Dea menunduk dalam. Bathrobe dari hotel masih dia kenakan. Rea sama sekali tidak memberi ruang untuk berganti baju kembali. Dan, sekarang dirinya sudah seperti terdakwa yang sedang menghadapi sidang. Rea dan Satria menghujamkan tatapan menyelidik dan tajam. Kalau sudah seperti ini Dea tidak bisa berkelit lagi. Hubungannya dengan Abi pasti akan terbongkar. Yang benar hubungan terpaksa antara dirinya dan Abi beberapa tahun silam yang sudah dia tutup rapat-rapat. Siapa nyana lelaki itu akan kembali dan merusak segalanya lagi. Padahal Dea sudah hidup tenang selama beberapa tahun ini.
"Bisa kamu jelaskan padaku, Dea?" Intonasi suara Satria memang terdengar tenang. Namun, efeknya luar biasa membuat Dea gemetar.
"A-aku, a-ku—"
"Bicara yang jelas, Dea!" teriak Satria membuat Dea melonjak kaget. "Kamu mau bikin malu keluarga Wijaya lagi? Gimana kalau ayah dan ibumu tau? Kamu nggak kapok dengan apa yang sudah kamu lakukan dengan Kenzo dulu?" Satria berdecak. "Tante Martha akan bunuh diri kalau mendengar kelakuan putrinya yang tidak pernah berubah."
Dea menggeleng. Air matanya bahkan sudah bercucuran. "Maafin aku, Bang. Aku bener-bener nggak tau lagi gimana caranya mempertahankan rumah tanggaku sama Om Kenzo. Cuma ini yang bisa aku lakukan." Dia mengusap kasar pipinya yang basah.
Dahi Satria mengernyit. "Apa maksud kamu? Dengan kamu curang di belakang Kenzo, itu artinya kamu udah merusak rumah tanggamu sendiri. Ya Tuhan, apa yang sebenarnya ada di kepalamu itu?"
Rea mengusap lengan suaminya yang tampak ikut meradang. Mungkin ada cara agar Dea mau jujur. Wanita itu mendekati Dea yang masih duduk di sofa seraya sesenggukan.
Rea menghela napas panjang sebelum bicara pada Dea. Dia tidak mau emosinya keluar lagi, karena itu hanya akan membuat Dea makin takut dan tidak mau jujur.
"Dea, umur kamu sudah sangat cukup dewasa. Kamu tau kan risiko perbuatanmu tadi apa?" tanya Rea menekan emosinya sebisa mungkin.
"Tau, Kak. Tapi, aku nggak bisa menolak," sahut Dea dengan tangis yang makin keras.
"Kenapa kamu nggak bisa nolak?!" sentak Satria lagi.
"Bang," tegur Rea menggeleng. Dia mengisyaratkan suaminya untuk diam. Dia lantas kembali memusatkan perhatian pada Dea. "Aku sudah pernah bilang kan, De. Kalau ada apa-apa kamu bisa cerita sama aku. Kalau memang ada masalah, kita cari solusinya bersama. Bukan malah bertindak bodoh seperti itu. Katakan, apa yang sebenarnya Abi lakukan sama kamu?"
Dea mengusap kembali pipinya yang basah. Dia takut untuk jujur. Jujur artinya membongkar aibnya sendiri. Dia tidak bisa membayangkan reaksi Satria jika tahu. Belum lagi keluarga lainnya. Terutama Kenzo sendiri.
"Kak, aku...." Dea meremas ujung bathrobe yang dikenakannya. Bagaimana ini?
Rea yang tahu kebimbangan Dea, menarik kedua bahu perempuan itu. "Dea, kalau kamu diam terus gimana kami bisa membantu kamu?"
"Aku takut, Kak."
Rea melirik suaminya yang duduk di atas ranjang seraya menatap Dea dengan pandangan menyipit. Rea sudah bisa menduga pasti ada hal yang kurang enak didengar yang bakal Dea sampaikan. Dan, itu mungkin saja bisa membuat Satria marah.
"Dea, kamu nggak perlu takut," ucap Rea sekali lagi meyakinkan adik iparnya tersebut.
Alih-alih bercerita, Dea malah memeluk Rea dan menangis di sana. Satria sampai jengah melihat drama yang dimainkan adik Andra itu.
"Apa aku perlu panggil Kapten, dan menyuruhnya segera balik ke Indonesia?" ujar Satria.
Dea kontan melepas pelukannya. Menggeleng cepat. "Jangan, Bang. Aku mohon jangan."
"Kalau begitu cepat katakan ada apa sebenarnya."
Dea menunduk dan sesekali menyeka air matanya. "Abi... Abi mengancamku."
"Mengancam apa?" tanya Rea makin penasaran.
"Dia mengancam akan mengambil Noe dari aku, Kak." Dea menyeka air matanya lagi.
Tunggu, kenapa Rea tidak paham apa yang Dea katakan, ya? Maksudnya, Abi mau menculik Noe, begitu? Atau gimana?
