Satria memeluk istrinya dari belakang begitu menemukan Rea yang tengah berdiri di teras balkon kamarnya. Di tangan wanita itu terselip gelas wine yang isinya tinggal sedikit.
"Kamu minum, Sayang?" tanya Satria mengecup bahu Rea yang terbuka.
"Hanya sedikit." Rea memutar badan menghadap tubuh besar suaminya. Dia melirik jam analog raksasa yang menempel tepat di atas ranjang tidur. "Kenapa kamu pulang malam sekali?" tanya Rea saat melihat jarum pendek jam berada di angka sebelas.
"Banyak yang harus aku urus, Sayang. Kamu kenapa belum tidur? Sengaja menungguku, atau—"
Rea melepas tangan Satria yang melingkari pinggangnya. "Aku nggak bisa tidur." Dia melangkah masuk ke kamar kembali lantas duduk di sofa diikuti Satria.
"Kamu memikirkan sesuatu?" tanya Satria. Tangannya terangkat dan menyingkirkan anak rambut Rea lalu menyelipkannya ke balik telinga.
"Bang, aku udah memecat Abi Permana," tutur Rea.
"Wow, itu keputusan yang tepat. Seharusnya kamu sudah lakukan itu dari dulu-dulu."
Rea sudah menduga reaksi Satria akan seperti itu. "Kalau dia tidak ada masalah dengan Dea, mungkin aku akan tetap mempertahankannya."
Satria memegang kedua lengan istrinya. "Dengar, Sayang. Masih banyak sekretaris yang lebih kompeten daripada dia."
"Aku nggak masalahin itu, Bang. Yang aku nggak nyangka, kenapa dia bisa begitu sama Dea."
Satria melepas lengan Rea dan bersadar pada sofa. "Dea belum setuju kalau kita melapor ke pihak yang berwajib. Entah mau anak itu apa."
"Dia nggak setuju tentu saja karena nggak mau ayah dari Noe masuk penjara."
"Tapi laki-laki itu sudah memperkosa Dea, Re." Satria geram jika mengingat itu.
"Mungkin memang Dea-nya mau," Rea mengedikkan bahu.
"Maksud kamu?"
"Abi bilang, dia dan Dea melakukannya atas dasar suka sama suka. Saling membutuhkan mungkin."
"Kamu percaya apa yang dia katakan?" tanya Satria tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah Rea.
"Entahlah, Bang. Tapi gerak-gerik Dea itu mencurigakan. Kamu bisa nggak menyuruh orang untuk mengawasinya?"
Satria tampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. "Oke, kalau menurut kamu itu perlu."
Rea tersenyum. Matanya bergerak menelisik leher Satria yang dari tadi jakunnya tampak naik turun. Rea tahu lelaki berahang tegas itu sedang menahan hasrat melihat penampilan Rea sekarang yang hanya mengenakan gaun tidur berbahan sutra tipis. Bahkan Rea sendiri tidak memakai bra sehingga dadanya yang tegak tampak menonjol di balik gaunnya.
Tersenyum miring, tangan Rea terangkat dan membuka kancing bagian atas kemeja suaminya.
Namun, tangan Satria dengan cepat menahannya. "Kamu mau apa, Sayang?"
"Aku cuma mau bukain kemeja kamu, Bang. Memangnya kamu nggak gerah? Nggak mau mandi?" tanya Rea dengan nada menggoda. Dia menggeser posisi duduknya lebih merapat.
Satria kembali menelan ludah, ketika jari jemari Rea melanjutkan kegiatan melepas kancing kemejanya. Namun, belum sampai semua terbuka, tangan Rea menyusup masuk, mengusap dan meraba dadanya yang bidang. Terang saja perbuatan wanita itu membuat Satria mengerang.
"Kamu menggodaku, Re," ucapnya menatap Rea yang malah terkekeh. "Mandi bersama mau?" tanya Satria meraih pinggang Rea.
Rea melanjutkan membuka kancing kemeja lagi, dan ketika semua kancing bisa dia lepas, wanita itu menyingkirkan kain atasan tersebut. Rea selalu suka melihat pemandangan suaminya tanpa mengenakan baju atasan alias topless. Bahunya yang lebar serta dadanya yang bidang itu sangat menggoda. Rea berniat main-main sebentar. Jarinya yang lentik menyusuri dada Satria hingga ke perut lelaki itu yang masih terlihat rata dan kencang. Abs pada perut lelaki itu masih sama seperti dulu. Sampai saat ini Satria selalu pintar merawat badan.
"Kamu yakin nggak mau menemaniku mandi?" tanya Satria dengan nada suara berat.
Rea menggeleng, matanya masih mengikuti gerakan tangannya yang terus membelai dan mengusap.
"Jadi, apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Satria lagi dengan napas tertahan karena tangan Rea sekarang mengusap pangkal pahanya yang menggembung.
"Main-main aja."
"Ini sudah nggak bisa disebut main-main, Sayang." Satria mengangkat tubuh Rea dan mendudukkan di pangkuannya. Kedua tangannya mengusap paha mulus Rea yang kainnya tersingkap. "Satu kali permainan, boleh?"
