Chapter 30 - Pecat

Rea bergegas menyusuri koridor lantai lima tempat kantornya berada. Di tangannya menggenggam sebuah amplop berwarna cokelat. Rahangnya mengetat menahan kejengkelan yang kembali datang begitu Ruben memberi tahu bahwa Abi Permana kembali menemui Dea kemarin sore. Sebenarnya laki-laki itu mau apa?

"Selamat pagi, Bu," sapa Abi berdiri menyambut kedatangan Rea di kantornya.

Dengan mata berkilat-kilat, Rea mendekati meja Abi, dan melempar amplop yang sedari tadi dia genggam.

"Lo gue pecat mulai detik ini," ujarnya kesal.

Namun, Abi hanya melihat sekilas amplop yang Rea lempar itu. Bahkan wajahnya tampak tenang dan tidak terprovokasi.

"Bu Rea memecat saya? Kenapa?" tanya Abi membentuk garis pada bibirnya.

Rea tak percaya ini. Setelah yang sudah Abi lakukan terhadap Dea, dia tanya kenapa?

"Gue mecat lo atas dasar kelakuan minus lo sama adik ipar gue."

Abi mengerutkan kening. Rea sering melihat ekspresi wajah Abi yang seperti itu. Namun, entah kenapa kali ini dia merasa jijik melihatnya.

"Sebaiknya Bu Rea tidak mencampur adukkan masalah pribadi dengan pekerjaan," ujar Abi masih tetap kalem.

"Lo kira gue bakal diam aja melihat Dea menderita? Gue nggak nyangka lo begini, Bi." Rea menggeleng dia lalu beranjak masuk ke ruangannya.

Abi menyusul wanita itu cepat. "Bu Rea tunggu." Dia ikut masuk ke ruangan Rea. "Ibu nggak bisa memecat saya seenaknya. Saya masih terikat kontrak dengan perusahaan ini. Lagi pula ... atas semua kemajuan yang didapatkan perusahaan ini, Bu Rea yakin akan memecat saya?"

Rea berbalik dan menatap sengit wajah Abi. "Gue nggak akan mempekerjakan seorang pemerkosa."

"Apa maksud, Bu Rea?"

Rea mengibaskan tangan. "Nggak usah pura-pura lagi, Abi. Gue udah tau semuanya," katanya seraya membuang muka.

"Saya memperkosa Dea maksud kamu?" Abi terkekeh. "Kenapa saya harus melakukan itu kalau dia sendiri yang menawarkan tubuhnya?"

Rea mengerutkan kening dalam dan kembali menatap Abi. "Jangan berkilah, Abi."

Abi tersenyum seraya menggeleng. "Kenapa saya harus berkilah? Jangan ditelan mentah-mentah apa yang Dea ceritakan. Kami melakukannya atas dasar suka sama suka. Tidak ada paksaan atau apa pun."

Rea menatap Abi tajam berharap laki-laki itu terintimidasi. Namun, lelaki itu tak gentar, justru tatapannya terlihat tenang dan santai. Seolah tidak ada beban. Padahal apa yang dia lakukan itu kriminal.

"Lo maksa Dea dan mengancamnya buat nurutin nafsu bejad lo. Lo bilang suka sama suka?"

"Mengancam apa?"

"Noe! Lo gunakan Noe buat mengancam Dea."

Abi tersenyum lebar. "Noe anak baik. Saya menyukainya. Apa kamu juga tahu kalau Noe itu bukan anak Kenzo? Hmm, saya rasa kamu pasti tahu. Noe bukti cinta kami. Jangan karena Dea itu keluarga kamu lantas kamu terus membelanya. Coba berpikir di posisi saya."

"Dea nggak mungkin melakukan itu. Gue sangat tahu bagaimana dia mencintai Kenzo!" Rea makin meradang.

Abi menarik salah satu sudut bibirnya. "Cinta itu makin lama makin kehilangan pendar. Dan, jika bertemu dengan cinta lain, cinta lama akan otomatis tergeserkan. Dea membuka hatinya untuk pria lain, apa salahnya saya masuk?"

"Harusnya lo mikir kalau Dea itu perempuan bersuami! Nggak seharusnya lo deketin dia!"

Abi memutar badan, membelakangi Rea. "Kita nggak bisa memilih kepada siapa hati kita akan jatuh dan tertaut. Entah dengan seseorang yang lebih tua atau seseorang yang sudah memiliki pasangan sekali pun."

"Mungkin hati lo nggak bisa mengontrol, tapi kalau lo lupa, gue ingetin, lo itu masih punya otak!"

Lagi-lagi Abi terkekeh, padahal Rea sudah setengah mati menahan kesal.

