Chereads / Emergency Marriage 2 : On My Heart / Chapter 3 - Sekretaris Baru

Chapter 3 - Sekretaris Baru

Heels lima senti Rea terantuk membentur lantai koridor. Dia bergegas ingin turun ke lobi. Jam pulang sudah lewat satu jam lalu. Dia terlalu asyik berdiskusi dengan tim marketing. Mungkin Satria sudah meninggalkannya. Karena dia juga sempat minta izin pulang terlambat.

"Bu Rea! Tahan!" teriak seseorang memintanya untuk menahan pintu lift agar tidak tertutup. Tangan Rea otomatis menekan tombol, dan pintu lift terbuka lebar kembali. Kemudian Abi menyelinap masuk. Iya, yang berteriak tadi itu Abi. Dia juga hendak turun ke bawah.

"Terima kasih, Bu."

Rea hanya mengangguk, lalu menggeser posisinya.

"Bu Rea langsung pulang?" tanya Abi.

"Iya, mau ke mana lagi? Anak-anak sudah menunggu di rumah."

"Mau saya antar?" tanya Abi mencoba peruntungan.

"Tidak, Abi, terima kasih, sudah ada jemputan di bawah."

Harusnya Abi tahu, tidak mungkin tidak ada yang menjemput. Dia itu istri bos besar, mana mungkin terabaikan. Ya, Abi cuma basa basi. Jiwa laki-lakinya meronta melihat wanita cantik pulang sendiri. Abi akui, Rea itu cantik. Rumor tentang cantiknya istri bos besar sudah Abi buktikan sendiri. Sebelum memutuskan menerima tawaran menjadi seorang sekretaris, dia sudah lebih dulu mempelajari perusahaan, juga pemimpinnya. Dia bahkan rela meninggalkan pekerjaannya sementara waktu demi menuntaskan rasa penasarannya.

"Hari sudah menjelang malam, bagaimana Anda bisa masih terlihat sangat fresh, Bu?" tanya Abi tiba-tiba.

Rea mengernyit mendengar itu. Apa itu pujian, atau basa basi karyawan baru saja? "Maksudnya?"

"Maksudnya di saat orang-orang sudah kelelahan karena bekerja seharian, contohnya saya. Tapi saya melihat Bu Rea masih tampak segar-segar saja. Kalau boleh kasih tips buat saya agar tetap tampil bugar," jelas Abi membuat tawa Rea pecah.

Bagaimana bisa ada yang memujinya seperti itu? Bagi Rea, sore hari seperti ini adalah penampilan terburuknya. Dandanan sudah ala kadarnya, badan lengket, penat, lalu yang terlihat segar di mata Abi bagian mananya?

"Lo ngeledek gue?"

Abi terkejut mendengar ucapan Rea. Bosnya berlo-gue padanya?

"Gue lagi kondisi lengket dan kucel gini lo bilang seger, kalau njilat atasan jangan tanggung-tanggung," lanjut Rea menggeleng.

"Astaga, Bu. Bukan itu maksud saya." Buru-buru Abi mengangkat kedua tangannya.

"Jadi, apa maksud lo?" Rea melebarkan mata.

"Saya hanya bicara apa adanya. Coba deh, Anda tengok diri Anda di pantulan pintu itu?"

Sontak Rea melakukan hal yang Abi minta, melihat pantulan dirinya di pintu besi itu. Memang tidak buruk. Tapi tetap saja, baginya sekretarisnya itu berlebihan.

"Jangan ngada-ngada. Gue bisa over pede kalau lo sanjung."

Abi tertawa ringan. "Saya cuma bicara apa adanya. Anda yang terlalu merendah."

"Baiklah, baiklah, terserah lo aja."

Pintu lift kemudian terbuka. Mereka keluar bersama menuju lobi, dan bersama-sama menuju halaman parkir. Supir Rea terlihat sudah menunggu.

"Lo ngapain ngikutin gue?" tanya Rea, karena Abi ternyata masih mengiringinya berjalan.

"Saya cuma mau memastikan Anda selamat sampe mobil Anda."

Rea terkekeh. "Oke, thanks. Tuh supir gue udah nunggu. Kalau udah kelar jam kerja bicaranya jangan terlalu formil banget. Lo boleh berlo-gue sama gue."

Abi melongo. "Saya mana berani begitu?"

"Santai aja kali, Bi. Di luar jam kerja, kita teman." Rea tersenyum.

Abi terlihat menghela napas tertahan. Dia berhasil membuktikan rumor lainnya, bahwa bos wanitanya ini aneh. Ketika sampai di mobil milik Rea, Abi buru-buru membuka pintu untuk bosnya itu.

"Ya, sudah, gue balik. Lo pulangnya juga hati-hati," ucap Rea sebelum memasuki mobilnya.

"Siap, Bu."

Abi masih berdiri hingga mobil Rea keluar dari halaman parkir, dan menghilang, baru kemudian dia beranjak menuju mobilnya. Dia mengulas senyum sebelum menyalakan mesin mobil. Rea itu... lucu.

***

"Mom!" teriak Ceera menyambut kedatangan Rea. Anak itu sedang bermain bersama kakak-kakaknya di ruang keluarga. Satria sendiri terlihat duduk di sofa mengawasi mereka bermain.

