Ruben membuka pintu mobil untuk atasannya. Hari ini Satria sudah dibolehkan pulang oleh dokter. Hanya empat hari dia mendekam—sori maksudnya dirawat di rumah sakit. Rea membantu Satria masuk ke mobil, setelah itu dia baru menyusul lelaki itu.
"Aku rindu anak-anak," ucap Satria ketika mobil sudah jalan.
"Anak-anak lebih rindu sama bapaknya yang bandel."
Satria merangkul bahu istrinya agar mendekat, dia lantas meminta Ruben untuk menutup sekat antara kabin pengemudi dan penumpang.
"Aku juga rindu sama kamu. Kamu rindu nggak sama aku?" tanya Satria menyeringai jail.
"Rindu apaan, Bang? Tiap hari juga kita ketemu. Kamu amnesia atau gimana, nggak inget yang nyebokin tiap hari di rumah sakit siapa?"
Satria melebarkan mata lantas membungkam mulut Rea dengan tangannya. "Suaramu bisa didengar mereka."
Rea menabok tangan Satria, hingga tangan itu terlepas dari mulutnya. "Masa sih? Percuma dong kamu tutup sekat itu."
"Nggak ada yang percuma, aku nutup sekat itu agar privasi kita nggak terganggu." Lagi-lagi Satria menyeringai jail.
Rea menjauhkan badannya waswas. "Jangan macam-macam di dalam mobil, Bang."
"Enggak, cuma pengin cium-cium dikit." Satria mendekatkan wajahnya dan segera memagut bibir Rea. "Sayang, kamu nggak mau ngasih Ceera adik?"
Mendengar itu kontan Rea mendorong dada suaminya. "Ogah. Kalau kamu yang hamil sih, aku oke oke aja."
"Gimana aku hamilnya? Ngaco!" Satria menarik kembali istrinya mendekat. Tangannya kemudian mengunci pergerakan Rea, lalu bibirnya kembali mencium wanita itu.
"Setelah sekian lama kita bersama, kenapa rasanya masih nikmat aja sih?" tanya Satria setelah mengurangi ciumannya. Matanya lurus menatap Rea, sementara ibu jarinya mengusap bibir merah istrinya itu.
"Mana yang nikmat?"tanya Rea yang tadi sempat terbuai dengan permainan bibir suaminya.
"Ini," kembali Satria mencecahkan ciumannya lebih dalam. Dan, makin dalam kala Rea juga menyambutnya. Bahkan wanita itu menarik leher Satria agar makin merapat. Dengan lembut, Rea meremas rambut Satria seraya melenguh.
Hal itu tentu saja menyulut gairah Satria. Tangannya dengan cepat menyusup ke dalam blouse yang Rea kenakan. Jarinya dengan cekatan membuka pengait bra yang ada di balik punggung istrinya. Lantas tangannya bergerak lembut mengusap dan membelai punggung itu.
Rea mendorong Satria ketika tangan lelaki itu mulai menggerayangi tubuhnya. "Bang, cukup. Kita bentar lagi sampai. Aku nggak mau penampilanku kacau di depan anak-anak."
Satria mengernyit. Dia tak suka kegiatan nanggung seperti ini. Mengembuskan napas, dia menekan interkom mobil yang terhubung ke pengemudi. "Berhenti di hotel terdekat," pintanya pada Ruben.
"Baik, Pak," Ruben menjawab segera.
Satria kembali menghadap Rea yang melongo di tempat. "Kita ke hotel? Bukannya kamu tadi bilang sudah sangat merindukan anak-anak?"
"Yang ini lebih mendesak, Sayang." Satria kembali mendekat dan membungkam kembali bibir Rea dengan bibirnya. Bahkan kali ini dia mengangkat tubuh Rea agar duduk di pangkuannya.
"Ya Tuhan, selalu saja kayak gini." Rea menaikkan bola mata ke atas.
Satria terkekeh seraya mengusap lengan istrinya yang sengaja dia turunkan. "Kamu juga mau, 'kan? Udah deh, toh kita sama-sama butuh. Tiga hari kita belum melakukannya lagi."