"Logika akan selalu kalah kalau sudah urusan hati," sahut Abi.

Rea makin tak bisa mempertahankan Abi di sini. Lelaki itu memang banyak membantu perusahaannya, tapi dia tidak mau memelihara ular di perusahaan ini. Lelaki itu bisa menghancurkan Dea dan keluarganya, tidak menutup kemungkinan juga dia akan menghancurkan apa yang dimilikinya sekarang.

"Keluarga Wijaya akan membawa masalah ini ke jalur hukum," ucap Rea, membuat Abi tertawa.

"Save your money. Buat apa melakukan hal yang sia-sia? Itu hanya akan mempermalukan keluarga kalian." Abi kembali menghadap Rea. "Nggak akan ada bukti yang bisa kalian gunakan, karena kami melakukannya atas dasar suka sama suka." Abi membenarkan jasnya. "Baiklah, kalau kamu ingin memecat saya it's okay. Saya terima. Sepertinya memang saya tidak berkepentingan lagi di sini. Permisi."

Abi lantas keluar dari ruangan Rea. Meninggalkan kedongkolan di hati wanita itu. Jujur, Rea sangat kecewa dengan apa yang laki-laki itu lakukan. Dari awal kedatangannya, Rea begitu mempercayai Abi. Sampai di depan Satria dia membela mati-matian sekretaris itu. Siapa sangka lelaki itu ternyata mengerikan.

Mata Rea terpejam. Seandainya bukan karena Dea dan Kapten, mungkin Abi masih bisa dia pertahankan di sini. Lelaki itu sangat kompeten. Ah, tidak. Itu hal biasa bagi pemimpin Dutamas Grup.

***

Dea ada di mansion ketika Rea pulang dari kantor. Kedua anaknya juga ada. Bahkan Om Fred dan Tante Martha juga di sana. Mereka tampak sedang asyik bermain-main di atas playmate bersama anak-anak Rea.

"Mom pulang!" seru Ceera yang sednag bermain bonekanya bersama Noe.

Semua kepala menoleh tanpa kecuali. Tante Martha tampak tersenyum. "Rea, anak-anak kamu pinter-pinter semuanya. Mereka tahu saudara. Begitu Aiden dan Noe datang, mereka langsung mengajak main." Tante Martha merentangkan tangan menunjukkan mainan yang berserakan ke mana-mana."

Rea tertawa kecil. "Mereka biang onar yang lucu, Tan. Kapan Om dan Tante datang?" tanya Rea menghampiri mereka.

"Sekitar tiga puluh menit lalu."

"Udah lama dong nemenin mereka main. Anak-anak kalian nggak nawarin Oma dan Opa kalian minum?" tanya Rea kepada anak-anaknya.

"Sudah kok, Mom," Bisma yang menjawab. Bocah tujuh tahun itu ikut bergabung bersama Noe main boneka.

Dea tampak menyingkir ketika ponselnya berdering. Dengan sedikit tergesa, wanita itu meninggalkan tempat bermain. Tindakannya itu tak luput dari perhatian Rea.

"Rea tinggal sebentar ya, Tante, Om. Anak-anak Mom ganti baju dulu, ya." Rea lantas segera beranjak. Dia melepas heels dan bergerak mengikuti Dea ke arah belakang.

Mata Rea menyipit ketika melihat Dea berbicara seraya berbisik.

"Aku nggak bisa. Malam ini aku menginap di mansion," ucap Dea pelan.

Suaranya masih bisa Rea dengar meski samar.

"Kapan?" Dea tampak mengerutkan bibir. "Akan aku usahakan."

Rea segera beringsut ketika sepertinya Dea mengakhiri panggilan tersebut. Dia mendekati wanita itu dan tepat berdiri di belakang Dea.

Dea terlonjak kaget mendapati Rea di belakangnya ketika dia berbalik. Jantungnya hampir saja melompat melihat Rea menatapnya dengan pandangan curiga.

"Ka-kak Rea?" Dea tersenyum serba salah.

Rea bersedekap tangan dan maju satu langkah. "Habis telepon siapa kamu?" tanya Rea.

Dea gelagapan. "Itu ... Itu ... Kenzo."

Rea menyipitkan mata. "Kamu yakin?"

Dea mengangguk ragu. "I-iya." Dia tampak menahan napas ketika Rea makin maju.

"Awas kalau kamu macam-macam Dea. Jangan sampai aku berpikiran lain tentang kamu," ucap Rea. Dia menyenggol bahu Dea kasar seraya berjalan melewati Dea.

Dea mengembuskan napas, begitu Rea menjauh. Dirinya nyaris terguncang. Seandainya dia tidak bisa mengendalikan diri. Tamatlah riwayatnya.