begitu elegan. Semua yang menempel pada dirinya itu barang berharga pilihan Satria.
"Sori, Bi. Lama nunggu." Rea membuka pintu kembali setelah siap.
Abi yang tengah bersandar pada dinding langsung menegakkan badan. Meskipun nyaris setiap hari selalu bersama, Abi masih saja terpukau dengan wanita yang kini sedang membenarkan rambutnya.
"Kita berangkat sekarang, Bi?" tanya Rea.
Abi tidak langsung menjawab, dia masih bengong di tempat dari saat Rea muncul.
Rea mengernyit. "Bi? Lu sehat 'kan?"
Abi terkesiap, begitu dirasanya sebuah punggung tangan mendarat di keningnya yang lebar. "A-ah, iya, Bu. Ayo, ayo kita berangkat sekarang," jawab Abi tampak gugup. Lelaki itu lantas meminta Rea untuk berjalan lebih dulu. Dalam hati dia mengumpat. Bisa-bisanya dia bersikap seperti itu di depan Rea? Dia tidak mau atasanya itu menaruh curiga padanya.
_________________________
Yuk lah, masukkan cerita ini ke library kalian.