Rea menggeleng. "Kamu bicara seolah-olah kalau nggak melakukannya akan mati."
"Oh, jelas. Aku akan mati kalau sehari nggak bercumbu sama kamu, Sayang." Kali ini tangannya mengusap paha Rea yang roknya tersingkap.
"Jangan lebay," Rea terkekeh dan mendorong pipi suaminya.
"Aku serius, kok lebay, sih?"
"Kalau aku mati duluan gimana, Bang?" Rea mengusap rahang Satria yang bersih karena lelaki itu baru mencukur bulu-bulu halus pada rahang tegasnya.
"Enggak. Kita akan mati bersama, setelah menua bersama."
"Umur siapa yang tahu, Bang?"
Satria mendesis seraya meletakkan telunjuknya pada bibir istrinya. "Jangan ngomongin itu, Re. Aku nggak suka dengernya."
Rea terkekeh. Suaminya ini benar-benar tidak ingin terpisah jauh. Sama halnya dengan dirinya. Nyaris setiap hari mereka berdebat, tapi kalau sudah di atas ranjang, perdebatan mereka seolah lebur tanpa bekas.
Sesampainya di hotel, Satria bergegas membawa Rea menuju lift untuk menuju kamar setelah sebelumnya check in dadakan di front desk. Kebutuhannya yang darurat tidak bisa ditunda lagi.
Satria mendorong tubuh Rea dan merapatkan ke dinding. Sebelah tangannya menekan angka lantai yang dituju tanpa melepasnya. Sementara tangan lainnya bergerilya menjelajahi lekuk tubuh istrinya. Bibirnya juga tak ketinggalan memainkan peran.
Rea tentu tak mau hanya diam, tangan dan bibirnya ikut membalas aksi suaminya. Keduanya bercumbu tanpa terdistraksi karena lift terus naik. Satria tidak membiarkan lift terbuka di lantai mana pun kecuali lantai letak kamarnya berada.
Satria melepas cumbuannya begitu sampai di lantai yang dia tuju. Dengan cepat dia menarik tangan Rea menuju nomor kamarnya. Saat berhasil membuka kunci kamar, Satria kembali menyerang Rea. Bahkan dia segera menanggalkan blouse dan rok yang Rea kenakan. Satria terus menggiring istrinya menuju ranjang. Tangannya tidak berhenti membelai dan mengusap. Ketika berhasil merebahkan Rea, dia pun meloloskan semua kain yang melekat pada dirinya sendiri tanpa tersisa satu pun.
Satria kembali menindih Rea dan langsung meraup kembali bibir wanitanya itu. Tanpa menunda lagi, dia menyingkirkan g-string yang Rea pakai, dan langsung menjejalkan miliknya di sana.
Rea terpekik sesaat. "Bang, astaga, pelan-pelan." Dia menepuk dada suaminya yang keras itu.
Satria terkekeh. "Maaf, Sayang, sudah nggak tahan."
Rea pasrah saja saat tubuhnya dijungkirbalikkan oleh Satria di atas ranjang. Cenderung menikmati, dia tidak akan memungkiri semuanya. Dalam hal ini Satria tidak pernah mengecewakannya. Bukan hanya lelaki itu yang terpuaskan, Rea juga sama puasnya. Saling memberi dan menerima. Itulah sejatinya bercinta.
Di tengah kegiatannya, ponsel milik Satria berdering. Rea mengernyit karena merasa terganggu.
"Siapa sih, Bang?"
"Entah, abaikan saja." Satria kembali mengentakkan pinggul. Mengabaikan suara ponsel yang terus meraung.
"Angkat aja deh, Bang. Ganggu banget." Rea mendorong dada Satria di atasnya.
"Tanggung, Sayang." Kali ini dia mempercepat tempo gerakannya. Rea sampai harus menekan bahu Satria kuat-kuat. Suara desahan dan rintihannya kembali menggema.