Rea mengangguk, dan tanpa menunggu lama Satria langsung menyambar bibir istrinya itu.
****
Ruben meletakkan sebuah dokumen ke atas meja kerja Satria. Dia masih berusaha membujuk atasannya itu agar tidak membatalkan kontrak kerja sama dengan perusahaan milik Karin.
"Banyak yang ingin bekerja sama dengan perusahaan bonafit itu, Pak. Jika Anda menyia-nyiakan kesempatan itu, saya tak yakin bisa dapat kesempatan emas lagi," bujuk asisten pribadi Satria itu.
Satria yang tengah menghadap laptop hanya melirik sekilas. "Kamu nggak belajar dari peristiwa Mia, Ruben? Aku tidak suka diatur, apa lagi kerja sama terselubung seperti itu." Satria mendorong dokumen itu. "Bawa kembali."
Ruben menghela napas panjang. "Kita akan rugi miliaran kalau kontrak kerja sama dibatalkan gitu aja."
"Aku tidak peduli." Satria lebih tertarik menghadapi laptopnya daripada mendengar bujukan Ruben. Sampai mulut lelaki itu berbusa pun, Satria tidak akan menarik keputusannya lagi.
Ruben kembali menarik dokumen itu, dan pamit undur diri. Kalau sudah menyangkut Nyonya Besar, Satria memang tidak bisa dibujuk. Kecuali Rea sendiri yang melakukannya. Ruben sendiri heran, makin tua Tuannya itu makin banyak wanita yang terpesona. Jika saja Satria mau, mungkin banyak wanita muda yang ingin mendaftarkan diri menjadi sugar baby-nya. Namun, kesetiaan lelaki itu terhadap istrinya tidak mudah tergoyahkan.
Ruben menggeleng pasrah ketika menutup ruangan sang bos. Kepalanya mendongak saat telinganya mendengar suara kaki melangkah. Tidak jauh dari posisinya, Rea tampak bergegas berjalan menuju ke arahnya. Tidak. Mungkin tepatnya ke ruangan suami wanita itu.
Ruben berpikir untuk melobi si nyonya sebelum Rea masuk ke ruangan Satria.
"Selamat siang, Bu," sapa Ruben saat Rea sudah berada di hadapannya. "Bu Rea, boleh saya mengganggu waktunya sebentar?"
"Ada apa?"
"Bisa kita duduk dulu?" Ruben membentangkan sebelah tangannya mempersilakan Rea duduk di lobi kantor suaminya itu.
Rea mengangguk. "Baiklah," dan bergerak duduk di sofa. Kakinya dia silangkan, punggungnya menegak, tatapannya mengawasi asisten suaminya itu. "Ada apa?"
Ruben menyerahkan dokumen yang dia bawa. "Bu Rea bisa membaca ini sebentar? Ini dokumen perjanjian kontrak kerjasama perusahaan dengan PT. Menara Jaya Abadi."
Rea mengambil alih dokumen itu dan membuka lembaran pertama.
"Sebenarnya Pak Satria sudah menandatangani kontrak itu. Hanya saja, dia membatalkannya. Mungkin Ibu bisa membantu agar Pak Satria berubah pikiran. Ganti rugi yang akan perusahaan keluarkan lumayan besar, Bu," terang Ruben berusaha meyakinkan Nyonya Besarnya itu.
Rea bisa melihat nilai kerugian yang akan perusahaan dapat jika membatalkan sepihak.
"Boleh aku tahu, alasan Bang Satria membatalkannya?" tanyanya kemudian. Sebenarnya Rea tahu, hanya saja Rea ingin mendengar versi dari asisten suaminya itu.
"Pak Satria mengira kerja sama ini akan sama seperti saat bekerja sama dengan perusahaan Mahen belasan tahun lalu."
Rea melirik asisten Satria itu. "Kalau memang benar begitu, lupakan saja kerja sama ini, Ruben. Biarkan saja perusahaan kita membayar ganti ruginya. Nilainya memang besar, tapi itu nggak akan membuat Wijaya bangkrut." Rea meletakkan dokumen itu ke meja.
"Tapi, Bu. Jumlah sebanyak itu bisa kita gunakan untuk—"
Rea mengangkat tangan. "Ruben, sebaiknya kamu menyeleksi perusahaan-perusahaan yang menawarkan kerja sama dengan perusahaan kita. Sebisa mungkin usahakan jangan sampai kerja sama itu menyinggung atau menyenggol rumah tanggaku. Kamu paham, 'kan?"
Ruben menarik napas panjang lantas mengembuskannya. "Baiklah, Bu."
Rea mengangguk. "Suamiku ada di dalam, 'kan?" Dia beranjak berdiri.
"Ada, Bu."
Mau bagaimana pun dia berusaha, keputusan final memang tetap ada di tangan Satria. Seandainya Kakek Wijaya masih hidup, mungkin Ruben bisa meminta pendapatnya. Kakek Wijaya dari dulu tidak suka dengan tindakan seenaknya yang sering dilakukan cucunya, apa lagi menyangkut soal perusahaan.