"Dad!" teriak Ceera si bungsu menghambur ke pelukan Satria. "Are you all right, Dad?" tanyanya dengan suara kecil ciri khas Ceera.
"Of course. I've never been better than today." Satria lanjut melangkah memasuki mansion. "Are you okay while I'm in the hospital?" tanya Satria kepada anak-anaknya. Ya, semua anaknya menyambut gembira kedatangan dirinya, kecuali Nicko.
"Where's Nicko?" tanya Satria kepada salah seorang pengasuh Ceera.
"Mas Nicko pergi bersama Mbak Karla, Tuan," sahut pengasuh tersebut.
"Iya, Dad. Dan karena itu Kak Aarash cemburu," imbuh Bisma mengulum senyum. Aarash tampak mendelik kepada bocah itu.
Satria mengacak rambu Bisma. "Kamu memangnya tahu arti cemburu?"
"Tahu dong, Dad. Itu sih kalau Mom marah-marah kalau liat Daddy jalan sama wanita cantik," jawab Bisma dengan polosnya.
"Sok tahu lo!" sambar Aarash.
"Tuh, Kak Aarash marah-marah mulu dari tadi." Bisma mendekati Satria minta perlindungan.
"Apa Daddy udah baikan?" tanya Serena yang baru muncul membawakan teh untuknya.
Satria mendudukan Ceera di sofa dan menerima cangkir teh dari Serena. "Daddy sudah sembuh jadi pasti baik dong. Terima kasih tehnya, Sayang."
"Jadi, kenapa Mommy langsung naik ke atas? Dia ada masalah?"
"Mom nggak apa-apa mungkin dia kecapean karena harus menjaga Daddy di rumah sakit."
Serena mengangguk berusaha mengerti. "Oh ya, Dad. Tadi pagi Grandpa Fred ke sini. Dia kelihatan marah. Tapi nggak lama dia pulang kembali."
"Oh ya?" Satria mengerutkan bibir. Apa kasus Dea sudah sampai telinganya?
"Serena, Daddy bisa minta tolong buat jaga adik-adik dulu?" Satria meletakkan cangkir ke atas meja setelah menyesapnya sedikit. Dia lantas berdiri.
"Of course, Dad."
"Children, Daddy naik ke atas dulu sebentar, ya."
Satria dengan cepat naik ke lantai dua mansion, berniat menyusul Rea yang sudah lebih dulu masuk kamar. Dia melihat istrinya itu tengah berbaring di tengah ranjang, napasnya tampak teratur. Rea pasti kelelahan karena keberingasan Satria di atas ranjang hotel tadi. Senyum lelaki itu terbit, lantas mendekati istrinya. Dia menarik selimut dan menyelimuti Rea yang tampak lelah. Dengan pelan dia bergerak mencium kening wanita itu.
"Selamat istirahat," ujarnya perlahan. Garis bibir Satria melengkung mengingat momen di hotel tadi. Namun, hanya sebentar ketika ponselnya bergetar. Satria mengambil benda itu di saku celananya dan membaca caller ID di layar ponsel tersebut. Tidak banyak berpikir, dia langsung me-riject panggilan masuk itu. Sebagai gantinya dia menghubungi Ruben yang mungkin saja masih ada di bawah.
"Kamu yang memasukkan nomor Karin ke ponselku?" tanya Satria cepat.
"Saya? Buat apa saya melakukan hal yang Anda nggak suka, Pak?" tanya Ruben di sana dengan nada bingung.
"Lalu bagaimana ceritanya nomor wanita itu ada di ponselku?" Seingat Satria, dia tidak pernah memberi nomor ponsel pribadinya kepada siapa pun.
"Saya juga nggak tahu. Mungkin Pak Satria tidak sadar."
"Maksud kamu aku sedang mabuk saat menyimpan nomor Karin? Yang benar saja!" Satria menggeram sebal.
"Hapus saja kalau gitu, Pak."
Perkara hapus itu mudah. Namun, masalahnya Rea sudah melihat nama Karin di sana.
"Pastikan Karin menghubungimu dulu, sebelum tersambung padaku."
"Baik, Pak. Selamat istirahat."
Satria menutup panggilannya dan bersama dengan itu Rea tampak mengucek matanya.
"Loh kok kamu bangun?" tanya Satria kembali duduk.
"Kamu habis teleponan sama Karin?" tanya Rea begitu matanya kembali bisa melihat wajah suaminya dengan jelas.
"Enggak, Sayang. Aku tadi telepon Ruben. Nomor wanita itu sudah aku blokir," jawab Satria seraya tersenyum.
"Buat apa menyimpan nomornya kalau kamu memblokir?" tanya Rea.
"Aku beneran nggak tau bisa-bisanya nomor Karin ada di ponselku. Aku—"
"Aku tahu ponselmu canggih, Bang. Tapi apa mungkin dia bisa mengetik sendiri? Oh iya, lupa. Sekarang ada google voice."