Satria sontak melumat bibir istrinya kembali. Desahan Rea tadi membuat gairahnya kembali meningkat. Dia tidak ingin segera mengakhiri ini. Oleh karena itu, ketika bunyi ponsel berhenti, dia mengangkat tubuh Rea dan membawanya duduk di atasnya.
"Giliran kamu yang bekerja, Sayang," katanya menyeringai.
"Kamu serius? Telepon tadi gimana?" tanya Rea.
"Biarkan saja. Aku masih ingin bermain."
Rea menggeleng namun tak urung menuruti kemauan Satria. Tubuh telanjangnya mulai meliuk di atas perut Satria.
"Aku takut anak-anak menunggu kita," ucap Rea seraya terus bergerak.
"Yang penting kan nunggunya di rumah. Mereka juga nggak ke mana-mana." Satria menekan pinggul Rea dengan tangannya, dia lantas menyentak hingga Rea jatuh di atas pelukannya.
Satria mengangkat pinggul dan mengentakkan pinggulnya dari bawah berulang membuat Rea lagi-lagi terpekik.
Wanita itu mengangkat badan dan membawa rambut panjangnya ke samping bahu. Kedua tangannya menekan bahu lebar Satria. Sesekali mendesah nikmat karena ulah suaminya itu.
"Aku suka melihat kamu begini, cantik," puji Satria mengawasi wajah Rea yang sedang dimabuk asmara.
"Kamu juga tampan." Rea tersenyum dan tanpa malu-malu menyambar bibir Satria.
Lagi-lagi ponsel Satria berdering membuat Rea melepas ciumannya. "Angkat dulu aja, Bang."
"Nggak, Sayang. Sedikit lagi." Satria memeluk tubuh istrinya dan mempercepat tempo gerakannya.
Telepon sialan. Apa tidak bisa bunyi nanti-nanti saja? Ah, harusnya ponsel itu dia tinggalkan di mobil saja. Satria terus mempercepat gerakannya. Makin cepat kala dia merasakan akan mendapat pelepasannya. Dan, ketika benar-benar mencapai puncak, dia mengerang hebat. Matanya terpejam menikmati sensasi luar biasa yang seakan tak pernah bosan meskipun sering dia rasakan.
Setelah mengatur napas, dia tumbang di sisi Rea. Matanya terpejam sesaat dan kakinya dia luruskan agar otot-ototnya meregang.
"Selalu luar biasa."
Rea terkekeh lantas menarik selimut dan berbaring miring menghadap Satria yang tampak kelelahan. "Kalau sudah begini, aku yakin kamu nggak mau langsung pulang ke rumah. Yang ada malah tidur."
Satria yang memejamkan mata seraya tersenyum. "Kamu tau banget, ya."
Rea memutuskan bangkit dan mencari ponsel milik Satria yang dari tadi terus berbunyi. Dia menemukan benda itu terselip di saku celana lelaki itu. Membuka kuncinya, dia melihat siapa yang menelepon tadi. Rea melirik suaminya.
"Dua panggilan tak terjawab dari Karin dan satu panggilan dari Om Fred, kamu pilih mana yang harus dihubungi lebih dulu?"
Mata Satria yang terpejam kontan terbuka. Dia menoleh dan segera bangkit.
Rea tampak mendekat, dan menyerahkan ponsel kepada Satria. Lantas dia bergerak menggelung rambutnya yang lepek karena sempat banjir keringat.
"Sepertinya wanita bernama Karin itu sering menghubungi nomor pribadimu, ya, Bang?" Dia menoleh setelah berhasil menggelung rambut. "Kamu nggak berniat melakukan kesalahan yang sama seperti dulu 'kan, Bang?"
"Sayang, ini nggak seperti yang kamu pikir," ujar Satria, tatapannya berusaha meyakinkan. Namun, Rea mengabaikan dan memilih beranjak ke kamar mandi.
"Terserah kamu sih, Bang. Tapi, kamu tahu betul apa yang akan aku lakukan kalau kamu berani macam-macam lagi," ucapnya pelan sebelum masuk ke kamar mandi.
Satria mengembuskan napas. Kenapa Karin tiba-tiba menghubunginya?