"Halo, Honey." Dia langsung mengangkat tubuh mungil Ceera. Lalu matanya mengabsen anak-anaknya. Yang tidak nampak si kembar.

"Baru pulang, Sayang?" tanya Satria. "Kelihatannya hari-harimu sibuk banget, ya."

Rea memutar bola mata. Memang dia seperti ini karena siapa?

Satria menyeringai, lantas menghampiri istrinya. "Daripada kamu capek-capek mikirin perusahaan itu. Mending kamu capek ngurus aku di rumah aja." Tidak lupa kecupan manis mampir di pipi perempuan itu.

Rea tersenyum lebar namun tak lama. Dia buru-buru menyusutnya, dan memandang sebal suaminya. "Daripada capek ngurus kamu, mending capek ngurus anak-anak."

Satria tertawa. Dia paling suka menggoda Rea. "Kalau anak-anak 'kan udah ada yang ngurus. Suamimu ini nih, yang belum ada. Istrinya sibuk di kantor," bisik Satria.

Rea terpaksa menyerahkan Ceera pada pengasuhnya karena Satria menempel seperti lintah di punggungnya. Lelaki itu menggiring Rea menuju kamar.

"Bang, berat, ya ampun. Aku tuh lagi capek," keluh Rea menabok lengan Satria agar lepas dari perutnya.

Lelaki itu melepas pelukannya, dan memosisikan diri jongkok di depan Rea, memamerkan punggung. "Ayo, naik," katanya.

Menengok kiri kanan, Rea harus memastikan anak-anaknya tidak melihat kelakuannya. Setelah dirasanya aman, dia kemudian beringsut, dan meloncat ke punggung Satria. Kegilaan yang masih saja dibudidayakan dua insan itu.

Mereka menaiki tangga utama, yang panjangnya naudzubillah. Dan lurus memasuki kamarnya yang luas.

"Apa aku makin berat, Bang?" tanya Rea begitu Satria menurunkan dirinya di atas tempat tidur king size-nya.

"Iya. Semakin seksi, kamu semakin berat. Kayak kamu keberatan ini deh." Tangan Satria menangkup dada Rea yang tertutup blazer.

Wanita itu mendelik dan memukul tangan suaminya yang asal mampir. "Jangan jail." Dia bangkit berdiri dan membuka blazer. Satria turut melakukan hal sama. Lagi-lagi dia tidak tahan untuk mengendus leher istrinya, dan memeluk dari belakang.

"Aku belum mandi, Bang. Menyingkir, dong."

"Belum juga masih wangi gini." Satria menghirup dalam-dalam aroma tubuh istrinya. Tangannya bergerak membuka kancing kemeja yang Rea kenakan.

"Aku mau mandi, Bang." Rea berusaha menyingkirkan tangan jail Satria yang terus saja bergerak. Sumpah, dia sangat lelah hari ini.

"Aku mandi kan, atau kamu mau kita berendam bersama?"

Berendam air hangat dengan aroma terapi yang menenangkan itu terdengar menarik. Tapi kalau harus dengan embel-embel berendam berdua Rea rasa itu akan tambah melelahkan.

"Aku mau mandi sendiri aja." Rea berhasil lepas dari pelukan Satria.

"Aku bisa mijitin kamu. Kalau kamu capek, Sayang."

"Enggak perlu. Pijitanmu penuh muslihat. Aku nggak mau ketipu."

Mau tidak mau Satria tertawa dibuatnya. Rea sudah terlalu hapal dengan modusnya. Tapi, astaga, wanita itu beberapa hari terlihat begitu sibuk. Sehingga Satria merasa terabaikan.

"Kamu akhir-akhir ini sibuk. Sudah berapa lama kita nggak melakukannya?" Bibir Satria mencebik lucu.

Rea mencoba mengingatnya. Terakhir berhubungan badan itu ... tiga hari lalu sepertinya. Astaga, apanya yang berapa lama?

"Bang, baru tiga hari lalu kamu menggempurku tanpa ampun. Apanya yang lama?"

"Masa sih? Kayaknya udah lama banget."

Rea memutar bola mata. Kelakuan Satria masih sama mesumnya. Padahal sudah memiliki anak setengah lusin.

Satria terkekeh, lalu menarik kemeja Rea hingga terlepas, menyisakan bra warna hitam yang menyangga sempurna dadanya yang memukau. Dia kembali merapatkan jarak.

"Aku maunya tiap hari."

Rea mendesah. "Tapi aku capek, Bang."

"Itulah alasannya kenapa aku menyuruhmu untuk enggak memikirkan perusahaan itu." Tatapan Satria tampak serius.

"Aku nggak mau. Surya Gemilang adalah perusahaan yang aku perjuangkan dengan susah payah."

"Kalau begitu penuhi kewajibanmu. Bagi waktumu. Aku akan mengizinkan kamu tetap berada di sana. Karena kalau enggak–"

Rea langsung membungkam mulut Satria dengan bibirnya. Tidak ada cara lain. Untuk tetap mempertahankan napas Surya Gemilang, dia harus bisa meluluhkan hati lelaki ini. Meskipun raganya lumayan lelah.