"Mengambil? Maksud kamu? Menculik?" tanya Satria yang juga satu server dengan Rea.
Dea menggeleng. "Lelaki itu mengancam akan membawa Noe pergi ke Belgia."
Satria mengerutkan kening dalam. Masih belum bisa mencerna penjelasan Dea. "Kenapa sekretaris gadungan itu harus membawa Noe? Memangnya dia punya hak apa?"
Dea menelan ludah kepayahan. Dia yakin kejujuran selanjutnya akan membuat Satria tambah naik pitam.
"Dea, kenapa? Kenapa Abi bisa mengancam kamu seperti itu? dan kamu dengan bodohnya mau termakan ancamannya," timpal Rea lagi.
"Karena... Karena Abi itu ayah biologis Noe." tangis Dea pecah lagi. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Serta-merta Rea dan Satria tidak bisa menyembunyikan raut terkejut.
Rea bahkan sampai menganga tak percaya. "Bagaimana bisa?" bisiknya menggeleng kecewa.
Sementara Satria sontak langsung memegangi kepalanya yang mendadak makin berdenyut kencang. Lagi-lagi perempuan itu melakukan kebodohan. Pernikahannya dengan Kenzo dulu juga karena perbuatan bodoh Dea yang hamil di luar nikah dengan Kapten. Om Fred bahkan pernah sempat mengusir Dea dari rumah. Astaga!
Jika Om Fred tahu fakta ini lagi, laki-laki itu pasti kumat penyakit jantungnya. Satria benar-benar tak habis mengerti.
"Kamu selingkuh di belakang Kapten?" tanya Rea yang lututnya mendadak lemas mendengar kenyataan itu.
Dea menggeleng. "Kami melakukannya dalam keadaan tak sadar di pesta ulang tahun temanku, Kak. Aku beneran nggak ingat apa pun karena mabuk parah."
Rea mengusap wajahnya frustrasi. "Kalian hanya melakukannya sekali kan? Bagaimana Abi bisa yakin kalau Noe itu anaknya?"
Lagi-lagi Dea menggeleng membuat Rea makin tercengang. Jadi, ada kelanjutannya lagi? Astaga.
"Seminggu setelah kejadian itu. Abi terus menggangguku. Bahkan aku diculik dan dibawa ke kediamannya. Dan, di sana dia—" Dea tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Hatinya masih sangat perih mengingat kejadian itu. Karena itu pula dia harus menjalani terapi selama enam bulan di tengah kehamilannya.
"Kenapa kamu diam aja?" Satria menatap miris adiknya itu. "Di mana Kenzo saat itu?"
"Saat itu dia di Jepang selama sebulan. Tidak ada yang tahu kejadian itu, Bang. Aku terlalu takut untuk jujur."
"Ini kriminal, Dea. Seharusnya kamu waktu itu cerita ke Rea atau siapa pun yang kamu percaya. Demi Tuhan, keluargamu banyak dan yang pasti mereka akan selalu mendukung di masa sulit kamu." Satria mengusap wajah lagi. Sekarang entah dia harus bagaimana menghadapi masalah Dea ini.
Rea beranjak memeluk Dea kembali. "Apa Kapten tahu soal Noe?"
Dea menggeleng. "Kalau dia tau, dia pasti akan sangat kecewa sama aku, Kak."
Dari balik punggung Dea, Rea menatap Satria yang tampangnya sudah seperti kertas kusut. Bibirnya berlipat, matanya menyipit seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Kita laporkan Abc itu ke polisi," cetusnya kemudian.
"Kok Abc, sih, Bang? Abi, Bang, Abi," ralat Rea.
"Ah, siapalah dia. Lidahku keseleo kalau nyebut namanya."
Mendengar kata polisi, Dea spontan menggeleng, dan melepas pelukan Rea. "Jangan, Bang. Itu hanya akan buang-buang waktu. Aku tau Abi itu orangnya seperti apa. Lagi pula kejadiannya sudah sangat lama."
"Itu bisa diusut, De. Kamu tinggal lapor."
"Nggak gampang buat laporin dia." Dea menunduk. Abi itu cerdik, dia bisa saja sudah menghilangkan semua bukti kejahatannya itu.
"Kamu raguin aku, De? Atau kamu yang nggak ingin dia membusuk di penjara?" tanya Satria menaikan sebelah alisnya.
Dea terperanjat. Bukannya dia tak mau kalau Abi masuk penjara. Hanya saja, itu bisa membuat dirinya malu dan pasti akan banyak yang menyalahkannya karena tidak langsung melapor. Belum lagi murka ayah dan ibunya nanti. Dan, yang lebih buruk adalah dia bisa kehilangan Kapten.
_____________________
Sori Gaes, pabelibet kemarin malah lupa gak nulis. wkwkwk.
Segini dulu ya, aku mau nabung bab buat bulan sebelas nanti.