"Astaga, Sayang. Enggak." Satria membaringkan setengah badan menghadap ke istrinya. "Aku nggak bohong, Sayang."
Rea berbalik memunggungi Satria. "Kalau kamu bohong juga aku nggak tau."
Satria menghela napas panjang lantas kembali berdiri. "Kita harus menemui Om Fred. Aku khawatir Dea terjadi sesuatu. Kenzo belum pulang dari luar negeri."
Rea yang tadi berbaring miring demi menghindari obrolan dengan suaminya, kontan bangkit. Dia mengikat rambutnya, lalu menyingkap selimut. "Kita ke sana sekarang?"
"Nanti saja habis makan malam. Kasihan anak-anak kalau kita tinggal lagi."
Mendengar jawaban Satria, Rea kembali merebah.
"Loh kok tidur lagi?" tanya Satria.
"Capek." Mood-nya kembali memburuk.
Satria mengusap lengan istrinya. "Aku minta maaf. Aku akan batalin kontrak kerja dengan perusahaan Karin besok."
Rea auto mengerutkan kening. "Bisnis receh ya? Kok gampang banget batalin kontrak?"
"Enggak juga sih. Tapi nggak ada satu Triliun kok."
Rea kontan melotot. "Kamu gila ya, Bang?"
"Daripada Karin menggangguku terus dan bikin kamu marah?" Satria mengangkat bahu.
"Tapi—"
"Nggak apa-apa, kamu paling tahu aku nggak bisa bikin kamu kecewa. Akan aku minta Ruben untuk lebih selektif lagi memilih perusahaan yang akan bekerjasama dengan perusahaan kita." Dia lantas naik ke atas tempat tidur. Dipeluknya tubuh mungil Rea. "Aku cinta banget sama kamu, Re. Aku nggak akan berbuat bodoh lagi."
Di dalam rengkuhan Satria, diam-diam Rea mengulum senyum. Satria selalu saja membuat dirinya sangat berarti.
***
Satria bergegas menuju ruangannya diikuti Ruben. Beberapa jam lalu dia berdebat dengan Karin perkara kerja sama yang akan perusahaan mereka lakukan. Namun, pembicaraan itu tidak menghasilkan titik temu seperti yang Satria inginkan. Dia kesal bukan kepalang dengan wanita itu. Beberapa kali makan malam saja bagi Satria sudah keterlaluan. Dan, sekarang wanita itu meminta hal lebih. Jelas Satria menolak mentah-mentah.
"Satu malam. Aku nggak minta banyak," ujar wanita itu ketika mereka bertemu beberapa jam lalu di kantor wanita itu.
Tangannya yang lentik bahkan sudah tersampir di lengan Satria.
Satria menghela napas lelah dan menyingkirkan tangan Karin dari lengannya. "Aku nggak bisa. Jangan gila kamu. Ingat, kamu sudah punya suami."
Dahi Karin mengerut. "Apa salahnya sih? Aku janji akan memuluskan kerja sama ini. Hanya satu malam," bujuk Karin.
Seandainya saja Rea mendengar rayuan Karin saat itu, sudah dipastikan Karin tidak akan selamat.
Dengan sangat terpaksa, Satria mengadahkan tangan kepada Ruben yang masih dengan setia berdiri di belakangnya.
Ruben yang cepat tanggap langsung menyerahkan sebuah dokumen kepada Satria.
"Mungkin dulu aku bisa menuruti permintaan kamu, Karin. Tapi, sekarang aku tidak bisa. Ada wanita yang aku cinta dan aku jaga perasaannya," ucap Satria seraya meletakkan sebuah dokumen ke atas meja. "Kita batalkan saja kontrak kerja sama kita."
Karin menganga tak percaya. "Hanya demi wanita itu kamu rela rugi milyaran rupiah?"
"Aku bahkan pernah merugi lebih daripada ini demi dia." Satria berkata dengan begitu tenang.
Karin berdecak. "Aku heran apa yang menarik pada istrimu sampai-sampai bisa bikin kamu jadi pria setia seperti ini? Sulit dipercaya."
Satria berdiri dan menenggelamkan tangan ke saku celananya. "Tentu saja banyak. Yang jelas bagiku dia lebih menarik dari kamu atau pun wanita jenis mana pun. Karena dia memiliki sesuatu yang wanita lain tidak miliki."
"Omong kosong. Memangnya kamu pikir aku nggak pernah lihat istri kamu? Biasa saja. Wanita seperti itu apa menariknya? Aku rasa mata kamu perlu diperiksa, Satria."
Satria tidak peduli dengan ocehan Karin. Dia hanya tersenyum miring sebelum akhirnya beranjak meninggalkan ruangan Karin.
Satria menjatuhkan diri di atas kursi putar di belakang meja kerjanya. Kepalanya mendadak berdenyut nyeri memikirkan apa yang harus dia lakukan setelah kerja sama dengan Karin batal. Jika almarhum Kakek tahu dia membatalkan kontrak kerja sama lagi, Satria yakin Kakek akan memarahinya habis-habisan.